Kuhidupkan saklar lampu di ruang belakang, tempat dimana biasa aku memarkirkan motorku, motor yang dibeli nyaris tanpa bunga (baca: lunas), cerita motor ini akan diceritakan pada bagian lain. Sejenak aku termenung, karena lampu tidak kunjung menyala, seketika aku keluar melihat lampu depan rumah tetangga, “nyala kok” pikirku dalam hati. Dugaanku mengenai pemadaman bergilir dari PLN terbantahkan. Tidak habis akal, akhirnya aku hidupkan lampu di kamarku, dan “cliiing” menyala dengan malu-malu (karena memang spek lampu rendahan, kalau terlalu terang susah tidur).
Pikiranku kembali tertuju kepada lampu yang mati di bagian belakang, aku pun kembali ke belakang, sambil duduk bersila dan dengan suasana kebathinan yang tenang, aku coba mencari sebab musababnya. Di tengah keheningan itu, tiba-tiba terdengar bunyi “citt citt citt” dari plafon rumahku, disusul dengan bunyi “gluduk gluduuuk” seperti berlari kesana kemari. Aku semakin terpojok, suasana seperti inilah yang mungkin dirasakan oleh Bang Bokir ketika dihantui oleh Suzanna. Akhirnya aku kembali beranjak (baca: lari) ke kamar, aku berpikirnya sederhana saja, karena di kamarku ada Al-Quran dan tasbih serta sajadah (mungkin ini tingkat ketakutan yang sangat parah).
Semakin lama, kegaduhan itu semakin menjadi-jadi tanpa menghiraukan rasa takutku, dramatis sekali malam ini. Kegaduhan semakin jelas dan dengan sisa keberanian kuraih Nokia 105-ku, bukan untuk meminta bantuan, tetapi memanfaatkan fasilitas senternya, guna memastikan apa gerangan yang sedang berlangsung di atas sana. Dari sedikit celah di sudut atas kamarku, kuarahkan cahaya redup senter ini ke arah yang kuanggap sebagai sumber kegaduhan itu. “Olalala,,,,ternyata eh ternyataaaa” pasti anda sudah menduga apa gerangan yang sudah aku temukan tersebut. Seketika aku menduga, merekalah yang patut dipersalahkan atas kegelapan di ruang belakang malam ini.
“Penemuan” ini sangat berharga, setidaknya untuk bahan pemikiran malam ini, seketika pikiran liarku menerawang kemana-mana, namun tetap dengan objek yang sama, ya TIKUS itu. Tikus sering digunakan sebagai perwujudan seorang koruptor, sebagaimana kita ketahui, koruptor adalah “penyakit” bagi pembangunan di negara kita. Tikus dan koruptor memiliki banyak kesamaan, suka mencuri, “licin”, mudah membaur, sumber “penyakit” dan memiliki wajah “lucu-lucu menjijikkan”.
Seketika aku teringat, sepertinya aku pernah memiliki buku tentang pemberantasan korupsi, buku itu aku peroleh sebagai hadiah sebagai pemenang lomba esai di Jakarta. Segera aku mencarinya di rak buku multifungsi-ku (karena juga berfungsi sebagai rak baju), dan akhirnya ketemu, buku itu masih terjaga dengan gagahnya karena jarang dibaca. Setiap kali aku coba membacanya, pasti rasa kantuk menyerang bertubi-tubi tanpa kompromi. Tapi malam ini kucoba melakukan suatu kerja nyata untuk membaca buku ini, perlahan kubuka satu persatu halamannya. Pengantar dalam buku ini disampaikan oleh Teten Masduki, orang yang lama berkecimpung dalam dunia pemberantasan korupsi, saat ini menjabat di Staf Kepresidenan dan diterbitkan oleh Yayasan Obor, penerbit yang sangat kompeten, setidaknya itu pendapatku. Semoga dengan pikiran baik ini, aku dapat memahami intisari dari buku ini. Aku berusaha untuk menghubungkan “isi perut” buku ini dengan kejadian aneh tadi.
Definisi korupsi sangat luas dan banyak sekali, secara umum korupsi berarti menggunakan jabatan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Para koruptor atau “tikus-tikus” itu akan menggunakan berbagai cara untuk menambah isi brankas haramnya. Mereka menjelma ke dalam oknum-oknum pembuat, pelaksana, pengawas, atau perantara dalam suatu kebijakan atau teknis kegiatan. Mereka bisa menjadi pemain tunggal maupun tim, tentunya dengan ditunjang posisi tawar yang kuat.
Indonesia Corruption Watch (ICW), sebuah lembaga yang bergerak di bidang antikorupsi, melakukan pemantauan terhadap penanganan kasus korupsi tahun 2015. Dinyatakan bahwa Kerugian Negara akibat kasus korupsi mencapai Rp. 3,1 triliun. Dari jumlah kerugian negara tersebut, sebesar Rp. 1,2 triliun didapat pada paruh pertama tahun 2015. Sedangkan pada semester kedua tahun 2015 mencapai Rp. 1,8 triliun. Adapun dari jumlah 550 kasus korupsi, tersangka yang terlibat kasus tersebut berjumlah 1.124 orang. Sementara dari rekapitulasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) per Maret 2016, jenis tindak pidana korupsi yang paling dominan adalah penyuapan. Hal ini sering kita lihat dan dengar di berbagai media, baik suap di eksekutif maupun di institusi penegak hukum itu sendiri.
Semakin kita gali, maka akan semakin banyak fakta dan data mencengangkan terkait betapa korupsi telah merusak sendi-sendi kehidupan Indonesia. Oleh karena itu, sedari dini kita mesti menggalakkan antikorupsi, mulai dari sendiri, mari kita basmi TIKUS-TIKUS itu, jangan biarkan mereka berkembang biak, apalagi sampai menyabotase kehidupan KITA.