Sabtu, April 20, 2024

Sayur Genjer Bulan September

Budicanggih
Budicanggih
Budi Hartono, biasa dipanggil budicanggih adalah seorang warganegara biasa pecinta kopi lokal, yang meminati masalah-masalah sosial politik dan media sosial.

[Gen.jer] adalah sejenis tanaman gulma di sawah atau rawa. Genjer adalah sumber sayuran yang dapat dimakan. Bahasa ilmiah untuk tanaman ini adalah limnocharis flava.  Biasanya di tumis atau dioseng, pengolahannya sama seperti bayam atau kangkung atau sawi. Teksturnya cenderung alot dan meninggalkan rasa agak pahit dilidah, seperti pare, walaupun kita beli satu, dua atau tiga kilo bisa dipastikan rasanya pahit semua dan tidak ada alasan untuk memusuhi penjualnya. De gustibus non est disputandum, walaupun saya suka genjer dan pare. Hehehee.

Sayur  genjer identik dengan sayurannya “orang miskin”. Namun sekarang banyak dijual dipasar-pasar modern seperti supermarket atau hypermarket dikota-kota besar. Ia telah naik kelas. Dulu hanya tersedia secara fresh from the oven di sawah atau rawa, tinggal dipetik diolah lalu dimasak dan dimakan oleh orang-orang di desa. Tapi sekarang dikota besar tersedia dengan paketan berbarcode banderol harga.

Genjer kaya akan nutrisi gizi, dalam 100gr sayur genjer terdapat kandungan energi, protein, lemak, karbohidrat, kasium, fosfor, zat besi dan vitamin B1. Manfaatnya pun cukup banyak bagi manusia, salah satu diantaranya adalah: mengatasi anemia, meningkatkan nafsu makan, menguatkan tulang, mencegah sembelit dan sebagainya. Namun demikian, manfaat nutrisi tersebut tidak mengikis perannya sebagai makanan rakyat miskin, sehingga seorang seniman pemukul alat musik Angklung asal Banyuwangi bernama Muhammad Arief pada tahun 1940an menulis sebuah lagu dengan judul “genjer-genjer”.

Pada masa pendudukan Jepang, lagu ini adalah sebuah satire atas penindasan tentara Jepang, dimana rakyat pada umumnya sulit sandang, sulit pangan, sulit papan. Dan genjer sebelumnya hanya dimakan Itik, kemudian dimakan oleh rakyat sebagai makanan lezat karena sulitnya bahan makanan saat itu.

Lagu ini amat populer pada masa itu, tercatat Lilis Suryani dan Bing Slamet adalah artis terkenal yang pernah menyanyikan lagu ini. Syahdan, lagu ini kemudian dikapitalisasikan untuk kepentingan politik. Adalah Partai Komunis Indonesia atau PKI pada masa demokrasi terpimpin yang mengidentikan partainya sebagai partai perjuangan untuk memperjuangkan orang miskin. PKI mempropagandakan lagu genjer-genjer sebagai penggambaran atas penderitaan warga desa. Akibatnya orang mulai mengasosiasikan lagu ini sebagai “lagu PKI”, maksudnya lagunya orang-orang anggota PKI.

Meme Genjer jaman now

Sial bagi genjer, sial pula bagi yang menyanyikannya. Lagu ini terus populer sampai terjadi peristiwa yang oleh Orde Baru disebut sebagai Pengkhianatan G.30 S/PKI. Pak Harto menyebutnya Gestapu, Bung Karno menyebutnya sebagai Gestok berdasarkan kronologi peristiwa itu terjadi.  Tumbangnya pemerintahan Paduka Yang Mulia Presiden Soekarno dan naiknya kekuasaan Jenderal Soeharto menjadikan lagu Genjer-genjer sebagai icon representatif PKI dan keturunannya. Pemerintah melarang menyanyikan lagu genjer-genjer, para simpatisan PKI diburu, keturunannya ditandai melalui litsus tertanda ET di KTP-nya. Tanda ini menjadikan anak keturunan bekas tahanan politik yang dituduhkan sebagai PKI akan sulit mendapat akses kepemerintahan atau pelayanan sosial pada masa itu. Menurut versi TNI, para anggota Gerwan dan Gerwani, menyanyikan lagu ini ketika para jenderal yang diculik diinterogasi dan disiksa. Peristiwa ini digambarkan pada film  Pengkhianatan G.30 S/PKI yang disutradarai oleh Arifin C. Noer dan tentu saja dimodali oleh Pemerintah, namanya juga film propaganda, jadi wajar saja kalau kemudian materi adegan dan skenarionya disesuaikan oleh pemerintah penguasa. 

Setelah berakhirnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, larangan penyebarluasan lagu Genjer-genjer secara formal telah berakhir. Lagu Genjer-genjer mulai beredar secara bebas melalui kanal youtube. Walaupun telah diperbolehkan, masih terjadi beberapa kasus yang melibatkan stigmanisasi lagu ini. Kasus terakhir adalah adanya pengepungan oleh sekelompok orang dari sekelompok ormas terhadap YLBHI pada 16-17 September 2017, minggu lalu. Dimana disaat yang sama di YLBHI sedang menyelenggarakan seminar “pelurusan sejarah” terhadap peristiwa tahun 1965. Bermodalkan desas-desus yang beredar melalui jaringan sosial dan broadcast info dari grup Whattsups, sekelompok orang mengepung gedung YLBHI untuk “melawan bangkitnya PKI”. Desas-desus informasi pun menyebutkan adanya nyanyian lagu Genjer-genjer dalam acara tersebut.

Entah fakta atau hoax atas desas-desus yang melatarbelakangi peristiwa pengepungan tersebut, yang jelas semenjak pilpres 2014 polarisasi tuduhan PKI terhadap pemerintah Joko Widodo memang sedemikian santer. Disisi lain kelompok penyebar hoax yang memuat berita fitnah atas satu kelompok terhadap kelompok yang lain, terlebih pasca pilkada DKI 2017 pun sudah ditangkap oleh aparat penegak hukum. Dan pastinya, peristiwa ini tidak berdiri sendiri. Setiap September isu PKI selalu muncul dipermukaan, atau bahkan dimuncul-munculkan kisahnya. Phobia komunis dan phobia genjer diposting dimana-mana termasuk oleh orang yang belum pernah sekalipun baca wacana komunis dan merasakan lezatnya sayur genjer. Bahkan kehadirannya (isu PKI/komunis) dinanti-natikan oleh beberapa kelompok untuk kemudian diimbangi oleh kelompok yang lain. Setuju atau tidak setuju, isu PKI vis a vis dengan sekelompok ormas yang identik religius adalah upaya untuk menggiring opini masyarakat kepada sebuah pilihan pertarungan wacana politik. Tidak menutup kemungkinan ini adalah “foreplay” dan kerja politik sebagian aktor politik menuju “pematangan situasi” menjelang  Pilpres 2019. Dibutuhkan kearifan ilmu pegetahuan dan IQ yang memadai untuk mereduksi hoax di media sosial.

Lagu ini judulnya Genjer-genjer, saya tidak tahu, selain genjer adalah nama tanaman sayuran, apakah ada nama sebuah desa? Stigmanisasi negatif sangat berbahaya, seandainya lagu tersebut bernama “kangkung-kangkung” atau “dondong-dondong”, saya khawatir sebuah daerah dengan nama kangkungan atau kedondong penduduknya akan sulit cari mencari kerja, sulit menjadi PNS atau bahkan akan terjadi diskriminasi yang lebih parah dari sekedar aksi mengepung yang dilakukan sekelompok orang akibat stigmanisasi negatif dari penguasa kala itu.

Sebelum tulisan ini berakhir silahkan search sendiri lagu genjer-genjer di kanal youtube. Tidak ada tafsir ideologi dalam lagu tersebut, tidak ada unsur indoktrinasi disetiap liriknya. Ini hanya lagu  refleksi jaman itu dari seorang seniman. Tentu saja refleksi tersebut akan berbeda dengan refleksi anak-anak jaman now.  Saya mencoba  mengajak pembaca yang budiman merenungi makna sambil berharap tidak ada hari esok yang akan kita lalui dengan konflik berdarah dan saling hantam antar anak bangsa hanya karena  stigmanisasi buruk simbol masa lalu yang dikapitalisasi oleh penguasa untuk tujuan politik.  Kita semua tentu setuju, bahwa ideologi tidak menurun baik patrinileal maupun matrinileal. Ia akan menjadi “penyakit degeneratif” ketika ideologi atau simbol tersebut dipelihara untuk dikapitalisasi secara politis dengan penyedap rasa berjubah agama untuk kepentingan tertentu.

Sambil menikmati secangkir kopi menunggu makan siang dengan menu tumis Genjer, mari berteriak: Historia vitae magistra!  karena “La historia me absolverá”

Budicanggih
Budicanggih
Budi Hartono, biasa dipanggil budicanggih adalah seorang warganegara biasa pecinta kopi lokal, yang meminati masalah-masalah sosial politik dan media sosial.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.