Kamis, April 25, 2024

Salah Asuhan: Kolonialisme dan Rasisme

Dimas Pratama Agung Siswanto
Dimas Pratama Agung Siswanto
Seorang mahasiswa dari kampus di pinggiran kota Jakarta.

Tapi lain sekali keadaannya dengan pada pertimbangan orang Barat itu, kalau seorang Nyonya Barat bersuami, bahkan beranak dengan orang di sini. Terlebih dahulu nyonya itu dipandang seolah-olah sudah menghina dirinya sendiri sebagai bangsa Barat.” hlm 21.

Runtutan tulisan dengan keindahan atau bisa kita sebut dengan sastra merupakan institusi sosial yang memakai medium bahasa (Rene Wellek & Austin, 2016: 91). Sastra hadir sebagai representasi dan merupakan sendi-sendi dari kehidupan masyarakat.

Munculnya sastra menjadi sebuah kesenangan tersendiri. Karena, sastra dapat menjadikan sebuah kebenaran lebih benar dari apa yang kita tahu selama ini. Sastra juga memiliki ruang sendiri, sastra dapat menyampaikan segala sesuatu, baik berupa pesan, kritik, sejarah, sampai ideologi. sejalan dengan Burhan Nurgiyantoro karya sastra merupakan hasil pemikiran dan cerminan dari sebuah budaya kelompok masyarakat yang memiliki kebudayaan.

Novel Salah Asuhan sendiri ditulis oleh Abdoel Moeis yang diterbitkan oleh balai pustaka pada tahun 1928. Dianggap sebagai novel terbaik pada masa Sastra Indonesia Modern. Novel salah asuhan dikarang pada masa kolonial dan digolongkan sebagai “cocok untuk bacaan pribumi”. Untuk mendapatkan izin terbit dari balai pustaka pada masa itu, buku-buku harus menghindari tema yang berbau pemberontakan dan menggunakan bahasa melayu formal. Oleh karena itu, banyak dari bagian naskah salah asuhan yang di revisi agar bisa terbit di Balai Pustaka.

Sebelum bisa diterbitkan, naskah asli dari salah asuhan digambarkan cenderung kearah bagaimana sifat orang kulit putih (eropa) yang memiliki kesan negatif. Sehingga, balai pustaka menolak penerbitan. Dan yang terbit sekarang, citra orang kulit putih di novel salah asuhan seakan-akan menjadi baik.

Dalam novel Salah Asuhan, permasalahan ataupun konflik-konflik sangatlah kentara atau bahkan sangat komplek. Dari hegemoni pemerintahan kolonial, kesenjangan sosial pada masa kolonial, hingga diskriminasi ras yang terjadi pada masa itu.

Dalam masa kolonial, negara yang merasa superior akan terus menunjukkan adidayanya terhadap negara-negara yang dianggap lebih rendah. Sehingga mereka menganggap bahwa merekalah yang sempurna, superior itulah yang membuat konflik-konflik pada novel salah asuhan menjadi menarik untuk dibahas. Bangsa barat beranggapan bahwa ras kulit putih yang dominan dan lebih unggul dalam segala bidang. Diskriminasi dalam novel ini seolah-olah bangsa pribumilah yang mempermasalahkan itu bukan bangsa eropa, seperti yang Corrie katakan pada Hanafi, sebagai berikut:

“Bahwa sesungguhnya kulitku berwarna pula, ibuku perempuan bumi putra sejati, meskipun diriku masuk pada golongan bangsa Eropa. Dan sementara…  fasal hina menghina Bumiputra lebih banyak terdengar dari mulutmu sendiri daripada dari mulutku.” hlm 10.

Selain mengganggap dirinya superior, ras kulit putih akan merasa kehilangan entitas, hak, keistimewaan bahwa dirinya (orang eropa) menikah dengan orang pribumi. Jika yang menikah laki-laki eropa dan yang perempuan ialah seorang pribumi, maka hal tersebut akan sedikit biasa dan bahkan dianggap berjasa. Berbeda dengan jika yang perempuan berasal dari eropa dan yang laki-laki pribumi, akan timbul konflik-konflik baru yang kompleks. Terlihat dalam dialog tersebut:

“Jika dia datang dari sini tidak membawa nyonya sebangsa dengan dia, tidak dipandang terlalu hina. Jika nyai itu beranak, pada pandangan orang Barat itu, sudahlah ia berjasa besar tentang memperbaiki bangsa dan daerah di sini. Tapi lain sekali keadaannya dengan pada pertimbangan orang Barat itu, kalau seorang Nyonya Barat bersuami, bahkan beranak dengan orang di sini. Terlebih dahulu nyonya itu dipandang seolah-olah sudah menghina dirinya sendiri sebagai bangsa Barat.” hlm 21.

Dialog diatas memiliki unsur diskriminatif yang besar baik dari unsur fisik hingga psikis. Diskriminasi tersebut ditujukan untuk kaum pribumi. Bagaimana seakan-akan bangsa pribumi tidak layak, tidak cocok, tidak pantas menikah dengan orang eropa (bangsa barat) karena pemikiran yang dibangun oleh budaya barat ialah bahwa mereka ialah superior, pemegang kendali, penguasa. Dalam lingkaran kacamata postkolonialisme terlihat kutipan di atas merupakan diskriminasi yang terlihat jelas. Menurut Ratna (2008: 78)  postkolonialisme menolak keras terhadap oposisi biner, narasi besar, dan proses sejarah yang terjadi karena monolitik.

Gambaran-gambaran kutipan di atas merupakan suatu bentuk diskriminasi ras yang terjadi pada masa kolonial. Abdoel moeis sendiri tidak menyinggung perihal Belanda yang pada waktu itu masih menguasai Indonesia, bahkan Corrie pada tokoh yang ada di novel tersebut diceritakan berdarah Prancis. Mungkin itu strategi Abdoel Moeis agar novelnya dapat diterima ataupun diterbikan oleh Balai Pustaka

Referensi

Moies, A. 1990. Salah Asuhan. Jakarta: Balai Pustaka.

Nugiantoro, Burhan. 2015. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.

Ratna, N. K. 2008. Poskolonialisme Indonesia Relevansi Sejarah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wellek, Rene dan Austin Warrren. 2016. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

 

  

 

 

Dimas Pratama Agung Siswanto
Dimas Pratama Agung Siswanto
Seorang mahasiswa dari kampus di pinggiran kota Jakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.