Sebenarnya sudah terlambat mengangkat tema ini. Sebab polemik tentang “Gerakan Syahwat Merdeka” yang dimunculkan Taufik Ismail sudah sejak tahun 2006 lalu. Tepatnya pada 20 Desember 2006 ketika Taufik Ismail membacakan pidato kebudayaan di Akademia Jakarta. Sudah menjadi kelaziman ketika aksi menimbulkan reaksi yang pro dan kontra. Berangkat dari kewajaran itulah, saya mencoba urun rembug terhadap hal ini.
Sebelum saya lanjutkan, mari kita simak kegetiran sekaligus kegelisahan Taufik Ismail terhadap kemunculan sastra wangi: “Penulis-penulis perempuan, muda usia, berlomba mencabul-cabulkan karya, asyik menggarap wilayah selangkang dan sekitarnya dalam Gerakan Syahwat Merdeka. Dari halaman-halaman buku mereka menyebar hawa lendir yang mirip aroma bangkai anak tikus telantar tiga hari di selokan pasar desa. Aku melihat orang-orang menutup hidung dan jijik karenanya. Jijik. Malu aku memikirkannya.”
Saya pribadi merasakan kegelisahan yang dialami Beliau. Bukan karena kekaguman atau karena saya “ngefans” dengan Beliau. Namun kegelisahan itu datang sendiri ketika membaca karya-karya Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu—penulis yang dianggap banyak kritikus sastra sebagai pelopor kemunculan Sastra wangi.
Saya kutip sedikit kalimat di dalam buku Saman: “… dan aku menamainya klenit karena serupa kontol yang kecil. Namun liang itu tidak diberinya sebuah nama. Melainkan, dengan ujung jarinya ia merogoh. Dan dengan penisnya ia menembus” (Saman, Ayu Utami)
Sengaja tidak saya sensor kata-kata vulgar pada contoh di atas karena memang teks aslinya seperti itu.
Banyak pegiat sastra yang mengatakan bahwa Ayu Utami mencoba mendobrak ketabuan seks dan mengangkat Feminisme dalam karyanya. Sampai-sampai karyanya yang memenangkan Dewan Kesenian Jakarta itu dianggap sebagai karya fenomenal yang ekspresif, berani dan indah. Feminisme sendiri adalah sebuah doktrin yang menyerukan kesetaraan hak-hak sosial dan politik kaum perempuan dengan kaum laki-laki.
Para penulis perempuan mengangkat tema emansipasi wanita sebagai wujud kesetaraan sosial, yang ingin lepas dari mindset (format pikiran) bahwa perempuan diikat secara kultural dengan sistem selera dan budaya patriarki. Tubuh perempuan selama ini dijadikan sebagai objek seks dan sangat jarang menjadi subjek seks. Kaum feminisme posmodern sangat menganjurkan dilakukannya kegiatan menulis tentang seksualitas perempuan dalam karya sastra sehingga muncul istilah “sexts” sebagai bentuk akronim dari kata sex dan text.
Berangkat dari sinilah sastrawangi semakin mendapat tempat. Sastra dengan bahasan selangkangan yang besar kemungkinan membuat pembacanya “ngaceng” menjadi trend dan diikuti oleh penulis-penulis muda dan sayangnya tidak sedikit pegiat sastra yang mengamiinkannya dengan alasan sastra sebagai sarana perubahan.
Jadilah karya-karya sastra yang mengangkat seks menguasai pangsa pasar dan gerai-gerai toko buku. Pengokohan ini tak lepas dari “kesarujukan” beberapa pegiat sastra yang menganggap bahwa sastra selangkangan adalah bentuk ekspresi dan pemberontakan terhadap realita sosial di tengah masyarakat. Benar memang.
Mengingat sesungguhnya seks bukan lagi menjadi sesuatu yang tabu bahkan bagi anak-anak SD. Tak sedikit anak SD yang berhubungan seks. Inilah realita bahwa seks bukan lagi sesuatu yang tabu. Jadi saya pribadi merasakan keanehan jika dikatakan bahwa sastra selangkangan para sastrawangi adalah sebuah pendobrakan bagi ketabuan seks.
Jauh sebelum itu, perkembangan tekhnologi sudah mendobrak ketabuan seks dengan menawarkan kemudahan akses ke video dan gambar-gambar porno. Bahkan saya sampai pada titik kesimpulan (tentu kesimpulan saya pribadi) bahwa sastra selangkangan adalah reenkarnasi dari video dan gambar porno. Atau dengan kata lain ia adalah wujud teks/ tulisan dari video dan gambar porno.
Dan ketika berbicara pangsa pasar, kapitalisme selanjutnya yang berbicara. Karya sastra seolah dituntut mengikuti trend seperti trend budaya berpakaian. Untuk bisa laku di pasaran, yang dibutuhkan adalah membuat produk sesuai trend di pasaran. Segmen pembaca di Indonesia yang luas dan tanpa batas usia menjadi sangat berpengaruh.
Kemesuman dan kemudah-ngacengan punggawa muda di negeri ini adalah sasaran empuk bagi sastra yang menjual seks sebagai daya pemikat. Cukup membalut seks dengan bahasa sastra, maka jadilah karya itu diminati. Bukan tanpa alasan saya berani mengatakan demikian. Sebab sudah menjadi realita umum bahwa bacaan berbau seks akan lebih mudah memikat pembaca dibandingkan yang lain.
Sebagai penutup, saya tegaskan bahwa tulisan ini hanyalah sebuah urun rembug saja. Bagi saya, Sastra Wangi hanyalah bagian dari perang bisnis dalam dunia sastra, di mana karya sastra yang beraroma wangi seperti itu lebih mudah mendapatkan tempat di hati pembaca negeri ini. Meskipun demikian, tentu akan ada yang menganggap bahwa Sastra Wangi adalah keindagan sebuah seni sebagaimana soerang pelukis atau pematung yang membuat karya berupa lukisan atau patung telanjang.
Berbagai perbedaan dalam menanggapi terkait kemunculan Sastra Wangi adalah sebuah keniscahyaan. Bagi saya pribadi, saya akan dengan penuh keyakinan untuk berdiri di barisan Taufik Ismail yang menentang keras kemunculan Sastra Wangi. Bagaimana dengan Anda?