Politik dan sastra, terdengar seperti dua hal yang sama sekali tidak berhubungan. Antara politik dengan sastra memanglah subjek yang mengkaji permasalahannya masing-masing.
Namun, terdapat permasalahan yang berkesinambungan terhadap dua subjek tersebut. Ketika mempelajari sejarah sastra Indonesia, kita akan mengetahui periodisasi kesusastraan yang terjadi.
Di antara periode-periode kesusastraan tersebut, muncul politik sastra yang terjadi pada periode angkatan 66. Dimulai dari buku berjudul ”Angkatan 66: Prosa dan Puisi” karangan H. B. Jassin yang menyampaikan kritisi penolakan terhadap konsepsi angkatan 50.
Pada masa ini terjadi berbagai macam penyelewengan jabatan yang dilakukan oleh pimpinan-pimpinan negara, mereka menggunakan kekuasaannya demi kepentingan pribadi maupun golongan tertentu. Penyelewengan tersebut tentunya melanggar dasar negara yaitu Pancasila.
Berbagai macam penyelewengan tersebut merugikan negara dan masyarakat sehingga perlawanan-perlawanan mulai bermunculan. Di awali dengan gerakan mahasiswa, semua kalangan ikut melakukan pemberontakan. Perlawanan inilah yang menjadi latar belakang lahirnya angkatan 66.
Karya sastra merupakan hasil konstruksi dari pemikiran sastrawan yang dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan masyarakat maupun latar belakang sastrawan itu sendiri. Suasana politik yang penuh gejolak di tahun 1950-1965 memunculkan sastra politik, yaitu karya-karya yang berisi pandangan-pandangan mengenai politik. Melalui karya sastra tersebut, para sastrawan menginterpretasikan gagasan politik atau nilai-nilai ideal mengenai kehidupan sosial sebagai opini masyarakat terhadap kondisi politik pada masa itu.
Lekra dan Manikebu
Gerakan perlawanan terhadap politik mempengaruhi paham sastra pada masa itu yang menyebabkan terjadinya konflik antara kelompok aliran sastra. Para sastrawan yang tidak menjadi bagian dari ke dua paham sastra tersebut adalah mereka yang memilih tetap pada posisi netral. Di antara kelompok-kelompok tersebut, perdebatan antara aliran sastra Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Manifes Kebudayaan (Manikebu) adalah yang paling runcing. Hal tersebut dipengaruhi oleh polarisasi sosial-politik antara golongan komunis dan non-komunis yang terjadi di Indonesia.
Lekra identik dengan PKI karena berorientasi pada paham realisme atau politik kiri, di samping fakta bahwa pendirinya adalah pimpinan partai politik PKI. Lekra melakukan penyerangan terhadap mereka yang menentang atau tidak bersedia mendukung PKI. Hamka merupakan salah satu sastrawan yang terkena penyerangan lewat karyanya yaitu “Tenggelamnya Kapal van der Wick” dengan tuduhan plagiasi.
Lekra menyebut-nyebut jika salah satu karya Hamka tersebut memplagiati karya sastrawan bernama Lutfi al-Manfaluthi. Selain Hamka, Lekra juga menyerang para sastrawan yang sedang berada di Malaysia. Mereka disebut sebagai golongan yang kontra terhadap revolusi dikarenakan Indonesia sedang mengumumkan konfrontasi dengan Malaysia pada masa itu. Para sastrawan yang diserang oleh Lekra yaitu Sutan Takdir Alisjahbana, Idrus, dan Balfas.
Konflik yang terjadi antara Lekra dengan para sastrawan semakin memuncak ketika Manifes Kebudayaan muncul dan mendapat dukungan dari para sastrawan yang menandatangani Manifes Kebudayaan tersebut.
Bunyi Manifes Kebudayaan
- Kami para seniman dan cendikiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan, yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik Kebudayaan Nasional kami.
- Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
- Dalam melaksanakan kebudayaan Nasional kami berusaha mencipta dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya 59 sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa.
- Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.
Sebagai bentuk pemberontakan, Lekra menyerang segala yang berhubungan dengan Manifes Kebudayaan menggunakan kekuasaan dalam pemerintahan serta media yang telah mereka kuasai. Hal ini menjadi penyebab munculnya pelarangan Manifes Kebudayaan yang diumumkan oleh Soekarno.
Para sastrawan yang terlanjur menandatangani Manifes Kebudayaan mengalami kerugian terhadap karya-karyanya yang batal diumumkan serta pembatalan undangan dari berbagai kegiatan. Sementara itu, pegawai atau orang yang bekerja pada pemerintahan dipecat dari pekerjaannya akibat dari ikut menandatangani Manifes Kebudayaan.