Kamis, Desember 18, 2025

Saat Pelaku Perempuan Jadi Sorotan

Karin Dhifahera
Karin Dhifahera
Mahasiswa Universitas Airlangga yang tertarik pada isu gender, media, dan dinamika sosial.
- Advertisement -

Fenomena perselingkuhan yang melibatkan selebritas kembali menyita perhatian publik beberapa waktu terakhir. Setiap kali isu ini mencuat, media sosial segera dipenuhi opini, analisis spontan, hingga ribuan komentar dari warganet. Pola ini bukan hal baru. Namun, terdapat sesuatu yang menarik pada kasus terbaru: pelaku perselingkuhan kali ini adalah perempuan, dan reaksi netizen tampak jauh lebih keras dibanding ketika pelakunya laki-laki.

Reaksi yang berbeda ini membuka kembali diskusi mengenai bias gender dalam memandang kesalahan moral. Selama ini, masyarakat cenderung menganggap laki-laki sebagai pihak yang “umum” melakukan perselingkuhan. Akibatnya, ketika laki-laki menjadi pelaku, banyak yang tidak benar-benar terkejut. Sebaliknya, ketika perempuan terseret dalam kasus yang sama, respons publik justru meningkat berkali-kali lipat. Perempuan dinilai melanggar “standar moral” yang tidak tertulis, seolah-olah kesalahan yang sama menjadi lebih berat karena dilakukan oleh gender tertentu.

Fenomena ini tidak dapat dilepaskan dari warisan budaya patriarki yang menempatkan perempuan sebagai simbol kesetiaan dan penjaga kehormatan keluarga. Narasi ini membuat masyarakat menempatkan beban moral lebih besar kepada perempuan. Pada saat yang sama, laki-laki mendapatkan toleransi lebih luas atas perilaku yang sama. Standar ganda ini menjelaskan mengapa kasus perselingkuhan dengan pelaku perempuan sering menjadi bahan perbincangan lebih intens, bahkan sensasional.

Media sosial turut memperkuat bias tersebut. Algoritma platform cenderung mendorong konten yang memicu keterlibatan emosi. Ketika publik melihat perempuan menjadi pelaku, rasa keterkejutan kolektif membuat isu ini mudah viral. Judul sensasional, potongan video reaksi, dan meme yang bertebaran memperbesar narasi bahwa perempuan adalah “pelanggar moral” yang lebih layak dihakimi. Dalam situasi seperti ini, diskusi sering kali tidak lagi berfokus pada fakta, tetapi pada dorongan emosional yang didukung bias budaya.

Padahal, baik laki-laki maupun perempuan seharusnya diperlakukan sama dalam menilai tindakan keliru—tanpa beban stereotip, tanpa penghakiman berlebihan, dan tanpa memandang gender sebagai faktor utama dalam menentukan besarnya kesalahan. Perselingkuhan tetaplah tindakan yang menyakiti pasangan, siapa pun pelakunya. Ketika masyarakat bereaksi lebih keras hanya karena pelakunya perempuan, itu menunjukkan bahwa konstruksi sosial kita masih belum sepenuhnya adil.

Diskusi yang lebih objektif hanya bisa terwujud jika publik mampu melepaskan bias moral yang selama ini melekat. Tantangannya adalah bagaimana kita sebagai masyarakat digital dapat lebih kritis melihat fenomena viral, tanpa larut dalam dorongan emosional atau standar ganda yang diwariskan budaya. Dengan perspektif yang lebih setara, kita bisa menciptakan ruang diskusi yang tidak hanya lebih sehat, tetapi juga lebih manusiawi.

Pada akhirnya, kasus-kasus perselingkuhan selebritas dapat menjadi cermin bagi masyarakat untuk mengevaluasi kembali cara kita memperlakukan isu pribadi sebagai konsumsi publik. Perubahan tidak terjadi dalam semalam, tetapi kesadaran kolektif bahwa laki-laki dan perempuan harus dinilai dengan standar moral yang sama adalah langkah penting menuju budaya digital yang lebih matang.

Karin Dhifahera
Karin Dhifahera
Mahasiswa Universitas Airlangga yang tertarik pada isu gender, media, dan dinamika sosial.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.