Minggu, April 28, 2024

Sebab Umum dan Filosofis Memiliki Anak

I Ketut Sawitra Mustika
I Ketut Sawitra Mustika
Lulusan Magister Ilmu Filsafat Universitas Indonesia.

Seorang warganet diserang habis-habisan di Twitter karena dianggap tidak peka, sebab mempertanyakan motivasi memiliki anak di cuitan seorang wanita yang sangat mendamba keturunan. Saya tidak berminat membahas apakah pertanyaannya kepada si calon ibu patut atau tidak. Sebaliknya, dalam artikel pendek ini saya akan mencoba menjawab pertanyaan yang ia ajukan, yakni “kenapa orang-orang ingin banget punya anak sampe rela bayi tabung?”

Secara garis besar ada lima alasan yang mendorong orang-orang ingin memiliki anak. Pertama,  anak memberi kesan keabadian. Manusia tahu dirinya fana, tapi begitu terobsesi dengan kekekalan. Filsuf-filsuf besar, walau tak semua, tak mau ambil pusing perkara membangun keluarga dan beranak pinak, selain dianggap hanya sebagai penghambat berfilsafat, juga karena mereka sudah memiliki karya yang menjaminkan satu tempat di museum keabadian, tempat di mana orang-orang agung bersemayam.

Heraclitus abadi dalam fragmen-fragmennya yang menggugah. Demikian pula Democritus dalam teori atomnya yang mengagumkan. Para penulis epos kondang macam Homer (terlepas ia satu orang atau banyak), Vyasa, dan Ferdowsi, juga sepertinya tidak akan risau bila tidak punya anak karena tahu orang-orang akan tetap membaca dan membicarakan Iliad, Mahabharata, dan Shahnameh.

Sementara bagi miliaran medioker dan pecundang yang pernah dan masih hidup di muka bumi, jalan yang tersedia bagi makhluk-makhluk fana ini mencecap keabadian hanyalah dengan mewariskan nilai, gagasan, dan material genetik pada anak-anaknya, yang pada gilirannya akan melakukan hal serupa. Pendeknya, dengan bereproduksi agar garis keturunan tidak putus.

Kedua, anak adalah “proyek” dan sumber bahagia. Anak-anak dilahirkan untuk mewujudkan mimpi-mimpi tak sampai para orang tua. Mereka adalah api penyucian untuk menebus kegagalan-kegagalan menyakitkan di masa lalu. Setidaknya begitu yang diharapkan. Berhasil atau tidak perkara belakangan.

Orang-orang juga butuh anak supaya hidup tetap bergairah. Bayangkan saja betapa muramnya kehidupan ketika kita sudah terjebak dalam pekerjaan yang menyedihkan, rutinitas yang menjemukan, dan masa depan yang hanya akan begitu-begitu saja, tapi tak ada penghiburan yang membuat kita bersemangat dan bahagia. Melahirkan, merawat, dan membentuk anak sesuai keinginan adalah pilihan paling memungkinkan, sebab menaklukkan sepertiga wilayah bumi, memenangkan Nobel, dan membangun koloni di luar angkasa berada di luar jangkauanmu.

Namun para pemenang juga butuh anak. Mereka perlu penerus dinasti untuk melanjutkan kedigdayaan dan kemasyhuran.

Ketiga, tuntutan masyarakat dan keluarga. Sudah menjadi aturan yang tak disepakati bahwa manusia harus menjalani tahap-tahap kehidupan – yakni lahir, menjalani masa kecil, bersekolah, kuliah, kerja yang halal, menikah dengan lawan jenis, punya anak, menua, dan mati (kalau bisa dengan terhormat) – agar bisa menyelaraskan diri dengan lingkungan.

Seseorang yang tidak punya anak adalah manusia yang tidak lengkap karena dianggap gagal menjalani tahap kehidupan yang diwajibkan. Orang yang tak memiliki keturunan akan menjadi bahan gunjingan tetangga dan keluarga karena tidak memiliki apa yang mereka miliki. Bila yang lain punya anak, kau juga harus memilikinya.

Keempat, setiap benda di dunia ini memiliki apa yang oleh Schopenhauer sebut sebagai will-to-live, yakni kehendak untuk hidup, memproduksi kehidupan, melindungi keturunan, dan melestarikan spesies. Bila kehidupan sudah ditangan, makhluk hidup akan berupaya bertahan selama mungkin untuk hidup, sembari beranak pinak demi melindungi spesiesnya. Evolusi adalah perwujudan terbaik dari will-to-live.

Jadi tak peduli kau adalah taoge, kelor, amoeba, plankton, macan kumbang, paus pembunuh, belut listrik, ulat sagu, supermodel, influencer, bangsat, politisi zalim, pengusaha tamak, pendakwah penebar kebencian, fuckboy, dan anak durhaka, dalam dirimu selalu ada dorongan untuk beranak pinak. Kenapa kita memiliki will-to-live? Jawabannya, menurut Schopenhauer, adalah karena itulah titah tertinggi dari kehendak yang merupakan hakikat, esensi, dan inti terdalam dari benda-benda di dunia.

Kelima, industri berkepentingan dengan kelahiran karena ia membutuhkan regenerasi pekerja. Louis Althusser, dalam Ideology and Ideological State Apparatuses, menjelaskan bahwa formasi sosial masyarakat kapitalis harus mereproduksi prasyarat produksinya agar bisa terus berproduksi. Ada dua hal yang perlu direproduksi, yakni kekuataan produktif dan relasi produksi yang telah eksis.

Reproduksi kekuatan produktif mencakup reproduksi sarana produksi dan tenaga kerja. Agar tenaga selalu tersedia, buruh-buruh diberi gaji secukupnya agar bisa membangun keluarga, memiliki keturunan, dan membiayainya hingga siap kerja. Anak-anak ini akan belajar berbagai keterampilan dalam sistem pendidikan kapitalis agar bisa bekerja di berbagai sektor. Di sekolah dan universitas anak-anak ini juga akan diajarkan untuk takluk pada ideologi yang berkuasa agar dapat menjalankan perannya sebagai kelas pekerja dengan ikhlas.

Jadi tak mengherankan bila kemudian miliarder seperti Elon Musk coba memberi kita teladan dengan melahirkan anak sebanyak mungkin karena ia ingin manusia memiliki lebih banyak keturunan. Karena, sekali lagi, industri butuh pekerja (dan konsumen).

Semenjak begitu banyak dan beragamnya dorongan dan alasan memiliki anak, tak heran bila kemudian orang-orang rela mengeluarkan banyak uang dan menjalankan takhayul aneh-aneh demi mendapatkan keturunan.

Menentang Kelahiran

Motivasi-motivasi melahirkan anak, tanpa disadari, sepenuhnya dilandasi oleh kepentingan yang murni egoistis.

Prokreasi sama sekali tidak pernah memikirkan kepentingan bayi potensial. Melahirkan anak hanya melulu soal kepentingan orang tua, keluarga, penyelenggara negara, dan orang-orang super kaya. Bila kita mengesampingkan kepentingan-kepentingan di atas, dan mengarusutamakan kepentingan bayi-bayi potensial, maka, menurut Benatar dalam Better Never To Have Been, non-eksistensi akan lebih baik bagi mereka.

Kenapa? Karena eksistensi, meski tidak niscaya, selalu menyakitkan. Penuh derita. Dengan premis seperti itu, Benatar menyimpulkan bahwa non-eksistensi, dalam artian tidak pernah dilahirkan, lebih baik ketimbang eksistensi, sebab tak ada rasa sakit dan derita yang mesti ditanggung.

Sebaliknya, bila dilahirkan, maka sengsara, perih, dan nestapa yang harus dipikul, meskipun ada berbagai macam keindahan, kenikmatan, dan bahagia, yang dapat direguk. Namun tetap saja non-eksistensi lebih baik karena kebahagian dan kenikmatan selalu memudar dengan cepat, sementara rasa sakit dan derita bisa bertahan lama. Lagi pula kehidupan tak memiliki makna apa pun, jadi buat apa hidup. Karenanya nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan.

“Tidur itu baik, kematian lebih baik; tapi tentu saja, yang terbaik adalah tidak pernah dilahirkan sama sekali,” kata Heinrich Heine dalam Morphine.

Namun tak peduli seberapa masuk akal dan canggihnya argumen menentang kelahiran, manusia tidak akan pernah berhenti mereproduksi kehidupan karena akan selalu ada dorongan biologis untuk melakukannya. Prokreasi adalah naluri alamiah, yang diperkokoh dalil agama, tuntutan masyarakat dan keluarga, serta propaganda kapitalisme.

I Ketut Sawitra Mustika
I Ketut Sawitra Mustika
Lulusan Magister Ilmu Filsafat Universitas Indonesia.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.