Selasa, April 30, 2024

Scholar-Activist Sebagai Paradigma, Sebuah Refleksi

Novita Puspasari
Novita Puspasari
Lecturer at Universitas Jenderal Soedirman. Researcher at Kopkun Institute. Erasmus University Rotterdam alumni

Peran akademisi di masyarakat selalu menjadi objek yang diperdebatkan. Banyak yang mengkritik Universitas sebagai menara gading dengan ilmu pengetahuan yang bergerak lamban dalam pusaran intelektual namun tidak relevan dengan dunia “nyata”.

Jika jumlah dosen perguruan tinggi di Indonesia sebanyak 260.333 orang, dengan setiap dosen minimal memiliki satu riset wajib berkelompok sebanyak tiga orang, maka akan ada sekitar 86.800 hasil penelitian setiap tahunnya.

Belum lagi jika angka tersebut digabung dengan kegiatan pengabdian masyarakat. Maka, kita akan memiliki sekitar 170,000 metode penyelesaian masalah sosial yang baru setiap tahunnya. Angka tersebut baru didapat langsung dari kedua jenis Tridharma: penelitian dan pengabdian.

Sementara dampak lainnya dari pengajaran ke lebih dari 4 juta mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di Perguruan Tinggi saat ini. Bukankah sebuah jumlah yang luar biasa? Namun, bagaimana dampak dari output-output perguruan tinggi ini di masyarakat? Dapatkah menjadi driver bagi transformasi sosial di masyarakat atau tetap tersimpan dalam rak-rak usang dan menunggu waktu untuk disingkirkan?.

Refleksi tersebut membawa saya pada paradigma scholar-activist atau akademisi-aktivis. Paradigma ini akan mengajak kita, para akademisi, untuk tidak hanya menangkap fenomena dan menteorikan praktek, tetapi juga mempraktekkan teori.

Kita akan mulai dengan membahas satu per satu dari definisinya. Definisi “scholar” menurut Merriam Webster (2004), Collins (2005), dan Tilley and Taylor (2014) adalah “orang terpelajar”, “bagian dari institusi pembelajaran, sangat terpelajar namun minim penguasaan praktek”, “ahli pada laboratorium atau tempat-tempat terisolasi lainnya”, dan “mengumpulkan ilmu pengetahuan yang esoterik” . Esoterik artinya “hanya dipahami oleh kalangan sejenisnya”.

Scholar sering dilambangkan dengan lambang burung hantu (owl). Dalam mitologi Yunani, burung hantu melambangkan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan. Namun burung hantu juga selalu keluar di malam hari, mengintai dunia dalam senyap, mengobservasi dari ketinggian, tidak berinteraksi langsung dan berjarak. Begitulah bagaimana akademisi digambarkan di luar sana.

Sementara definisi aktivis menurut Merriam Webster (2004) dan Conway (2004) adalah mereka yang terlibat dalam pergerakan sosial yang “berharap untuk mengubah dunia dan percaya bahwa manusia merupakan sentral dari perubahan tersebut”.

Selama ini, terdapat distrust antara aktivis ke akademisi dan begitu pula sebaliknya. Aktivis beranggapan bahwa akademisi adalah orang-orang yang tercerabut dari akar sosial (socially detached), memiliki kemewahan intelektual dengan akses-akses ke sumberdaya yang lebih baik, gaji penuh dan keamanan pekerjaan yang terjamin. Sementara akademisi beranggapan bahwa kerja-kerja aktivis adalah pekerjaan yang tidak terstruktur, tidak terukur outputnya, rawan kepentingan politik dan menguras energi dan menghabiskan banyak waktu.

Sederhananya, terdapat gap besar antara akademisi dan aktivis. Akademisi tempatnya di atas (menara gading), sementara aktivis adalah mereka yang membumi.

Paradigma scholar-activist mencoba menjembatani akademisi yang ada di menara gadingnya, dengan aktivis yang lebih “real”. Akademisi diajak untuk menyelami persoalan-persoalan nyata yang ada di masyarakat.

Menjadi scholar-activist berarti menghibahkan diri untuk selalu berbagi waktu dan pengetahuan ke orang banyak, terlibat dalam pertemuan-pertemuan tak berujung dengan komunitas, dan berkontribusi untuk pencapaian tujuan sosial yang lebih besar. Scholar-activist tidak hanya menangkap fenomena di masyarakat, namun juga melakukan intervensi terhadap masalah-masalah sosial yang ada di masyarakat, dan memastikan bahwa perubahan terjadi lewat intervensinya.

Scholar-activist bukanlah akademisi bermental penumpang gelap (free rider) yang fokus pada tujuan-tujuan jangka pendek, namun mereka yang bervisi besar dan melakukan banyak hal untuk membuat perubahan di masyarakat. Muhammad Yunus adalah salah satu contoh scholar-activist.

Muhammad Yunus awalnya adalah professor ekonomi di Chittagong University. Objek observasinya adalah para pengusaha mikro di Bangladesh yang memiliki akses modal terbatas dan tidak bankable. Alih-alih hanya melaporkan fenomena tersebut pada jurnal ilmiah, Yunus mendirikan Grameen Bank yang memberikan kredit lunak bagi para pengusaha mikro. Di tahun 2006, Yunus mendapatkan Nobel Perdamaian dengan Grameen Bank nya.

Di masa di saat kita, para akademisi, dijejali oleh berbagai tugas administratif yang melelahkan. Dimana kita dilihat sebagai deretan angka, diukur dari jumlah kehadiran dan publikasi jurnal yang kita hasilkan. Alih-alih bertanya, “seberapa Scopus” kah kita?, bagaimana jika kita bertanya “seberapa berdampak kah kita?”. Bukankah mencengangkan melihat bagaimana perubahan sosial akan terjadi jika kita, akademisi, membuat impact (dampak), dan bukan hanya impact factor seperti pada jurnal-jurnal Scopus. Make an Impact, not only an Impact Factor. 

Artikel yang ada di jurnal-jurnal Scopus ini adalah pengetahuan esoterik, yang hanya akan dibaca dan didiseminasikan ke rekan-rekan sejawat. Untuk sampai ke masyarakat, mungkin perlu jutaan tahun cahaya. Kita bisa mempercepatnya dengan menjadi scholar-activist. Satu kaki menjejak di kampus, satu kaki lagi menjejak di luar sana.

Kiranya, sepenggal puisi “Sajak Sebatang Lisong”  dari WS. Rendra masih relevan dengan kondisi saat ini:

“Diktat-diktat hanya boleh memberi metode ,

Tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.

Kita mesti keluar ke jalan raya,

Keluar ke desa-desa,

Mencatat sendiri semua gejala,

Dan menghayati persoalan yang nyata,

…………………………………………………………………………………

Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan

Apalah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan”

(WS. Rendra)

Para akademisi, turunlah dari menara gading!. Keluarlah dari sarang emas untuk berkontribusi lebih banyak lagi bagi negeri. Cukuplah jadi penonton, jadilah scholar-activist, mulailah perubahan.

*Orasi Ilmiah. Disampaikan penulis pada Dies Natalis Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jenderal Soedirman Ke-55.

Novita Puspasari
Novita Puspasari
Lecturer at Universitas Jenderal Soedirman. Researcher at Kopkun Institute. Erasmus University Rotterdam alumni
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.