Lautan informasi di jagat maya menjadi media strategis sindikat Saracen dalam mencampur-adukan “yang fakta” dan “yang hoaks”. Kenyataan itu merupakan konsekuensi logis atas literasi media daring yang mengemuka sedekade terakhir. Pelbagai kepentingan berada di belakangnya yang sesungguhnya berhulu pada perseturuan politik, baik individu maupun kelompok.
Gelombang Saracen sebetulnya telah lama menggurita di ranah politik kepentingan. Kendatipun sebelum mengemuka baru-baru ini di jejaring sosial ia mulanya bermediakan surat kabar ilegal. Kehadirannya acap dianggap sebagai kekuatan praktis dalam menenggelamkan citra seseorang dengan dan melalui warta serampangan. Alih-alih tanpa data ilmiah, berita hoaks yang diproduksi itu sekadar dikonstruksi berdasarkan opini bias kebenaran objektif.
Kebohongan informasi yang dilakukan Saracen ternyata bukan pertama kali dalam sejarah. Pada abad ke-17, ketika Eropa sedang euforia revolusi cetak, banjir pengetahuan tertulis yang diperbanyak dalam bentuk pamflet tak terbendung. Masa itu dianggap puncak kejayaan Barat karena telah bangkit dari tidur panjang di masa abad kegelapan. Namun, di balik pesta pora itu muncul babak baru literasi media.
Propaganda lisan mulai ditinggalkan. Sebagai gantinya, kampanye cenderung menggunakan tulisan. Bila retorika dapat diverifikasikan langsung oleh massa pada ruang dan waktu yang sama, maka sebaliknya bagi teks tertulis. Tulisan, dengan demikian, meniscayakan fenomena baru bernama pasca-kebenaran (post-truth)—tak penting lagi substansi kebenaran faktual yang bertanggung jawab karena yang penting adalah kepentingan sektoral.
Sindikat Saracen yang diresahkan publik dewasa ini pada hakikatnya merupakan wajah asli dari politik pasca-kebenaran. Problem tersebut semakin mengkhawatirkan masyarakat umum karena rekayasa informasi memungkinkan kaburnya hitam dan putih. Yang putih belum tentu benar, sedangkan hitam juga belum tentu salah. Dengan kata lain, tak ada kriteria yang jelas antara kebenaran dan kebohongan informasi.
Rendahnya Literasi Masyarakat
Infiltrasi informasi hoaks yang digencarkan Saracen berjalan masif seiring dengan meningkatnya minat baca berita daring masyarakat Indonesia. Ironinya, korban berita hoaks itu terdiri atas golongan masyarakat menengah ke atas. Mereka ikut terbawa arus kebencian hanya karena membaca berita yang mengulas tokoh atau kelompok yang dibencinya. Tanpa meneliti lebih lanjut, apalagi mengkomparasikan dengan informasi lain, mereka langsung menekan tombol suka dan bagi. Tanpa sadar mereka juga ikut memobilisasi toksin hoaks ke orang lain.
Duduk persoalan di atas sebenarnya sederhana. Pertama, dalam perspektif literasi kritis, orang yang bisa membaca teks bukan berarti mampu memahami informasi. Kondisi demikian membutuhkan kejelian dan kejernihan pikiran. Tanpa keduanya mereka hanya menjadi obyek pasif dari informasi, bukan subyek aktif yang selalu waspada dan menjaga jarak darinya.
Kedua, sikap tergesa-gesa menyimpulkan topik pembahasan berita tanpa melakukan penyelidikan komparatif. Perangai ini dimiliki oleh mereka yang tak memedulikan isi informasi karena terseret arogansi pribadi. Oleh sebab itu, bila terdapat berita yang bertentangan dengan pandangan politiknya akan segera ditolak, bahkan disalahkan hanya karena berseberangan pandangan.
Dua pokok tersebut hanya simplikasi atas fenomena bermedia sosial hari ini. Masih banyak variabel lain yang memungkinkan setiap individu melakukan destruksi tertulis di jejaring sosial, meskipun sumber penyulut utama tetaplah informasi hoaks. Gejala tersebut terkesan sepele, namun dampaknya begitu signifikan: dari kekerasan verbal hingga berujung pada konflik fisik.
Pendidikan Literasi
Tuntutan global meniscayakan redefinisi literasi sebagai kecakapan yang tak sekadar kemampuan membaca informasi, tetapi juga memahami esensi informasi. Dua poin tersebut menandakan kompleksitas teks dewasa ini yang seyogianya dihadapi dengan pendekatan alternatif-kritis. Karenanya, membaca teks dalam konteks ini bukan lagi diartikan sebagai menyerap pengetahuan, melainkan juga mengkritisi bacaan secara komprehensif.
Dua opsi berikut dapat diterapkan agar khalayak terhindar dari beringasnya berita hoaks. Pertama, perluas referensi baca sebanyak mungkin dengan mengambil pelbagai perspektif, baik pro maupun kontra. Ini akan membawa sikap awas terhadap informasi apa pun karena sejatinya suatu teks, betapapun, bersifat nisbi: tergantung sudut, jarak, dan resolusi pandang beserta latar belakang sosial penulis. Relativitas informasi, dengan demikian, cenderung memperkaya pustaka dari setiap segi.
Poin tersebut menegaskan posisi bukan informasi mana yang benar, melainkan bagaimana informasi itu dipandang dan didedah melalui beragam pendapat. Kedua, verifikasikan setiap informasi yang menimbulkan simpang-siur kepada ahli di bidang yang berkaitan. Tindakan demikian mencegah kedangkalan penarikan simpulan berita sehingga informasi yang didapatkan lebih jelas.
Selain itu, aplikasi hoaxanalyzer.com yang dikembangkan anak-anak muda ITB (Tim Cimol) bisa menjadi alternatif. Aplikasi berbasis daring itu memungkinkan pengecekan apakah kata kunci yang dimasukan mengandung hoaks atau tidak dengan menunjukan presentase keabsahan data. Terobosan baru generasi muda di abad milenial tersebut turut memperkaya wacana pemberantasan hoaks melalui pendekatan literasi kritis.