Dalam literatur antropologi, neoliberalisme menunjukkan beragam konteks politik dan fenomena sosial ekonomi (Ganti 2014) serta dalam kajian antropologi, neoliberalisme dilihat sebagai suatu kekuatan struktural yang mempunyai efek material sebagai sebuah ideologi serta teknologi of self making; serta aktor dan institusi dari ideologi dan praktik neoliberalisme. Berbicara mengenai neoliberalisme dalam tulisan Graeber tidak terlepas dari memproduksi manusia sebagai seorang pekerja.
Dalam penggambaran Graeber pada tulisannya yang berjudul Turning Modes of Production Inside Out, Ia menggambarkan mengenai produksi manusia sebagai kelas pekerja dalam proses transformasi yang dalam siklusnya ia menuliskan bahwa keluarga diciptakan lalu berkembang dan melahirkan seorang anak, anak itu lalu dewasa, bereproduksi, menjadi tua dan mati. Mereka terus-menerus disosialisasikan, dilatih, dididik, dibimbing menuju peran baru- sebuah proses yang tidak terbatas pada masa kanak-kanak tetapi berlangsung sampai mati (Graeber 2006).
Orang-orang yang hidup berada dalam lingkaran di mana dia dikonstruksi untuk menjadi kelas pekerja yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Mengutip Karl Marx memproduksi tenaga kerja layaknya bentuk perbudakan yang baru, Marx menyebutnya sebagai ‘tenaga kerja abstrak’ dimana apa yang dibeli ketika seseorang membeli seorang budak adalah semata-mata untuk bekerja dimana juga harus bekerja dengan apa yang majikan suruh.
Tentu saja hubungan komando inilah yang menyebabkan orang-orang melihat kerja upahan sama dengan perbudakan, dan karenanya berusaha sebisa mungkin untuk menghindarinya.
Dalam menghasilkan kelas pekerja bahkan juga dibantu melalui pendekatan keagamaan seperti dalam contoh kasus ESQ. Jelas, sifat yang dibutuhkan oleh para kelas pekerja adalah orang-orang yang bekerja keras, giat, jujur, responsif, bertanggungjawab, dan lainnya yang kemudian merupakan sifat-sifat yang dibutuhkan dalam pekerjaan.
Dalam ESQ kita dididik bahwa Tuhan menyukai orang-orang yang bekerja keras. Urusan dunia juga diatur dalam Al-Quran dan lain sebagainya, sehingga agama juga mendukung neoliberalisme dalam menciptakan tenaga kerja yang ‘baik’.
Neoliberalisme pada dasarnya mencari para pekerja sesuai dengan kebutuhan pasar. Pada prinsipnya pasar dapat berkembang jika seluruh aturan dibuat oleh pasar tanpa campur tangan negara khususnya pada aturan. Dalam konsep neoliberalisme menilai bahwa suatu usaha tidak dapat berkembang jika terdapat aturan yang mengekang seperti upah minimum.
Hal ini akan sulit bagi pengusaha untuk mengembangkan bisnisnya sehingga seharusnya upah minimum diatur oleh para pengusaha. Namun pada kenyataannya terdapat celah-celah untuk mencari para pekerja melalui tenaga kerja tidak tetap yang tidak terikat dengan aturan negara, atau disebut juga sebagai prekariat.
Prekariat pada dasarnya merupakan para pekerja kontrak atau juga sebagai outsourcing, pekerja magang, pekerja paruh waktu serta pekerja lepas (freelance). Guy Standing dalam tulisannya mengenai prekariat menjelaskan bahwa para pekerja prekariat merupakan pekerja yang tidak mempunyai identitas berbasis pekerjaan, mereka juga tidak memiliki tunjangan yang diatur oleh negara mengenai hak, seperti tunjangan pengangguran, serta tunjangan lainnya yang diatur, hal ini berbeda dengan buruh yang jelas mempunyai pengaman dalam kehidupannya (Standing 2014).
Guy Standing sendiri membuat prekariat sebagai sebuah kelas baru yang menurutnya merupakan kelas yang berbahaya.
Kelas Prekariat menjadi alternatif para pengusaha dalam mencari tenaga kerja yang murah karena mereka tidak terikat dalam peraturan-peraturan yang membebani pengusaha. Dalam hal lainnya, prekariat tidak seperti buruh yang tidak mempunyai organisasi atau serikat dimana mereka dapat mengumpulkan massa untuk dapat ikut serta dalam membuat kebijakan suatu undang-undang negara ataupun peraturan di perusahaan masing-masing.
Nadiem Makarim dalam kebijakannya sebagai menteri kebudayaan dan pendidikan ketika rapat bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dilansir dari berita daring tempo.co, ada lima fokus utama yang akan dibawa yaitu pendidikan karakter; deregulasi dan debirokratisasi; meningkatkan investasi dan inovasi; penciptaan lapangan kerja; pemberdayaan teknologi.
Dalam perbincangannya kepada DPR, Ia berkata “Kita harus menciptakan lingkungan pola pembelajaran di mana soft skill tadi yang paling banyak dibutuhkan dan harus dilatih bukan konten yang penting, tapi bagaimana caranya,” dalam pendidikan karakter misalnya, Nadiem menambahkan bahwa karakter menjadi hal yang penting untuk meningkatkan profesionalisme para pekerja, Ia mengatakan “Sehingga ini bisa memojokkan pemikiran. Setiap pemuda, kita, harus berpikir independen,” kata Nadiem.
“Semua perusahaan, baik kecil atau besar, komplain mengenai tidak adanya profesionalisme pemuda kita. Itu sebenarnya adalah karakter. Apakah saya bangga dengan kemampuan saya, menghormati sesama pekerja atau atasan saya.” (Alfarizi 2019).
Yang terbaru, Nadiem Makarim dalam berbagai berita bahwa ia merencanakan bahwa terdapat program magang selama tiga semester dalam masa perkuliahan.
Dengan begitu dapat dilihat bahwa neoliberalisme dapat dilihat sebagai governmentality yang berarti adalah suatu proses membangun pengetahuan dan teknik untuk mengatur etos dan etika diri (self making).
Nadiem Makarim mencoba untuk membuat Sumber Daya Manusia di Indonesia melalui pendidikan Indonesia menjadi sesuai dengan kebutuhan pasar. Dimana kelima poin yang dijabarkan oleh dia menjadi relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Jika ditelisik lebih jauh lagi, kondisi di Indonesia yang dialami milenial saat ini juga sudah terlihat banyak yang menjadi prekariat atau bisa dibilang sebagai prekariat terdidik.
Banyak orang yang menjadi prekariat dimana Ia merupakan seorang sarjana yang belum memiliki pekerjaan tetap. Hal ini membuat para pengusaha bergembira dimana mereka mendapatkan pekerja terlatih namun tidak perlu membayar lebih, perusahaan tidak perlu mencari pekerja namun pekerja yang mencari perusahaan, praktek seperti inilah yang mulai terjadi di Indonesia.