Nama Nahdlatul Ulama kembali menjadi pembicaraan. Pro-kontra di mana-mana seiring dipilihnya sang Rais Am. KH. Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden oleh presiden petahana, Joko Widodo. Banyak yang mendukung namun tak sedikit juga yang kecewa.
Nama yang paling santer dikabarkan akan mendampingi petahana Mahfud MD, namun di detik terakhir, strategi dan pilihan Jokowi berubah. Ia lebih memilih Ma’ruf Amin walaupun menurut survey, elektabilitasnya masih di bawah Mahfud MD.
Tak pelak, dipilihnya KH. Ma’ruf Amin mendapat banyak respon dari berbagai kalangan, termasuk dari salah satu kiai khos nan karismatik, KH. Mustofa Bisri atau biasa disapa Gus Mus.
Setidaknya, melalui akun media sosialnya Gus Mus sudah mengkritik para elit PBNU yang melakukan pertemuan para kiai tentang permasalahan politik praktis, dan tempat pertemuan itu terjadi di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Menurut Gus Mus, tidak seharusnya kantor PBNU menjadi ajang tempat berkumpul untuk membicarakan politik praktis, dengan kata lain, PBNU bukan tempat ajang konvensi cawapres.
Alasannya sederhana, karena Nahdlatul Ulama adalah bukan partai politik, melainkan organisasi sosial keagamaan dan kemasyarakatan. Jadi sangat tidak elok jika NU kembali menjadi lembaga politik, karena sudah ada keputusan final mengenai Khittah Nahdlatul Ulama yang menyatakan bahwa NU sama sekali tidak berafiliasi dengan politik praktis.
Ada beberapa poin penting yang terdapat dalam anggaran dasar NU bahwasannya NU adalah Jam’iyyah Diniyyah. Yang mempunyai tujuan untuk mengembangkan Islam yang berdasarkan ajaran empat Mazhab.
Adapun tujuan itu dimanifestasikan ke dalam beberapa poin. Pertama, memperkuat persatuan di antara sesame Ulama penganut ajaran empat Mazhab. Kedua, meneliti kitab-kitab yang dipergunakan untuk mengajar agar sesuai dengan ajaran Ahlusunnah wal Jama’ah.
Ketiga, menyebarkan ajaran Islam yang sesuai dengan ajaran empat Mazhab. Keempat, membantu pembangunan masjid, surau dan pondok pesantren serta membantu kehidupan anak yatim dan fakir miskin. Kelima, memperbanyak lembaga pendidikan Islam dan memperbaiki organisasinya. Keenam, meningkatkan badan-badan untuk meningkatkan perekonomian anggota.
Melalui enam manifestasi di atas, tidak ada visi NU untuk berkecimpung di dalam politik praktis, namun demikian, dinamika NU yang dinamis memaksanya untuk berkecimpung secara politik praktis sejak masa awal kemerdakaan. Hal ini tidak lepas dari ajaran empat Mazhab itu sendiri yang di dalam literatur-literaturnya dijumpai banyak pembahasan tentang fikih siyasah.
Oleh sebab itu, bergabunglah NU ke dalam partai Islam yang disebut dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI).seiring berjalannya waktu, NU keluar dari Masyumi dan mendirikan partai secara mandiri. Hal ini tak lepas dari keputusan-keputusan Masyumi yang banyak mendiskreditkan NU dan dianggap tidak pernah suara dari NU.
Pada tahun 1952, berdirilah partai politik yang bernama NU. Dalam waktu singkat NU harus berjibaku mengikuti pemilu 1955, dan yang membuat kekagetan banyak orang, partai NU mendapatkan suara lebih banyak daripada partai induknya, Masyumi.
Seruan kembali ke khittah 1926 muncul kembali pada 1971, saat itu ketua umum PBNU KH. Muhammad Dahlan menilai langkah NU terjun ke politik praktis merupakan sebuah kemunduran.
Setelah sempat terhenti selama beberapa tahun, pada 1979 gema tersebut kembali muncul ketika penyelenggaraan muktamar ke-26 di Semarang. Aspirasi itu kembali terhenti karena tidak mendapatkan titik temu. Apalagi saat itu NU sedang gencar-gencarnya melawan represi orde baru.
KH. Ahmad Siddiq, Jember kemudian menjadi lakon utama dalam khittah NU. Ia menulis beberapa poin yang begitu komprehensif dan mendapat sambutan yang luar biasa saat munas NU di Situbondo, setahun sebelum muktamar ke-27 digelar.
Naskah khittah Nahdliyah KH. Ahmad Siddiq kemudian dioperasionalkan dan merumuskan perangkat kelembagaan yang dilakukan oleh para aktivis NU semacam KH. Abdurraman Wahid, KH. Ahmad Mustofa Bisri, Mahbub Junaidi dan lain sebagainya. Menurut kesaksian GusMus, gagasan kembali ke khittah 1926 baru bisa diputuskan berkat pemikiran brilian KH. Ahmad Siddiq dan GusDur.
Dari sedikit cuplikan cerita di atas, mungkin cukup beralasan jika beberapa kiai pun mengkritik elit PBNU yang secara tidak langsung ikut campur dalam tatanan politik praktis. Apalagi pertemuan-pertemuan itu dilakukan di kantor PBNU, kantor yang tidak seharusnya memikirkan hal-hal seperti itu.
Tidakkah PBNU merasa kapok dengan “kegagalan” di masa lalu? Di mana KH. Hasyim Muzadi waktu itu masih menjabat ketua umum PBNU dan dicalonkan sebagai cawapres mendampingi Megawati, tapi kemudian kalah?. Hal paling ditakutkan ketika pimpinan PBNU apalagi semacam Rais Am mengikuti kompetisi politik praktis adalah ketika kekalahan menimpa. Di mana akan diletakkan marwah ulama ketika ia justru tidak dipilih oleh umat? apa yang akan dilakukan kemudian?
Aspirasi Nahdliyin sudah mendapatkan tenpatnya di PKB. Jadi hemat penulis, cukuplah PKB yang menjadi wadah dan kendaraan politik warga Nahdliyin, bukan NU. Bukankah sang Rais Am terdahulu KH. Ahmad Siddiq sudah bersusah payah merumuskan kembali NU kembali menjadi Jam’iyyah Diniyyah Ijtima’iyyah.? Jika ulama-ulama terdahulu menganggap kemunduran ketika NU berpolitik praktis, apakah NU yang sekarang juga mengalami kemunduran?
Bagi penulis, jabatan Rais Am itu adalah jabatan yang melebihi Presdien sekalipun, karena ia tidak pragmatis laiknya jabatan politik. Ia jabatan yang dipilih oleh ulama, untuk menjadi pengayom masyarakat dan pemimpinnya para ulama. Tapi penulis juga berhusnuzan bahwa para kiai itu sudah melakukan pertimbangan yang matang untuk melibatkan NU terseret-seret ke dalam tataran politik praktis.
Tidak mungkin mereka gegabah dalam mengambil keputusan apalagi berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Cukup beralasan juga rupanya, karena yang menjadi lawan sejatinya adalah mereka yang memanfaatkan nama agama untuk mencari kekuasaan, bahkan untuk menghilangkan Indonesia dari peradaban dengan menggantinya dengan Khilafah.
Kaum yang nafsu buasnya sudah memuncak dengan kebencian harus diredam dengan air jernih yang mengalir tenang yang tergambar dalam sosok KH. Ma’ruf Amin.
Terakhir, teriring salam hormat kepada para kiai dan jajaran di elit PBNU. Semoga terus bisa membawa NU semakin maju dan bermanfaat untuk agama dan bangsa Indonesia.