Jumat, Maret 29, 2024

Sandiaga Uno dan Kunjungan Baduy ke Nabawi

Irfan Sarhindi
Irfan Sarhindi
Pengasuh Salamul Falah. Lulusan University College London. Associate Researcher Akar Rumput Strategic Consulting. Riset S-2-nya tentang Islam Nusantara dan kampanye deradikalisasi. Saat ini menjadi Dosen di Universitas Putra Indonesia. Telah menulis 8 buku, dua di antaranya adalah novel sejarah: 'The Lost Story of Kabah' dan 'Mencintai Muhammad'. Pada tahun 2017 menjadi finalis British Council Future Leaders Connect dan menjadi satu dari 13 Inspirator 'Panggung Indonesia 2045' yang diselenggarakan TEMPO Institute. Blognya: http://irfanlsarhindi.id

Pertengahan November lalu, ketika Prabowo dan Sandiaga Uno berziarah ke makam KH. Bisri Syansuri di kompleks Pondok Pesantren Denanyar, Jombang, Jawa Timur, terekam video Sandiaga Uno melangkahi makam salah satu pendiri sekaligus kiai besar NU tersebut. Sontak aksi Cawapres nomor urut 02 tersebut dikecam banyak pihak, tidak hanya dari pihak lawan tetapi bahkan dari kalangan Muslim tradisionalis secara umum. Apalagi yang berafiliasi dengan (atau yang merasa bagian integral dari) Nahdlatul Ulama.

Bagaimana tidak, aksi Sandi tidak hanya dianggap tidak etis, tetapi juga menyinggung marwah dan martabat tidak hanya Kiai Bisri Syansuri pribadi, tetapi juga keseluruhan konstruksi sosial di lingkungan kiai-santri dan semesta pesantren. Sebagaimana kita tahu, konstruksi sosial pesantren dibangun di atas etika ketat relasi kiai-santri. Secara sederhana: kiai menjadi pusat gravitasi di mana para santri secara takzim (nyaris tanpa tedeng aling-aling dan kesadaran mempertanyakan) patuh secara total. Tanpa kepatuhan, tidak akan ada keberkahan.

Gagasan etis tersebut dipegang bahkan ketika sang kiai sudah meninggal. Bahkan berziarahpun kemudian ada adab dan tatakramanya yang khas, yang memberikan penekanan sistematis pada keharusan menjaga sopan santun di hadapan almarhum, almukarrom, almagfurlah. Relasi ini mungkin terdengar domestifikatif, merentangkan jarak antara santri dan potensi pemerdekaan diri (dan peluang ke arah situ memang ada), tetapi relasi ini sesungguhnya dibangun di atas cinta (hubb). Dijustifikasi oleh hadits Nabi yang menegaskan bahwa faman ahabbani kana ma’i fil jannah—barangsiapa yang mencintaiku akan bersamaku di surga.

Cara mencintai Nabi, bagi para santri, adalah dengan mencintai ahli waris Nabi: para dzurriyah syarif atau habib dan para kiai. Itu kenapa muncul aturan ketat menghormati habib dan kiai serta keluarga mereka. Dirawat dari tahun ke tahun, zaman ke zaman, melalui penarasian sanad keilmuan yang bersambung satu dengan yang lain. Yang kemudian membangun dan mengokohkan ikatan darah, akademis, psikologis, politis, serta sosio-kultural di tengah masyarakat pesantren; kemudian menjadi pondasi utama masyarakat Islam tradisionalis.

‘Celakanya’ bagi Sandiaga Uno, santri post-Islamisme yang mikraj ke predikat kiai post-Islamisme dalam satu bulan kalender, beliau mesti mengorbit masuk ke sistem tata surya pesantren. Sudah dilakukan dalam banyak kesempatan melalui kunjungan-kunjungan, lobi-lobi politik.

Walau penyokong beliau di belakang lebih banyak berasal dari kalangan Islam kosmopolit yang dalam banyak hal tidak familiar atau bahkan anti terhadap etika ketat kaum sarungan. Tetapi apa mau dikata, kebutuhan kampanye bagaimanapun mendorong kunjungan tersebut, memanfaatkan celah aspirasi politik kalangan pesantren yang otonom dan desentralistik.

Hingga kemudian terjadilah momen ziarah di mana Sandiaga Uno, yang mungkin tidak tahu prihal adab dan tata krama ketat kaum sarungan, secara reflek berbekal kenaifan beliau, melangkahi makam kiai besar yang dihormati.

Kejadian yang sontak memicu amarah walau Sandiaga Uno secara gentle kemudian meminta maaf. Konon sebagian protes dilayangkan bukan karena urusan pilpres, tetapi karena kecemasan sikap Sandi akan diteladani oleh kalangan milenial non-pesantren. Walau tentu klaim tersebut problematis semenjak untuk urusan pilpres-lah segala perdebatan dan kehebohan ini.

Thus, di atas semua itu, aksi Sandiaga ini sebetulnya bukan hal yang baru dan asing. Bukan pula eksklusif hanya terjadi di diskursus Islam di Indonesia. Kejadian serupa juga terjadi di Madinah pada zaman Nabi. Alkisah, ada seorang Baduy yang berkunjung ke Madinah kemudian kencing di salah satu pojokan Masjid Nabawi. Sontak para sahabat muntab hingga mengeluarkan caci-maki. Bagaimana bisa orang tidak tahu diri ini mengencingi tempat ibadah, salah satu masjid paling suci dan disucikan oleh umat sekaligus kekuatan politk (paling) kuat di Jazirah Arab?

Tetapi Nabi, sang panglima besar, menyuruh para sahabat menahan diri. Membiarkan si Baduy menyelesaikan kencing, baru kemudian memberikan nasihat. Kepada para sahabat, Nabi meminta mereka untuk membersihkan bekas kencing tersebut seolah tidak pernah ada ‘penistaan’ apapun. Lalu, apa relasinya? Sandiaga Uno bagi kalangan Muslim tradisionalis, sebagaimana si Baduy bagi Muslim Madinah, sama-sama melakukan tindakan yang ‘melampaui batas’, melanggar etika dan tata krama yang dipegang teguh dan diyakini.

Tetapi jika kita melihat kejadian tersebut sebagaimana Nabi, kita akan melihat bagaimana Sandiaga Uno dan si Baduy sama-sama ‘innocent’. Apa sebab? Karena keduanya tidak tumbuh, hidup, dan bahkan dididik di lingkungan (pendidikan) yang mengkonstruksi standard operational procedure yang mereka langgar. Mereka tidak tahu bahwa apa yang menurut mereka ‘tidak apa-apa’ ternyata sesungguhnya melanggar etika sosial yang sudah dikonstruksi secara ketat, sekian lama.

Maka cara terbaik untuk merespon adalah dengan cara Nabi. Si Baduy tidak dihukum untuk kejahatan yang tidak dia ketahui dan maksudkan, tetapi ia bagaimanapun mendapatkan nasihat. Pula para sahabat yang kadung muntab ditenangkan dan diarahkan untuk tidak hanya memaklumi tetapi juga membersihkan kotoran yang ada. Syukurlah Sandiaga Uno dengan gentle meminta maaf, keluarga KH. Bisri Syansuri sudah pula memaafkan, tinggal kemudian kita sama-sama mengambil ibrah atau pelajaran.

Tinggal kemudian masing-masing dari kita, belajar dari kejadian ini, sama-sama memperluas cakrawala pandang, menjebarkan hati dan melapangkan dada, untuk kemudian tidak hanya dapat melihat sesuatu secara (lebih) utuh dan kaya, tetapi juga secara sadar dapat mengerti bahwa tidak semua yang kita yakini benar, harus benar dalam semua aspek dan bagi semua orang. Kiranya kedewasaan model begitu yang kita butuhkan di tengah kontestasi politik yang serba hitam-putih dan eksploitatif terhadap komodifikasi Islam dan pertentangan identitas.

Sumber gambar: https://www.kaskus.co.id/thread/5beb94f798e31b7d578b4567/langkahi-makam-pendiri-nu-sandiaga-uno-kembali-minta-maaf/

Irfan Sarhindi
Irfan Sarhindi
Pengasuh Salamul Falah. Lulusan University College London. Associate Researcher Akar Rumput Strategic Consulting. Riset S-2-nya tentang Islam Nusantara dan kampanye deradikalisasi. Saat ini menjadi Dosen di Universitas Putra Indonesia. Telah menulis 8 buku, dua di antaranya adalah novel sejarah: 'The Lost Story of Kabah' dan 'Mencintai Muhammad'. Pada tahun 2017 menjadi finalis British Council Future Leaders Connect dan menjadi satu dari 13 Inspirator 'Panggung Indonesia 2045' yang diselenggarakan TEMPO Institute. Blognya: http://irfanlsarhindi.id
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.