Selasa, April 23, 2024

Sebuah Prahara Bangsa Moro

Yayan Hidayat
Yayan Hidayat
Yayan Hidayat Peneliti di Central Information, Journal and Forum Development Universitas Brawijaya

Suku Moro di Mindanao. Sebuah bangsa etnoreligius yang hidup dalam entitas keberagaman dan adat-istiadat yang kuat. Dahulu, di tanah itu, nenek moyang mereka hidup damai sebelum penjajah Spanyol dan Amerika Serikat yang membawa kebudayaan baru menjejakkan kaki di sana.

Kemerdekaan yang dicapai Filipina dari Spanyol dan Amerika pun, tak serta merta mengubah nasib mereka. Melulu Moro menghadapi prahara penetrasi, domestifikasi dan kekerasan yang mereka terima akibat menuntut kebebasan atas wilayah adat mereka.

Bahkan stereotype separatis dan pemberontak kerap dihembuskan kepada Moro untuk melegalkan tindak perampasan wilayah dan kekerasan militer Filipina kepada bangsa Moro dengan dalih “menjaga keamanan negara”.

Moro adalah sebutan penjajah Spanyol kepada kaum muslim setempat, pada masa dahulu mayoritas penduduk moro beragama Islam. Hegemoni penjajahan Spanyol yang mencengkram moro menyebabkan banyak perubahan yang terjadi pada bangsa Moro, termasuk kepercayaan dan wilayah adat mereka.

Selama penjajahan Spanyol, mereka menerapkan politik devide and rule (pecah belah dan kuasai) terhadap orang-orang Islam Moro. Bahkan stereotype dilekatkan dengan sebutan “moor”, artinya orang yang buta huruf, jahat, tidak bertuhan dan tukang bunuh.

Penjajahan berakhir, Moro kembali dihadapkan pada prahara tekanan Pemerintah Filipina. Pada 1969, ketegangan politik dan pertempuran terbuka berkembang antara Pemerintah Filipina dengan orang Moro. Ketegangan itu berakhir dengan 6.015 orang tewas dalam konflik bersenjata Pemerintah Filipina dan kelompok Moro.

Tak pelak konflik itu disebabkan oleh upaya mempertahankan wilayah Moro yang di klaim oleh Pemerintah Filipina. Namun fakta itu di manipulasi oleh aparatur negara dan beberapa media seakan-akan Moro yang paling bersalah dan di anggap sebagai gerakan pemberontak.

Sebab penetrasi penjajahan Spanyol, menyebabkan banyak perubahan terjadi pada pranata adat dan wilayah mereka. Moro telah menghadapi prahara pecah belah, domestifikasi dan tekanan yang begitu kuat dari militer. Bahkan dewasa ini, mereka dianggap sebagai kelompok separatis yang mengancam negara. Streotype itu dibuat agar domestifikasi Moro oleh militer dan Pemerintah menjadi halal untuk dilakukan.

Militer dan Riwayat Moro Kini

“Susah kampung kami ini, militer Filipin bunuhi saudara-saudara kami di kampung, di sekolah-sekolah dan di kebun-kebun kami. Betul-betul tidak baik ini gubernur (pemerintah Filipin), tidak betul seluruh isu yang dilimpahkan ke kami. Kami disebut sebagai “moor” – pemberontak, teroris dan musuh negara” – Ungkap warga Moro saat acara Lakbayan di Filipina.

Ciri negara modern adalah menguatnya peran militer dalam negara. Militer tak hanya bertugas mengamankan negara, melainkan juga mengambil alih pengamanan terhadap sumber-sumber kekayaan negara.

Di negara-negara berkembang, bahkan militer turut terlibat dalam black economy – membuka bisnis memanfaatkan sumber-sumber kekayaan negara. Jadi tak heran, kini segala upaya mereka lakukan termasuk tindak kekerasan dan pembunuhan demi meraup keuntungan sebesar-besarnya atas negara.

Kini konflik masih terus menghantui Moro. Sejak merebak lebih dari enam dekade silam, damai masih menjadi angan-angan bagi sekitar 29 juta orang yang hidup di Kepulauan Mindanao. Kesenjangan, lagi-lagi jadi awal sebab-musababnya.

Tanah Moro dirampas dan dikuasai Pemerintah, kerapkali peluru-peluru serdadu militer menembus badan mereka demi memperlancar agenda okupasi Pemerintah. Kemiskinan melanda, Moro terbatas dalam akses pendidikan, sebab tak mampu membayar sekolah. Jalan panjang protes Moro tak kunjung di dengar, bahkan tindak protes mereka di anggap sebagai pengganggu stabilitas negara.

“Susah pak, susah. Banyak orang kami (moro) mati dan dibiarkan begitu saja oleh militer. Kami mau belajar tak bisa karna terbatas akses pendidikan dan ekonomi kami, kami minta lahan tak diberi pemerintah” Ungkap warga Moro.

Dari kutipan wawancara itu, saya pikir pembaca dapat menilai represifitas yang terjadi melanda Moro begitu menyengsarakan kehidupan mereka. Moro dibiarkan tak berpendidikan agar kemudian negara dengan gampang melakukan domestifikasi dan kontrol.

Dalam hal lain, negara memberikan akses sebanyak-banyaknya untuk perusahaan masuk dan mengambil lahan Moro, kebanyakan perusahaan yang masuk adalah perusahaan milik Amerika. Moro di isukan sebagai teroris padahal mereka tak tau apa-apa, akhirnya kerap mereka dianggap sebagai musuh negara yang layak untuk di basmi. Setelah ditelusuri, negara sengaja ingin mengusir Moro dari wilayahnya dengan dalih terorisme.

“Sebenarnya tidak ada teroris di kampung kami, itu dibuat-buat saja oleh Pemerintah dan media. Kami di politiki, hal itu sengaja dilakukan pemerintah untuk mengambil tanah kami. Pemerintah didorong oleh US untuk mengisukan kami teroris, mereka yang membuat teroris itu lalu kami dituduh”.

Di Moro, konflik dan perlawanan yang terjadi bukanlah di sebabkan dengan perjuangan identitas seperti yang diisukan, melainkan disebabkan oleh perebutan hak atas wilayah mereka yang ingin diambil-alih oleh negara. Perusahaan Amerika membentuk teroris, lalu menuduh Moro sebagai teroris hasil bentukan mereka. Sebenarnya perusahaan Amerika memiliki kepentingan besar untuk menguasai wilayah Moro dan menikmati tanah dan sumberdaya bangsa Moro.

Tak pelak kondisi yang dilaporkan oleh salah satu informan dalam tulisan ini seringkali terjadi di dunia modern, tak hanya di Moro, pola itu juga terjadi di Rohingnya. Propaganda-propaganda identitas kepada satu etnis yang mengganggu aktivitas okupasi negara, untuk kemudian Pemerintah beserta reent-seeking nya membentuk satu framing negatif sebagai salah satu cara untuk mengusir etnis, ataupun membasmi etnis agar memperlancar agenda eksploitasi.

Jalan Panjang Perlawanan Bangsa Moro

Prahara penetrasi, kekerasan, perampasan dan pemiskinan yang terjadi di Moro membuat mereka memberikan reaksi perlawanan terhadap status quo yang melanda mereka dalam beberapa dekade ini.
Kuatnya dominasi militer di Filipina mengundang kemunculan Tentara Rakyat Baru atau New People’s Army di wilayah-wilayah pedesaan Moro. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang serung tidak konsisten, pembunuhan yang terjadi di Moro serta perampasan hak yang terjadi, mendorong bangsa Moro untuk membangun perlindungan, sebab mereka tak percaya dengan negara dan militer. Tentara Rakyat Baru tersebut beranggotakan rakyat-rakyat Moro, mereka lah yang bergerak melindungi kampung-kampung Moro ketika serangan datang.

Tentara Rakyat Baru tak hanya bergerak sebagai serdadu, kerapkali mereka turun ke kampung-kampung untuk memberikan pendidikan guna mencerdaskan dan menyadarkan bangsa Moro dari ketertindasan. Keberadaan gerakan perlawanan inilah yang menjadi senjata Pemerintah untuk menghembuskan isu separatisme kepada bangsa Moro.

Gerakan itu hanya satu bentuk perlawanan dan perlindungan bangsa Moro atas penetrasi dan kekerasan yang melanda mereka. Jalan panjang perlawanan, sudah sepatutnya bangsa Moro lakukan. Sebab kekerasan melulu menghantui mereka, meski kini telah merdeka, namun Moro masih terkungkung atas penjajahan pemerintah filipina di dalam wilayah mereka.

Yayan Hidayat
Yayan Hidayat
Yayan Hidayat Peneliti di Central Information, Journal and Forum Development Universitas Brawijaya
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.