Post world war dan Cold war era menandai munculnya banyak Negara berdaulat di dunia. Pada era sebelumnya, Negara, praktis hanya diwakili oleh para kolonialis besar yang menjajah bangsa dari dunia ketiga. Peradaban dianggap hanya terpusat pada bangsa Eropa, dengan menyatakan dirinya sebagai masyarakat yang beradab (civilize) sementara masyarakat diluar mereka adalah bangsa yang barbar dan tidak beradab (uncivilized). Dengan mengusung misi melakukan civilization, penjajah Eropa mulai menaklukkan bangsa-bangsa tersebut, walaupun dapat diketahui tujuan sebenarnya adalah untuk memperkaya diri dari sumber alam yang dimiliki.
Bahkan pernah suatu ketika sebagaimana diceritakan dalam novel fiksi sejarah Pacar Merah Indonesia, tentang bangsa Eropa yang membuat semacam festival yang merendahkan bangsa Timur. Festival yang diberi nama Tentonstelling Coloniale (Pameran Besar Hindia) di Paris, menampilkan orang-orang dari bangsa terjajah didalam etalase-etalase kaca. Walaupun diungkap dari sebuah novel fiksi sejarah, namun, peristiwa itu nyata. Hal inilah yang kemudian oleh Frances Gouda dalam Dutch Culture Overseas dijadikan panduan penting untuk menjelaskan hubungan yang bias antara penjajah dan negara jajahannya.
Sehingga, atas dasar luka penjajahan yang teramat pedih dan melihat saudara sebangsa yang diperlakukan secara biadab, mengawali semangat nasionalisme pejuang dan pemikir dari bangsa terjajah yang telah tercerahkan dengan pengalaman pendidikan Eropa, untuk memulai perjuangan dalam rangka memerdekakan diri sebagai Negara yang berdaulat, bebas dari cengkaraman kolonialis. Sebut saja para pejuang kemerdekaan di dunia ini yang lahir dari rentang akhir abad 19 sampai dengan pasca perang dunia II, layaknya Bung Karno, Hatta, Ghandi, Kwame Nkurumah, Gamal Abdul Nasser, dsb. Berakhirnya perang dunia II menjadi titik awal dari semangat nasionalisme yang muncul dari bangsa terjajah untuk mendeklarasikan diri sebagai Negara merdeka.
Kondisi Kontemporer
Semakin mengarah kesini keadaan semakin berubah dan pelik. Pada era yang lazim disebut sebagai era modern (beberapa bahkan menyebut sebagai post modern), pasang surut bangsa untuk memerdekakan diri ternyata masih eksis. Mereka berdiam di territorial Negara berdaulat, namun, sebagai bangsa mereka sebenarnya menolak untuk menjadi bagian dari Negara tersebut.
Mungkin semua akrab dengan sebutan bangsa Catalan yang ingin memerdekakan diri dari Spanyol, apalagi setelah hangat-hangatnya referendum pada minggu (1/10) lalu. Demikian juga yang terjadi dibelahan timur tengah sana, muncul bangsa dengan tuntutan yang sama untuk merdeka. Kurdistan (Irak), pada 25 september lalu juga telah mengadakan referendum, dengan 92 persen suara mendukung kemerdekaan.
Boleh jadi referendum Catalunya yang terjadi setelahnya, terinspirasi oleh referendum di Kurdistan itu sendiri. Banyak pengamat menilai, proses referendum tak ubahnya dengan efek domino, setelah Catalunya menuntut kemerdekaan melalui referendum, berhembus pula aksi dari bangsa Basque yang juga masih bagian dari Spanyol untuk menutut hal serupa.
Dengan demikian, Eksistensi suatu etnis dan kelompok masyarakat tidaklah dapat dinafikan, itu adalah proses alamiah dan kodrati. Sejalan dengan filsafat eksistensialisme yang diajukan Sartre, menurutnya, manusia mengada dengan kesadaran sebagai dirinya sendiri, maka bagi manusia eksistensi mendahului esensi.
Oleh karenanya, manusia tidak mengembangkan dirinya berdasarkan esensi yang sudah ditentukan. Manusia tidak mengembangkan eksistensinya sesuai dengan esensinya yang sudah terpatok, seperti halnya seorang tukang, di saat membuat lemari. Ketika seorang tukang membuat lemari, esensi lemari sudah ditentukan sehingga tukang hanya membuat lemari berdasarkan konsep lemari yang sudah ada. Tidak demikian halnya dengan manusia. Manusia membangun eksistensinya dulu baru esensinya muncul. Artinya dia tidak bisa ditentukan, melainkan menentukan, dia adalah aktor bukan pengekor yang selalu diarahkan pada satu pola yang sudah ditentukan.
Begitu dalam artinya kemerdekaan bagi suatu bangsa. Tidak selamanya faktor kesenjangan sosial dan pemerataan ekonomi menjadi alasan bagi munculnya tuntutan untuk merdeka. Catalunya adalah contoh nyata, walaupun, menjadi penyumbang terbesar bagi pendapatan nasional Spanyol dan tingkat pendapatan per kapita penduduk paling tinggi, bukan menjadi alasan untuk tidak menuntut kemerdekaan dari Spanyol. Gejolak kemerdekaan Catalunya menemukan puncaknya setelah era jenderal fasis, Franco. Ia memberangus habis kultur dan bahasa catalunya, masyarakat dituntut untuk meninggalkan identitas asli sebagai bangsa Catalunya. Bangsa Catalunya yang pada saat sebelumnya damai-damai saja dengan Spanyol mulai terusik setelah peristiwa itu. Hal ini membenarkan tesis eksistensialisme tadi, bahwasanya untuk membentuk suatu esensi (mengembalikan identitas, kultur dan bahasa catalunya), maka harus terlebih dahulu diwujudkan eksistensi (mendirikan negara catalunya merdeka yang diakui keberadaannya oleh masyarakat internasional). Begitu pula yang diharapkan oleh bangsa Kurdistan, Basque, Skotlandia dsb.
Namun jangan dilupakan, dalam proses pembentukan Negara baru pasti akan memancing gejolak dengan Negara induk yang selalu menjadi tokoh antagonis. Kemerdekaan Catalunya dan Basque ditentang mati-matian oleh Spanyol, sementara Kurdistan ditentang oleh Iraq dan Turki. Konflik bersenjata adalah hal yang lumrah terjadi dalam proses ini. Meskipun, ada kecendrungan untuk menempuh jalan dialog. Hal itu bukan berarti sebagai bangsa, mereka tidak diizinkan untuk menentukan pendapat dan pilihan masa depan sendiri. Jalur referendum menjadi alternatif untuk menghindari perang sipil yang memakan banyak korban jiwa antara pemberontak separatis dan pemerintahan berkuasa. Hasil referendum diharapkan relatif menjadi refresentasi suara rakyat, apakah mereka menginginkan kemerdekaan atau tetap bertahan dengan Negara induk ? terlepas dari politis atau tidaknya tujuan tersebut. Paling tidak rakyat telah diberikan pilihan untuk menentukan masa depannya sendiri.