Salah satu masalah baru yang merisaukan Warga Negara Indonesia (WNI) di tingkat global adalah sampah yang berserakan di stasiun Moda Raya Terpadu (MRT). Tentu saja kerisauan itu berlaku bagi WNI yang peduli, bagi yang tidak peduli maka nyampah dimanapun adalah biasa saja. Bahkan dianggap hak bebas karena perspektif yang digunakan yaitu dunia adalah tempat sampah.
Namun tulisan ini dibuat karena terinspirasi oleh postingan seorang teman di salah satu Whatsapp Group (WAG) komunitas ilmuwan dan relawan muda peduli bencana di Indonesia. Tepat pada pukul 10.23 hari Selasa 2 April 2019, teman tersebut membagikan sebuah foto yang diambil dari sebuah grup Facebook (FB) ekspatriat di Indonesia tentang seorang Warga Negara Asing (WNA) yang intinya menyayangkan WNI yang tidak respek terhadap segala sesuatu yang baru. WNA itu mengeluhkan sampah yang berserakan di salah satu pintu masuk stasiun MRT hanya beberapa hari setelah dibuka untuk umum.
Teman saya yang seorang ilmuwan sosial muda peduli bencana menambahkan komentarnya: “Ketika teknologi mengabaikan yang sosial, kesalahan ada di sosial. Mestinya MRT belajar dari sistem commuter line. Semua stasiun relatif jauuuh lebih beradab kebersihannya. Infrastruktur sosialnya disiapkan”. Setelah itu, teman saya tersebut juga mengutip perkataan seorang ilmuwan kebumian senior yang juga teman saya: “Jihad itu sederhana, buanglah sampah pada tempatnya”.
Menyampahkan Indonesia Secara Global?
Membuat malu bangsa dan negara Indonesia di tingkat global dengan membuang sampah sembarangan di era teknologi informasi yang berkembang sangat maju dan pesat dan disebut “era industri 4.0” memang sangat mudah dan cepat.
Dalam hitungan detik, perilaku yang memalukan itu akan tersebar dengan sangat mudah di dunia maya, dan kemudian mempermalukan satu bangsa satu negara di dunia nyata. Begitulah cara instant untuk menyampahkan Indonesia secara global. Dan kemudian kembali mencampakkan Indonesia sebagai bangsa dan negara sebagai berperadaban rendah dalam pergaulan dunia.
Bukankah butuh puluhan tahun dengan sekian rezim pemerintahan bagi bangsa dan negara ini untuk akhirnya mewujudkan keberadaan MRT di tengah-tengah masyarakat kita sendiri dan masyarakat dunia? Bahkan ketika akhirnya MRT itu terwujudpun, harus disertai dengan segala polemik bahkan “baku hantam” politik antar kelompok politik atau kubu calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) bersama para pendukung fanatik mereka. Kurang dramatis apalagi dalam menyampahkan Indonesia secara global ini?
Infrastruktur Sosial dan Jihad Sederhana Itu…
Mungkin sebagian dari kita masih kurang akarab dengan istilah “infrastruktur sosial” meskipun istilah infrastuktur hampir setiap hari bisa didengar dan dilihat secara langsung atau dibaca di media massa karena memang menjadi salah satu program kerja pemerintah sekaligus dikampanyekan capres dan cawapres petahana.
Namun lebih sering infrastruktur fisik-lah yang diwacanakan dan diperlihatkan. Karena ada infrastruktur lainnya, yakni infrastruktur sosial yang juga sedang diperjuangkan para ilmuwan dan kelompok masyarakat sipil di Indonesia yang seharusnya juga disiapkan oleh pemerintah.
Infrastruktur sosial dapat secara luas didefinisikan sebagai pembangunan dan pemeliharaan fasilitas yang mendukung layanan sosial. Jenis infrastruktur sosial meliputi perawatan kesehatan (rumah sakit), pendidikan (sekolah dan universitas), fasilitas publik (perumahan dan penjara masyarakat) dan transportasi (kereta api dan jalan).
Jika mau contoh yang lebih kongkrit infrastruktur sosial, diantaranaya yaitu (1) pendidikan, berupa sekolah dan layanan pendidikan lainnya; (2) transportasi, seperti trotoar dan kereta api; (3) kesehatan, layanan yang memperpanjang usia dan meningkatkan kesehatan manusia; (4) dukungan masyarakat, layanan yang mendukung kesejahteraan masyarakat seperti kegiatan setelah sekolah untuk anak-anak.
(5) tempat umum/ruang publik, ruang untuk menikmati alam, olahraga, rekreasi, keluarga, kegiatan sosial, dan refleksi pribadi; (6) informasi, termasuk layanan seperti internet dan perpustakaan; (7) keamanan publik, layanan darurat dan infrastruktur keselamatan lainnya seperti tempat berlindung ketika tsunami; (8) olahraga dan rekreasi, tempat-tempat untuk olahraga dan rekreasi seperti taman skate; (9) seni dan budaya, aspek komunitas yang memiliki nilai seni atau budaya seperti bangunan bersejarah.
Maka MRT adalah bagian dari infrastruktur sosial berupa layanan transportasi bagi publik atau masyarakat. Mungkin yang dimaksud teman saya dengan “yang sosial” adalah tentang karakter setiap orang/individu dalam mayarakat (khususnya pengguna MRT) juga harus dipersiapkan untuk bisa memperlakukan apapun yang baru dengan baik.
Bisa jadi, harus ada pendidikan berupa belajar membuang sampah dengan baik dan benar ke tempat-tempat yang disediakan. Sekaligus harus ada hukuman/sanksi yang jelas dan tegas ketika membuang sampah sembarangan di ruang publik atau fasilitas umum.
Bukankah jihad itu tidaklah membunuh orang lain bahkan saudara sebangsa setanah air kita sendiri yang berbeda suku, agama, ras, dan lain-lainnya? Tapi jihad itu bersungguh-sungguh melawan segala pemikiran, sikap, dan perbuatan yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Termasuk tidak menyampah di sembarang tempat di setiap saat yang akhirnya menyampahkan bangsa dan negara di hadapan dunia.
Bukankah menjaga nama baik bangsa dan negara bahkan dengan membuang sampah dengan baik dan benar di tempat yang disediakan itu juga harus bersungguh-sungguh alias disebut jihad juga?
Mari berjihad berjamaah atau bersungguh-sungguh bersama-sama untuk hidup beradab dan terus lebih beradab. Sehingga MRT tidak menjadi Menyampah Ramai-ramai Terserah yang akhirnya mengakibatkan Menyampahkan Republik (dan) Terglobalisasi secara mudah dan cepat alias instant. Ingat! Kita sudah hidup di era industri 4.0, kan?!