Di lingkungan kampus, presentasi sudah menjadi aktivitas yang hampir rutin. Setiap mata kuliah menuntut mahasiswa untuk menyampaikan hasil bacaan, riset, atau studi kasus, baik secara individu maupun kelompok. Namun meskipun dilakukan berkali-kali, banyak mahasiswa masih bergantung pada kebiasaan lama yaitu menyalin materi dari internet, membacakan slide, atau mengulang penjelasan dosen tanpa analisis lebih dalam.
Kondisi ini menunjukkan bahwa presentasi di kelas sering hanya menjadi formalitas akademik, bukan ruang berpikir kritis. Presentasi yang seharusnya jadi ajang menjelaskan pemahaman, justru sering menjadi sumber kecemasan bukan karena kurang belajar, tapi karena tekanan akademik kadang datang lebih cepat dari kesiapan mental mahasiswa. Presentasi akhirnya bukan lagi sarana memahami materi, tapi sekedar kewajiban untuk “menyelesaikan tugas”.
Persiapan Materi Itu Nyatanya Tidak Sesederhana Bikin Slide
Proses menyiapkan presentasi sebenarnya jauh lebih kompleks daripada sekadar membuat slide. Dalam satu minggu, mahasiswa bisa menghadapi beberapa deadline sekaligus. Persiapan presentasi sering terjebak pada pola “asal lengkap”. Referensi dikumpulkan tergesa-gesa, diskusi kelompok minim koordinasi, dan catatan yang diambil saat kelas atau wawancara narasumber sering kali tidak utuh. Kondisi seperti ini membuat presentasi tampak informatif tetapi dangkal, data hadir, tetapi logika argumentasi belum sepenuhnya terbentuk.
Di sinilah banyak mahasiswa menyadari tantangan utama bukan pada visual slide, melainkan pada proses merangkai informasi menjadi pemahaman yang bisa dipertanggungjawabkan ketika dosen dan teman sekelas mulai memberikan pertanyaan.
Catatan Kelas yang Tidak Selalu Bisa Diandalkan
Catatan dari perkuliahan sering kali tidak cukup memadai. Dalam durasi kelas yang panjang, penjelasan dosen mungkin mengalir cepat, dan mahasiswa hanya bisa menangkap bagian-bagian yang sempat ditulis. Di sisi lain, tugas kelompok biasanya menghasilkan banyak diskusi, tetapi tidak semuanya tercatat. Kadang ada argumen penting yang hilang, ada pembagian tugas yang tidak terdokumentasi, bahkan ada ide yang muncul spontan namun lenyap setelah diskusi selesai.
Di sinilah beberapa mahasiswa mulai mencari cara agar percakapan yang sempat terlewat bisa direkam ulang dalam bentuk yang lebih rapi. Rekaman audio dari kelas atau voice note hasil diskusi sering diubah menjadi teks menggunakan layanan transkripsi otomatis seperti Transkripsi.id dari widya wicara. Bukan untuk menggantikan proses belajar, tapi sekadar membantu menata kembali informasi yang tercecer.
Setelah semua obrolan berubah menjadi catatan tertulis, mereka bisa meninjau mana yang relevan, mana yang perlu dikembangkan, dan bagaimana menyusun alur presentasi yang lebih jelas. Dengan begitu, waktu yang biasanya habis untuk menyalin ulang bisa dipindahkan ke hal yang lebih penting memahami materi dan membangun argumen yang kuat.
Mengubah Catatan Menjadi Pemahaman yang Siap Disampaikan
Ketika informasi mulai terkumpul secara terstruktur, mahasiswa memasuki tahap paling krusial yaitu mengolah catatan menjadi pemahaman yang bisa dijelaskan secara runtut. Memiliki catatan lengkap bukan berarti otomatis siap presentasi. Yang lebih penting adalah memastikan setiap data punya konteks, setiap argumen punya dasar, dan setiap kesimpulan dapat dijelaskan dengan logika yang jelas. Dengan pemahaman yang tersusun matang, sesi presentasi tidak lagi terasa seperti tugas terburu-buru, tetapi menjadi ruang untuk menunjukkan cara berpikir.
Pada akhirnya, kualitas presentasi ditentukan bukan oleh jumlah slide, melainkan oleh bagaimana mahasiswa memaknai proses belajar, mengelola informasi, dan menyiapkan argumen yang bisa dipertanggungjawabkan.
