Minggu, April 28, 2024

Sebuah Perdebatan: Antara Syariat dan Kemaslahatan

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf
Alumni PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Penikmat kajian keislaman dan filsafat.

Seringkali pertanyaan yang selalu muncul terkait dengan isu ini, adalah bagaimana apabila pertimbangan hukum atas dasar kemaslahatan tersebut bertentangan dengan bunyi literal teks suci, baik al-Qur’an maupun hadits dan dengan ijma’ ulama. Apakah manusia mengikuti agama atau sebaliknya agama mengikuti manusia?

Mengenai hal ini, menarik sekali untuk dikemukakan pandangan Dr. Musthafa Syalabi dalam bukunya Ta’lil al-Ahkam yang mengatakan:

انها (المصلحة)  إِذَا تَعَارَضَتْ مَعَ النَّصِّ فِى اَبْوَابِ الْمُعَامَلاَتِ وَالْعَادَاتِ الَّتِى تَتَغَيَّرُ مَصَالِحُهَا اُخِذَ بِهَا وَلَيْسَ هَذَا إِهْدَاراً لِلنَّصِّ بِمُجَرَّدِ الرَّأْىِ , بَلْ هُوَ عَمَلٌ بِالنُّصُوصِ الْكَثِيرةِ الدَّالَّةِ عَلى اعْتِبَارِهَا. وَاَمَّا إِذَا كَانَتْ الْمَصْلَحَةُ الْمُسْتَفَادَة مِنَ النَّصِّ لَا تَتَغَيَّرُ فَلَا يُتْرَكُ النَّصُّ اَصْلاً

“Apabila kemaslahatan bertentangan dengan “nash ”(teks), dalam bidang mu’amalat dan adat-kebiasaan (tradisi) yang kemaslahatannya telah berubah, maka kemaslahatanlah yang harus dipertimbangkan, dan hal ini tidaklah dapat dikatakan sebagai menentang “nash” melalui semata-mata pendapat nalar/akal.”

Sebaliknya, lanjut Musthafa Syalabi, “ia justeru mengaplikasikan “nash-nash” yang sangat banyak yang menunjukkan keharusan menjaga kemaslahatan tersebut. Akan tetapi, apabila kemaslahatan dalam “nash” tidak berubah, maka “nash” sama sekali tidak boleh diabaikan.”

Kemudian, selanjutnya Musthafa Syalabi mengatakan:

وَمَنْ اَمْعَنَ النَّظْرَ فِى هذا التَّعَارُض وَجَدَ صُورِيًّا فقط, لِاَنَّ النَّصَّ وَرَدَ لِمَصْلَحَةٍ خَاصَّةٍ, وَلَمَّا انْتَهَتْ انْتَهَى عَمَلُه, اَوْ جَاءَ مُعَلَّلًا بِعِلَّةٍ خَاصَّةٍ, فَلَمَّا زَالَتْ هَذِه الْعِلَّةُ انْتَهَى الْعَمَلُ بِه. وَهَذَا فَهْمُ الصَّحَابَةِ وَمَنْ بَعْدَهُم

“Siapapun yang merenungkan secara mendalam tentang adanya kontradiksi tersebut, hal itu sebenarnya hanyalah dalam bentuk lahiriyahnya saja. Hal ini karena nash sesungguhnya diturunkan Tuhan (dibuat) dalam rangka menegakkan kemaslahatan tertentu. Manakala kemasalahatan tersebut telah hilang, maka ia tidak relevan lagi untuk diimplementasikan. Demikian pula apabila nash disertai dengan illat-nya (logika kausalitas). Manakala illat tersebut hilang, maka hukum tersebut juga selesai. Ini adalah pemahaman para sahabat dan generasi sesudahnya.”

Syahdan, Umar bin Khattab, adalah tokoh besar yang banyak sekali mendasarkan keputusannya berdasarkan prinsip kemaslahatan ini. Beberapa di antaranya adalah pembatalan hukuman potong tangan ketika masyarakat menghadapi situasi krisis pangan. Banyak rakyat yang kelaparan.

Ia juga tidak membagikan tanah rampasan perang kepada para tentera, tetapi menyerahkannya kepada Negara untuk kepentingan yang lebih luas. Padahal, Nabi membagikannya kepada para prajurit. Lalu talak tiga yang diucapkan suami kepada isterinya menjadi jatuh tiga. Keputusan-keputusan Umar ini berbeda dari keputusan Nabi.

Apakah dengan begitu Umar menentang Nabi?

Jawabannya adalah tentu tidak. Tindakan Umar tidaklah berarti bahwa dia menentang Nabi. Umar justeru menegakkan maksud dan visi al-Qur’an, sebagaimana juga Nabi. Ia memahami bahwa hukum yang diputuskan Nabi adalah relevan dengan kemaslahatan sosialnya. Akan tetapi, akibat perkembangan sosial pada masanya, keputusan Nabi tersebut tidak lagi sesuai dengan kemaslahatan sosialnya.

Mengenai persoalan talak tiga yang jatuh tiga, Ibnu al-Qayyim menginformasikan argument Umar dengan mengatakan:

كَانَ الطَّلَاقُ الثَّلَاثُ فِى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَفِى عَهْدَ اَبِى بَكْرٍ وَسَنَتَيْنِ مِنْ خِلَافَةِ عُمَر بن الخطاب يَقَعُ وَاحِداً. لَكِنَّ النّاسَ قَدِ اسْتَعْجَلُوا فِى أَمْرٍ كَانَتْ لَهُمْ فِيهِ أَنَاةٌ, فَلَوْ اَمْضَيْنَاهُ عَلَيْهِم. رواه مسلم

“Talak (cerai) tiga pada masa Nabi saw, dan pada masa pemerintahan Abu Bakr serta dua tahun masa Umar jatuh satu. Akan tetapi masyarakat kemudian menuntut kesegeraan pada masalah yang seharusnya dilakukan bertahap. Mereka berharap kami memenuhinya. Maka aku putuskan sesuai dengan kehendak mereka.”

Memang betul, membaca fiqh para ulama pendiri mazhab maupun para pengikutnya, tampak jelas bahwa pandangan mereka hampir selalu berbeda-beda dan beragam, meskipun mendasarkan diri pada sumber hukum yang sama. Beberapa contoh kasus, misalnya wali nikah perempuan, saksi nikah, usia dewasa, talak tiga dan sebagainya.

Keputusan mereka sangat dipengaruhi oleh ruang dan waktu mereka yang berbeda dan dinamis. Pandangan-pandangan fiqh Islam tidak lain kecuali merupakan refleksi dari perkembangan kehidupan sosial dalam masyarakat Islam. Pandangan-pandangan fiqh itu berubah, berkembang dan berganti-ganti sejalan dengan situasi zaman dan konteks sosialnya masing-masing.

Para ulama ahli fiqh sepakat bahwa, hukum-hukum yang dirumuskan dari kasus yang berkembang dan berubah, niscaya ia juga akan berubah dan berkembang. Mereka kemudian melahirkan kaidah hukum “La Yunkaru Taghayyur al-Ahkam bi Taghayyur al-Azminah wa al-Amkinah wa al-Ahwal” (perubahan hukum terjadi karena perubahan zaman, lokalitas dan situasi sosial). Ibnu al-Qayyim menyampaikan kaidah ini secara lebih lengkap. Ia mengatakan:

تَغَيُّرُ الْفَتْوَى وَاخْتِلَافُهَا بِحَسَبِ تَغَيُّرِ الْاَزْمِنَةِ وَالْاَمْكِنَةِ وَالْاَحْوَالِ وَالنِّيَّاتِ وَاْلعَوَائِدِ

“Perubahan fatwa dan perbedaannya berdasarkan perubahan zaman, tempat, kondisi social, motivasi dan adat-istiadat (tradisi)”.

Lalu bagaimana dengan prinsip kemanusiaan universal ?

Lebih jauh dari sekedar keharusan terjadinya perubahan hukum karena perubahan ruang, waktu dan perkembangan social, perumusan hukum juga meniscayakan prinsip-prinsip yang lebih mendasar. Yaitu prinsip-prinsip kemanusiaan universal. Para ulama menyebutnya sebagai “Al-Kulliyyat al-Khams” (lima prinsip universal) atau “al-Dharuriyyat al-Khams” (lima prinsip niscaya) dan “Maqashid al-Syari’ah” (tujuan syari’at/agama).

Prinsip-prinsip ini telah dirumuskan oleh antara lain Imam al-Ghazali dalam “Al-Mustashfa Min Ilm al-Ushul”, dan diuraikan lebih luas oleh Imam Al-Syathibi dalam bukunya “Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah”.

Yakni: Hifzh al-Din (perlindungan terhadap agama/keyakinan, Hifzh al-Nafs (perlindungan terhadap hak hidup (life), Hifzh al-Aql (perlindungan terhadap hak berpikir dan mengekspresikannya, Hifzh al-Nasl (perlindungan terhadap hak-hak reproduksi dan Hifzh al-Mal (perlindungan terhadap hak-hak milik/property).

Belakangan ini, sejalan dengan realitas baru yang terus berkembang, banyak pemikir muslim yang menambahkan dua prinsip lagi. Yaitu “Hifzh al-Irdh” (perlindungan atas kehormatan) dan “Hifzh al-Bi’ah” (konservasi lingkungan alam). Lima (atau tujuh) prinsip di atas dinyatakan oleh Imam Abu Ishaq al-Syathibi sebagai konsensus agama-agama (Ittifaq al-Milal).

Berbeda dengan sementara Dr. Abdullah Darraz mengatakan:

اَمَّا حِفْظُ شَيئٍ مَنَ الضَّرُورِيَّاتِ الْخَمْسَةِ : الدِّينِ وَالنَّفْسِ وَالْعَقْلِ وَالنَّسْلِ وَالْمَالِ, الَّتِى هِى أُسُسُ اْلعُمْرَانِ الْمَرْعِيَّة فِى كُلِّ مِلَّةٍ وَالَّتِى لَوْلاَهَا لَمْ تَجْرِ مَصَالِحُ الدُّنْياَ عَلىَ اسْتِقَامَةٍ وَلَفَاتَتِ النَّجَاةُ فِى اْلاَخِرَةِ

“Lima prinsip di atas merupakan dasar-dasar pembangunan/kemajuan masyarakat dalam semua agama. Tanpa lima dasar ini kehidupan bersama manusia tidak akan stabil dan kebahagiaan di akhirat tak akan dicapai”.

Pandangan ini pada gilirannya membawa serta konsekuensi dan keharusan, bahwa kita semua dituntut berjuang dan bekerja secara terus menerus dan tanpa lelah, untuk menghormati kesucian martabat orang lain, menegakkan keadilan, menaklukkan kecenderungan egoisme dan arogansi yang ada dalam diri kita sambil meletakkan orang lain di dalam hati kita, dan memandang tiap manusia tanpa kecuali, sebagai ciptaan Tuhan yang setara dan mulia.

Semua tindakan dan sikap yang baik di atas betapapun beratnya, sesungguhnya tidaklah akan sia-sia dan tidak akan hilang ditelan embusan angin kemarau, melainkan akan selalu berguna bukan hanya bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi orang lain dan alam semesta. Tuhan tak pernah mengabaikan kerja-kerja manusia sekecil apapun.

Catatan Pinggir 

Ibnu Asyur, pemikir Islam kontemporer dan penulis Tafsir Al-Tahrir wa al-Tanwir,  mengemukakan pandangannya. Beliau mengatakan:

شريعة الاسلام جآءت لما فيه صلاح البشر فى العاجل والآجل أى فى حاضر الامور وعواقبها وليس المراد بالآجل أمور الآخرة . لان الشرائع لا تحدد للناس سيرهم فى الآخرة ولكن جعلها الله جزآء على الاحوال التى كانوا عليها فى الدنيا. لما كانت شريعة الاسلام ضابطة للسلوك الدنيوى فان المصلحة التى جاءت لتحقيقها لا يمكن ان تكون الا دنيوية , تهدف فى المقام الاول الى ضبط العالم الدنيوى

“Syariah Islam dihadirkan untuk kemaslahatan manusia di dunia sekarang dan nanti. Yang dimaksud dengan nanti bukanlah kehidupan di akhirat. Karena semua syari’at tidak mengatur urusan kehidupan manusia di akhirat, akan tetapi Allah menjadikan akhirat sebagai tempat dan saat pertanggungjawaban manusia atas perbuatan/tingkah lakunya selama di dunia. Manakala syari’at Islam merupakan aturan manusia di dunia, maka kemaslahatan yang harus diwujudkan tidak mungkin kecuali di dalam dunia ini. Ia diarahkan, dalam posisi utama, untuk pengaturan manusia di alam dunia.” (Baca: Ismail al-Hasani, Nazhariyat al-Maqashid ind al-Imam Muhammad Thahair ibn Asyur, al-Ma’had al-Alami li al Fikr al Islami, [Virginia, USA, cet. I, 1995], hal. 281).

Namun demikian, rumusan tersebut sepertinya berbeda dengan pandangan mayoritas ulama. Pada umumnya, para ulama menyatakan bahwa syari’at dimaksudkan untuk kebaikan/kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat (fi al-ma’asy wa al-ma’ad atau fi al-dunia wa al-akhirah). Akhirat dimaksudkan sebagai suatu kehidupan sesudah kematian manusia.

Ibnu Asyur tampaknya sengaja mengemukakan hal itu dalam rangka menegaskan tentang perlunya kaum muslimin memberikan apresiasi lebih besar terhadap persoalan-persoalan sosial/publik, kebangsaan dan kemanusiaan daripada urusan-urusan individual. Ibnu Asyur merasakan bahwa selama kurun waktu yang panjang, perhatian kaum muslimin terhadap urusan syariah individual begitu dominan, sementara mereka kurang responsip terhadap urusan-urusan sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi serta hal-hal publik lainnya.

Jamal al-Banna dalam bukunya “Nahwa Fiqh Jadid” menyebut: tulisan-tulisan para ulama fiqh tentang ibadah personal jauh lebih banyak daripada tentang al-mu’amalat. Ia mengungkapkan:

تضخم الفقه العبادى تضخما غطى على بقية مجالات وموضوعات الفقه الاسلامى الذى يضم الشريعة وما فيها من نظم سياسية واقتصادية واجتماعية

“Fiqh ibadah berkembang begitu besar. Ia mendominasi bidang-bidang dan kajian-kajian fiqh Islam, di mana syari’at meliputi aturan-aturan tentang politik, ekonomi dan sosial.” Jika pandangan ini diikuti maka mungkin akan menimbulkan implikasi penting terutama dalam kaitannya dengan bidang-bidang kehidupan sosial kemasyarakatan dan kebudayaan muslim. Wallahu a’lam bisshawab.

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf
Alumni PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Penikmat kajian keislaman dan filsafat.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.