Sabtu, Agustus 9, 2025

Saat Kebijakan Publik Kita Tersandera yang Viral

Sapraji Sapraji
Sapraji Sapraji
Sapraji, S.Th.I., M.A.P. adalah seorang konsultan politik, manajemen, dan analis kebijakan publik yang dikenal karena pendekatan strategis, kritis, analitis, dan inovatif. Ia merupakan pendiri dan CEO IDIS Indonesia Group, sebuah lembaga konsultan yang fokus pada penguatan tata kelola, strategi politik, dan pengembangan personal branding tokoh publik maupun institusi di era digital. Dengan pengalaman luas dalam mendampingi berbagai figur publik, baik dalam kontestasi pemilihan nasional maupun pemilihan kepala daerah, Sapraji telah menjadi mitra strategis bagi pemerintah, sektor swasta, dan organisasi masyarakat sipil. Ia kerap dipercaya merancang solusi kebijakan berbasis riset yang adaptif dan relevan, serta melakukan manajemen krisis komunikasi dan kebijakan bagi pejabat publik dan pemimpin daerah. Selain aktif sebagai konsultan, Sapraji juga dikenal sebagai penulis opini dan pengkaji isu-isu kebijakan publik. Ia rutin menyumbangkan gagasan kritisnya di berbagai media nasional seperti Kompasiana, Tempo, Detik, IDN Times, dan Kumparan. Beberapa tulisannya yang menonjol antara lain “Negara Ambil yang Diam: Meneropong Kekuasaan dalam Era Pasif Warga,” “Zona Damai atau Zona Diam? Ancaman Nyata di Balik Wajah Kalem ASEAN,” serta “Guru Sekolah Rakyat Mundur: Antara Beban Moral dan Tumpang Tindih Kebijakan.” Ia juga merupakan penulis buku “Smart City Tangerang Selatan: Transformasi Digital untuk Tata Kelola, Lingkungan, dan Masyarakat”, serta jurnal ilmiah berjudul “Implementasi Smart City di Kota Tangerang Selatan Banten”. Karya-karya ini menunjukkan konsistensinya dalam mengawal transformasi digital dan kebijakan berbasis keadilan sosial di tingkat lokal maupun nasional. Dengan kombinasi antara praktik kebijakan, strategi politik, dan pemikiran reflektif, Sapraji terus memainkan peran penting dalam mendorong perubahan yang berorientasi pada kepentingan publik.
- Advertisement -

Dalam sembilan bulan pemerintahan Prabowo-Gibran, satu pola makin kentara, kebijakan publik terasa semakin ditentukan oleh apa yang viral di media sosial. Fenomena ini menghadirkan paradoks. Di satu sisi, pemerintah tampak responsif. Di sisi lain, reaktivitas digital yang berlebihan berpotensi menggerus kualitas deliberasi kebijakan yang seharusnya berbasis data, analisis mendalam, dan proses partisipatif.

Kasusnya mudah ditemukan. Kenaikan tarif ojek online dibatalkan hanya beberapa jam setelah tagar #TolakTarifBaru mendominasi linimasa. Bantuan pangan dipercepat penyalurannya setelah video antrean beras di NTT menyebar dengan jutaan penayangan. Bahkan distribusi bahan bakar bersubsidi dirombak secara tergesa-gesa usai video sopir truk yang menangis di TikTok memantik emosi publik. Semua tampak seperti kemenangan demokrasi digital, tetapi apakah benar begitu?

Politik yang Tergoda Algoritma

Data Kementerian Kominfo (2025) menunjukkan 212 juta pengguna internet di Indonesia rata-rata menghabiskan lebih dari tiga jam sehari di media sosial. Di ruang yang serba cepat ini, isu yang viral menciptakan tekanan politik yang sulit diabaikan. Laporan Katadata Insight Center (Mei 2025) bahkan mencatat bahwa 68% kebijakan yang diumumkan pemerintah dalam enam bulan terakhir mengalami penyesuaian setelah mendapat tekanan digital.

Namun, kebijakan yang lahir dari tekanan semacam ini sering kali tidak siap di level implementasi. Distribusi solar bersubsidi, misalnya, diubah hanya lima hari setelah video viral, padahal kajian teknis Kementerian ESDM sebelumnya membutuhkan enam bulan. Hasilnya? Mekanisme baru malah menambah antrean di beberapa SPBU karena sistem verifikasi belum siap.

Center for Digital Governance (2024) menyebut fenomena ini sebagai “Reactive Digital Policy Syndrome”, kecenderungan pemerintah mengambil keputusan untuk meredam gejolak daring, bukan untuk menyelesaikan akar persoalan. Dalam teori kebijakan publik, ini berarti agenda setting digeser dari proses analisis kebutuhan menjadi sekadar respons terhadap tren berumur pendek.

Fenomena ini juga menimbulkan risiko populisme digital, di mana kebijakan diukur dari popularitas, bukan keberlanjutan. Hal ini berbahaya dalam jangka panjang, karena publik bisa kehilangan kepercayaan begitu kebijakan populer ternyata tidak efektif.

Membangun Ketahanan Kebijakan

Bagaimana keluar dari jebakan ini? Pertama, pemerintah perlu memperkuat data driven policy. Aspirasi publik penting, tetapi harus dipadukan dengan bukti empiris dan kajian multidisipliner. Data terbuka dan pemanfaatan big data bisa membantu pemerintah membedakan antara isu yang penting dan isu yang sekadar viral.

Kedua, ruang deliberasi publik perlu ditata ulang. Partisipasi digital bisa diarahkan melalui platform konsultasi daring yang memverifikasi identitas pengguna dan mengutamakan kualitas argumen, bukan sekadar jumlah like atau retweet. Estonia dan Finlandia memberi contoh: media digital dijadikan alat deliberasi, bukan substitusi proses kebijakan.

Ketiga, komunikasi krisis digital harus diperkuat. Pemerintah sebaiknya memiliki protokol komunikasi yang jelas untuk merespons isu viral tanpa harus terburu-buru mengubah kebijakan. Ini bukan tentang mengabaikan suara publik, tetapi memastikan suara itu diolah dalam kerangka strategis yang berkelanjutan.

Era digital memang menuntut kecepatan. Namun, kebijakan publik bukan sekadar tentang siapa yang paling cepat merespons, melainkan siapa yang paling siap menghadapi masa depan. Jika pemerintah terus terjebak dalam logika algoritma, maka kebijakan akan menjadi rapuh: populer di permukaan, tetapi kosong di kedalaman.

- Advertisement -

Indonesia membutuhkan sistem kebijakan yang mampu mendengar aspirasi publik tanpa tersandera oleh apa yang viral. Respons cepat penting, tetapi deliberasi mendalam jauh lebih krusial. Demokrasi yang sehat bukan hanya tentang siapa yang paling keras bersuara, tetapi tentang siapa yang paling bijak mengambil keputusan.

Sapraji Sapraji
Sapraji Sapraji
Sapraji, S.Th.I., M.A.P. adalah seorang konsultan politik, manajemen, dan analis kebijakan publik yang dikenal karena pendekatan strategis, kritis, analitis, dan inovatif. Ia merupakan pendiri dan CEO IDIS Indonesia Group, sebuah lembaga konsultan yang fokus pada penguatan tata kelola, strategi politik, dan pengembangan personal branding tokoh publik maupun institusi di era digital. Dengan pengalaman luas dalam mendampingi berbagai figur publik, baik dalam kontestasi pemilihan nasional maupun pemilihan kepala daerah, Sapraji telah menjadi mitra strategis bagi pemerintah, sektor swasta, dan organisasi masyarakat sipil. Ia kerap dipercaya merancang solusi kebijakan berbasis riset yang adaptif dan relevan, serta melakukan manajemen krisis komunikasi dan kebijakan bagi pejabat publik dan pemimpin daerah. Selain aktif sebagai konsultan, Sapraji juga dikenal sebagai penulis opini dan pengkaji isu-isu kebijakan publik. Ia rutin menyumbangkan gagasan kritisnya di berbagai media nasional seperti Kompasiana, Tempo, Detik, IDN Times, dan Kumparan. Beberapa tulisannya yang menonjol antara lain “Negara Ambil yang Diam: Meneropong Kekuasaan dalam Era Pasif Warga,” “Zona Damai atau Zona Diam? Ancaman Nyata di Balik Wajah Kalem ASEAN,” serta “Guru Sekolah Rakyat Mundur: Antara Beban Moral dan Tumpang Tindih Kebijakan.” Ia juga merupakan penulis buku “Smart City Tangerang Selatan: Transformasi Digital untuk Tata Kelola, Lingkungan, dan Masyarakat”, serta jurnal ilmiah berjudul “Implementasi Smart City di Kota Tangerang Selatan Banten”. Karya-karya ini menunjukkan konsistensinya dalam mengawal transformasi digital dan kebijakan berbasis keadilan sosial di tingkat lokal maupun nasional. Dengan kombinasi antara praktik kebijakan, strategi politik, dan pemikiran reflektif, Sapraji terus memainkan peran penting dalam mendorong perubahan yang berorientasi pada kepentingan publik.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.