Kamis, Oktober 10, 2024

Sastra dan Jalan Lain Filsafat

Muhammad Teguh Saputro
Muhammad Teguh Saputro
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan pegiat diskusi di Komunitas Lorong Ciputat.

Persinggungan eksistensial manusia dengan beragam realitas peradaban tidak mengherankan melahirkan berbagai pertanyaan fundamental – filosofis. Mempertanyakan, membandingkan, dan memperdebatkan beragam produk peradaban, salah satunya adalah ide atau ilmu, menjadi aktivitas yang lumrah muncul mewarnai sejarah panjang peradaban. Mana yang lebih penting? semisal, atau mana yang lebih baik?, atau yang lebih pragmatis – khas manusia modern – mana yang lebih dibutuhkan? 

Pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya fundamental tersebut ada dalam setiap pertentangan ide-ide di setiap sela sejarah peradaban, termasuk yang menjadi objek palagan adalah sastra dan filsafat sebagai produk peradaban.

Berbagai keyakinan muncul mewarnai pertentangan ide tersebut. Sebagian beranggapan filsafat – yang dikenal sebagai Ibu dari segenap pengetahuan – adalah sebab yang melahirkan beragam aliran sastra dengan segudang deretan karya yang hari ini mewarnai sejarah peradaban. Sebagian yang lain menyangkal bahwa sastra mempunyai ranah dan dunianya sendiri di semesta peradaban yang sungguh berbeda dengan filsafat, karena sastra adalah entitas yang sarat emosional.

Masihkah Layak Dipertentangkan?

Pertanyaan mengenai status kelayakan untuk dipertentangkan terkesan klise – basi, namun memang faktanya tidak pernah habis untuk berhenti muncul di setiap lingkar diskusi sampai hari ini. Lebih jauh, topik pertentangan ini melahirkan beragam sikap di altar peradaban hari ini. Semisal, pembaca buku-buku filsafat merasa lebih elit – kalau tidak mau disebut suci – dari pada para pembaca buku-buku sastra. Sebaliknya, pembaca buku-buku sastra merasa tak kalah diri karena di balik lembar-lembar karya sastra juga menyimpan beragam ide-ide filosofis.

Aturan main yang berlaku dalam sebuah pertentangkan di mana pun dan di medio waktu kapan pun adalah keduanya – objek yang dipertentangkan – merupakan dua entitas yang berbeda. Lantas bagaiman dengan filsafat dan sastra?

Keduanya – sastra dan filsafat – terkesan sebagai dua entitas yang berbeda. Filsafat bereksistensi sejauh ini dengan wajah yang terlihat kaku dan berat karena berlandas rasio dan logika. Sebaliknya sastra bereksistensi dengan wajah yang lebih lentur untuk dinikmati. Meski diakui ataupun tidak, keduanya lahir dari alam liar pikiran – sama.

Sebagai sebuah entitas yang berbeda juga diafirmasi dengan ciri-ciri yang bisa diamati hari ini lewat berbagai karya atau produk yang dihasilkan. Filsafat tak perlu mengenal tokoh dan penokohan dalam menjelaskan ide gagasannya, sastra mengharuskan mengenalnya. Filsafat tak perlu repot mendeteksi latar dan plot dalam membaca ide gagasan, sebaliknya sastra mengharuskannya sebagai modal utama.

Di praktik peradaban juga membedakan keduanya dengan damakrasi yang nyata. Sebuah toko buku tidak akan menempatkan buku-buku filsafat dan buku-buku sastra di rak yang sama, bukan?

Selain itu banyaknya filsuf yang kebetulan sastrawan semakin membuat kedua entitas ini dipertentangkan – diperbandingkan. Mana yang lebih baik antara filsafat dan sastra? Manakah yang lebih dibutuhkan antara keduanya? Atau jangan-jangan sastra adalah jalan lain dari sebuah arus besar bernama filsafat?

Sastra adalah Sebuah Jalan Lain

Keduanya meski terkesan sebagai dua entitas yang berbeda, nyatanya keduanya mempunyai beragam persimpangan untuk bertaut sebagai sebuah wajah yang sama. Keduanya mempunyai tema-tema permasalahan yang sama untuk dibicarakan. Semisal masalah nasib, kepercayaan, alam, manusia, ataupun aktivitas dan peristiwa sosial. Meski tidak boleh dipungkiri, keduanya memilih jalan yang berbeda dalam mengejewantahkan ide gagasan.

Pendapat tersebut ditegaskan oleh Rene Wellek dan Austin Waren dalam salah satu karya masterpiece-nya – Teori Kesusastraan – bahwa sastra sering dilihat sebagai suatu bentuk filsafat, atau sebagai pemikiran yang terbentuk/terbungkus dalam bentuk yang khusus — karya sastra dapat dianggap sebagai dokumen sejarah pemikiran dan filsafat, karena sejarah sastra sejajar dan mencerminkan sejarah pemikiran.

Bukan tanpa alasan, sebagai produk peradaban, sastra merupakan produk yang kompleks. Sebagai suatu karya yang mengandung beragam ide gagasan yang dituangkan oleh pengarang lewat berbagai tema, latar, tokoh, perwatakan, alur, dan unsur-unsur lainnya sehingga membentuk padanan gagasan yang terangkum dalam sebuah lingkaran ke lingkaran pemikiran yang lebih besar, yakni filsafat.

Filsafat menjadi semacam pondasi yang membentuk kerangka cerita dalam sebuah karya sastra. Filsafat membutuhkan sastra sebagai ruang gagasannya dinarasikan untuk disampaikan ke pembaca, pun sastra juga membutuhkan filsafat sebagai pandangan filosofis yang berfungsi sebagai unsur fundamental yang membentuk unsur-unsur lainnya sehingga menjadi suatu tatanan cerita yang matang untuk dinikmati.

Keterkaitan keduanya yang sangat erat menjadi tautan entitas yang mustahil untuk dipertentangkan – diperbandingkan. Meminjam apa yang dikatakan Budi Darma – salah satu kritikus sastra Indonesia – filsafat dapat diucapkan lewat sastra, sementara sastra itu sendiri bertindak sebagai filsafat.

Akhirul kalam, alih-alih meneruskan perdebatan mengenai kedua entitas tersebut, sastra merupakan jalan lain – wajah lain, bentuk lain – dari sebuah filsafat yang akan membentuk dan membangun peradaban yang lebih baik.

Muhammad Teguh Saputro
Muhammad Teguh Saputro
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan pegiat diskusi di Komunitas Lorong Ciputat.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.