Sabtu, April 27, 2024

Sapardi Berlayar ke Surga, Doa-Doa Kami Kirim dari Dunia

HMChaniago
HMChaniago
Former Journalist yang saat ini bekerja sebagai Content Writer di salah satu perusahaan penyedia jasa teknologi di kota Batam.

“Ada berita apa hari ini Den Sastro?”

Penyair itu pasti membuat kau dan beberapa orang terkejut ketika terbangun pagi ini. Saat kabar kepergiaan itu tiba-tiba muncul di sela bebatuan tua. Tentang hari-harinya yang telah tiba, tentang kehidupan yang mulai mengambil banyak hal-hal nyata. Di luar kematiannya, tentu saja semua karya yang Ia tinggalkan akan abadi di sepanjang waktu yang kini beranjak fana.

Sajak-sajak Sapardi Djoko Damono menurut banyak pengamat, begitu dekat dengan Tuhan dan kematian. Jakob Sumardjo (pengkaji filsafat) dalam harian Pikiran Rakyat, pada 19 Juli 1984 mengatakan bahwa dalam sajak Sapardi, maut dan kematian dipandang sebagai bagian dari kehidupan yang nyata. Dan kini, bersama kehidupan itu jualah kematian datang menghampirinya di Minggu (19/7/2020) pagi bulan Juli.

Kendati begitu, meski dikenal melalui sajak-sajaknya yang liris dan romantis seperti “Aku ingin” atau “Pada suatu hari”, namun Sapardi membuktikan bahwa puisinya tak melulu tentang cinta, seperti dongeng tentang Marsinah yang kini sedang menunggunya di surga.

Di luar itu semua, Sapardi juga punya jasa akan perkembangan bakat penyair genarasi muda di zamannya. Melalui Penerbitan Puisi Indonesia yang ia kelola bersama Hamsad Rangkuti.

Saksono Prijanto, pada tulisannya berjudul Kepeloporan Sapardi Djoko Damono dan Hamsad Rangkuti dalam Pembinaan Penyair Muda Indonesia menuliskan bahwa Sapardi (penyair) dan Hamsad (cerpenis) melalui Penerbitan Puisi Indonesia (1974) berpendapat bahwa tidak ada yang boleh melarang lahirnya sebuah proses kreatif seorang anak manusia.

Latar belakang munculnya Penerbit Puisi Indonesia ini berlandaskan kesadaran mereka yang merasa bahwa perbandingan antara halaman sastra yang terdapat pada majalah Horison, atau surat kabar yang menyediakan laman khusus sastra seperti Kompas, Sinar Harapan, Pelita, Suara Karya, dan Berita Buana tidak sepadan dengan banyaknya jumlah karya milik sastrawan tanah air, terutama penyair genarasi muda.

Minimnya peluang bagi generasi muda untuk bisa menerbitkan karya mereka pada media di atas, membuat Sapardi dan Hamsad mulai betah menyeleksi (meneliti dan membaca) satu per satu setiap karya sastrawan muda se-Indonesia untuk diterbitkan dalam bentuk kertas stensil. Tidak hanya itu, selanjutnya para penyair muda itu juga dibawa untuk mulai menerbitkan antologi sajak-sajak mereka.

Di sinilah Sapardi dan Hamsad membuka medium baru terhadap proses kreatif para penyair muda secara swa-mandiri, di mana Sapardi menjadi konseptor penerbitan kumpulan buku puisi awal berjudul Mata Pisau (1974). Di antara nama sastrawan yang tercatat pernah menerbitkan buku melalui Penerbitan Puisi Indonesia, selain Sapardi sendiri adalah: Goenawan Mohamad, Eka Budianta, Rusli Marzuki, Leon Agusta, Ridwan Siregar, dll.

Goenawan Mohamad, sebagaimana yang dituliskan Saksono Prijanto dalam jurnal Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mengatakan bahwa sajak-sajak yang diterbitkan itu adalah sajak-sajak yang bila dibaca layak untuk dicemburui, dan bila dibacakan akan menimbulkan seru. Kata-kata tidak lagi merekat menempel, tetapi bergerak hidup bulat: menjadi tanda dan sekaligus mikrokosmos sendiri.

Dengan adanya terobosan baru melalui Penerbitan Puisi Indonesia yang dipelopori oleh Sapardi dan Hamsad, secara tidak langsung telah membuka ruang kreativitas bagi penyair baru, baik dari sisi usia maupun dari sisi tradisi tulis menulisnya. Penerbitan ini juga telah menciptakan warna-warni pada khazanah kepenyairan negeri ini.

Kini sang penyair itu telah pergi, dan doa-doa kami kirim dari sini

Banyak kalimat bertebaran mengabarkan kepergiannya dan duka cita kehilangan yang dirasa. Namun, di balik kematiannya, seorang penyair itu juga akan abadi di dalam sajak-sajak yang akan terus kita baca. Meski kehidupan telah mengambil nafasnya di umur 80 tahun. Namun apa yang ia tinggalkan adalah buah karya yang akan terus dikenang sepanjang abad.

Saat menulis ini, saya teringat cerita pada 29 Juli 2019 silam, dalam sebuah unggahan video Youtube berjudul Lagunya Begini Nadanya Begitu karya Anggun Priambodo. Sosok Jason Ranti bertolak ke kediaman Sapardi Djoko Damono dengan kemeja chambray lusuh dan sandal jepit. Kesan sederhana yang kemudian juga disambut dengan kesederhanaan sang penyair, membuat orang yang menontonnya akan merasakan sesuatu yang berbeda-atau kesedihan yang mungkin sama.

Kini, selang setahun (-9 hari) setelah pertemuan syahdu itu terjadi. Jason Ranti dalam unggahan di Instagramnya menuliskan, “Si bapak, berlayar ke surga di waktu pagi hari. Saya terima kasih buat banyak hal, buat karya-karyanya. Selamat jalan Pak Sapardi”, tulis Jason Ranti dan bersamanya doa-doa itu kami kirim dari sini (dunia).

HMChaniago
HMChaniago
Former Journalist yang saat ini bekerja sebagai Content Writer di salah satu perusahaan penyedia jasa teknologi di kota Batam.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.