Jumat, Maret 29, 2024

Saya Sudah Beragama, Tapi Kenapa Saya Masih Hidup Sengsara?

Muhammad Nuruddin
Muhammad Nuruddin
Mahasiswa Dept. Akidah Filsafat, Universitas al-Azhar Kairo, Mesir | Alumnus Pondok Pesantren Babus Salam Tangerang | Peminat Kajian Sufisme, Filsafat dan Keislaman.

Banyak orang mengira bahwa agama menjanjikan kesenangan dan kebahagiaan. Sementara fakta yang kita lihat menunjukan bahwa beberapa kalangan dari umat beragama justru hidup sengsara bahkan mati dengan membawa kenestapaan. Hutang yang menumpuk, fisik lumpuh, sakit berat, pasangan selingkuh, bisnis yang bangkrut, rumah yang tergusur, impian yang pupus, dan lain sebagainya, adalah hal-hal yang kerap menyengsarakan manusia.

Padahal, ironisnya, mereka-mereka yang mengalami hal itu adalah orang-orang yang sudah menjalankan agama dengan benar. Mereka sudah salat, puasa, zakat, haji bahkan sering mengerjakan hal-hal yang dianjurkan oleh agama. Tapi mengapa mereka masih hidup sengsara? Bukankah seharusnya Tuhan memudahkan hidup mereka dengan semua perbuatan baik yang sudah mereka lakukan?

Tidakkah itu bertentangan dengan keadilan Tuhan yang seharusnya memuliakan dan membahagiakan orang-orang beriman? Barangkali itulah beberapa pertanyaan yang muncul di benak kita. Bagaimana kita menjawabnya? Setidaknya ada tiga poin yang bisa kita kemukakan.

Pertama, benar bahwa agama menjanjikan kebahagiaan. Tapi, dalam saat yang sama, agama juga yang menegaskan bahwa kebahagiaan sejati nan abadi itu hanya bisa kita raih di hari kemudian, bukan sekarang. Kalaupun sekarang Anda merasa bahagia, tenang dan tentram, itu semua tak akan sebanding dengan kebahagiaan yang Tuhan janjikan di alam sana. Karena itu, agama mewajibkan kita untuk percaya pada hari akhirat.

Toh kepercayaan akan hari akhirat itu gunanya berpulang kepada kita-kita juga. Karena di sanalah semua perbuatan manusia itu akan dibalas secara tuntas. Tidak heran jika dalam beberapa ayat, keimanan kepada Allah sering disandingkan dengan keimanan terhadap hari akhirat. Karena itulah dua fundamen utama yang membangun keimanan seorang Muslim.

Kalau Anda percaya Tuhan, tapi tidak percaya dengan hari akhirat, bisa jadi Anda memandang Tuhan tidak adil. Sudah salat, puasa, sedekah, rajin mengaji, rajin membantu orang, sudah berusaha memperbaiki diri, tapi masih saja hidup dalam keterbatasan. Makan susah, cari uang susah, cari kerjaan susah, dan lain sebagainya.

Sebaliknya, di luar sana kita menyaksikan orang-orang yang tak beragama, bahkan kerap berbuat jahat, tapi hidupnya mewah dan bisa memenuhi kebutuhan apa saja. Lantas di mana keadilan Tuhan? Agama menjawab, bahwa keadilan Tuhan yang murni dan terang benderang itu akan tersingkap kelak di alam akhirat.

Kalaupun sekarang Anda tidak mendapatkan balasan, Anda akan mendapatkannya di hari kemudian. Jika Anda kesal dengan orang-orang yang melakukan perbuatan jahat, dan mereka dibiarkan, maka Agama menegaskan bahwa semua perbuatan mereka itu akan diadili di hari kemudian.

Karena itu, sebagai orang beriman, kita tidak boleh hanya memandang kebahagiaan dengan sudut pandang kekinian saja. Harusnya kita berpandangan jauh kedepan. Karena kebahagiaan sejati nan abadi memang hanya akan Tuhan berikan di sana, bukan di alam dunia yang penuh dengan tipu daya.

Kedua, benar bahwa agama menjanjikan kebahagiaan. Tapi, masalahnya, seringkali manusia sengsara karena dia keliru dalam memahami kebahagiaan itu sendiri. Mereka mengira bahwa kebahagiaan itu akan terwujud dengan pemenuhan hawa nafsu. Jika semua keinginan terkabul, maka kita akan hidup bahagia.

Karena itu, kebahagiaan tak jarang diukur dengan uang. Karena dengan uang—dalam bayangan mereka—kita bisa mewujudkan semua yang kita inginkan. Apakah cara pandang seperti itu sudah benar? Jawabannya tidak. Kebahagiaan sesungguhnya, kata Agama, justru hanya akan terwujud dengan pengendalian hawa nafsu, bukan dengan pemenuhan hawa nafsu.

Karena itulah yang akan mendekatkan diri Anda kepada Tuhan. Jika kebahagiaan diukur dengan pemenuhan hawa nafsu, pada akhirnya Anda akan mempertuhan hawa nafsu itu sendiri. Dan itulah seburuk-buruknya kesengsaraan. Hawa nafsu seringkali menjadi hijab yang menghalangi kita dari kebahagiaan sejati.

Pemenuhan hawa nafsu yang berlebihan hanya akan melahirkan kesenangan, bukan kebahagiaan. Buktinya tak sedikit orang yang kaya raya, tapi hatinya terasa gersang dan sulit merasakan kebahagiaan. Tapi tak ada cerita orang yang hatinya dekat dengan Tuhan, kemudian hidupnya diliputi oleh kesengsaraan.

Ya, Anda bisa saja melihat dia sengsara dan bergelimang air mata. Tapi Anda tidak akan tahu seperti apa kebahagiaan yang terpatri di dalam hatinya. Kebahagiaan sesungguhnya, dalam pandangan Agama, ada dalam kedekatan dengan Tuhan, bukan dalam dunia yang fana dan penuh dengan tipuan. Kebahagiaan itu ada dalam hati, bukan dalam kelimpahan materi.

Ketiga, sekiranya kebahagiaan itu diukur dengan kelimpahan materi, niscaya orang yang pertama kali menikmati itu adalah para nabi sendiri. Karena mereka adalah orang-orang yang memiliki kedekatan khusus dengan Tuhan. Tapi, faktanya menunjukan bahwa hampir seluruh nabi itu hidup dalam kesusahan. Tak terkecuali Nabi Muhammad Saw.

Sekalipun ada di antara mereka yang menjadi raja, seperti nabi Yusuf, Daud, dan Sulaiman, tapi tetap saja, mereka hidup dengan berbagai macam cobaan dan ujian yang besar. Setidaknya itu menjadi pertanda, bahwa hidup susah bukan pertanda Tuhan marah. Sebagaimana hidup mewah bukan pertanda Tuhan senang.

Agama ingin mengingatkan pada kita bahwa dunia ini adalah ujian, bukan tempat untuk bersenang-senang. Hidup kita di dunia ini persis seperti seorang siswa yang berada di dalam ruangan ujian. Kalau mau lulus, dia harus bisa jawab soal-soal. Sulit memang. Dan hampir tidak ada waktu bagi dia untuk bermain-main.

Setelah ujian selesai, dia menyerahkan lembar jawaban. Lembar jawaban itulah yang nanti akan kita lihat hasil akhirnya di akhirat. Apakah kita lulus atau tidak. Kalau lulus, kita akan mendapatkan balasan. Kalau tidak, maka kita akan menyesal karena sudah menyia-nyiakan kesempatan.

Kesimpulannya, kalau Anda merasa hidup sengsara, kesengsaraan itu tentu bukan hanya karena soal Agama. Karena toh yang tidak beragama pun kadang tidak kalah sengsara. Kesengsaraan itu seringkali bermula dari kekeliruan Anda dalam memaknai kebahagiaan itu sendiri.

Kesengsaraan itu bermula dari kekeliruan Anda dalam memaknai hakikat dunia. Jika Anda memaknai dunia sebagai sumber kebahagiaan, Anda sudah keliru. Karena dunia hanya memberikan kesenangan sesaat. Agama meluruskan kekeliruan itu. Dan menegaskan bahwa tempat bersenang-senang itu adanya di akhirat, bukan di dunia.

Di sanalah balasan atas semua perbuatan akan kita terima. Perbuatan baik—selama dilakukan dengan ikhlas—sudah pasti akan Tuhan terima. Sementara perbuatan buruk, diserahkan sepenuhnya kepada Allah Swt. Bisa jadi Dia memaafkan, bisa jadi juga Dia memberikan hukuman, sesuai dengan kadar keburukan yang dilakukan.

Kesengsaraan hidup seringkali disebabkan oleh ketidakmampuan kita dalam memaknai hakikat hidup itu sendiri. Agama datang menuntun Anda untuk memahami hakikat itu. Kalau Anda mematuhi tuntunannya, dan menghayatinya dengan benar, sudah pasti Anda akan bahagia, betapapun orang lain memandang Anda sengsara dan tidak memiliki kekayaan harta.

Karena kebahagiaan sesungguhnya ada di dalam hati, bukan dalam limpahan harta, juga bukan dalam hal-hal yang bersifat duniawi lainnya. Demikian, wallâhu ‘alam bisshawâb.   

Muhammad Nuruddin
Muhammad Nuruddin
Mahasiswa Dept. Akidah Filsafat, Universitas al-Azhar Kairo, Mesir | Alumnus Pondok Pesantren Babus Salam Tangerang | Peminat Kajian Sufisme, Filsafat dan Keislaman.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.