Sabtu, April 20, 2024

RUU Tembakau untuk Industri atau Rakyat

Fahmi_Muhammad
Fahmi_Muhammad
Mahasiswa Magister Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada

Tembakau atau dalam bahasa latin disebut dengan nicotiana tobacum, merupakan tanaman perkebunan. Tembakau mula-mula muncul di Amerika tengah pada masa sebelum masehi.

Dengan bukti adanya ukiran seorang pemuka agama yang merokok sebagai bagian ritual keagamaan. Sejarah tembakau mulai ditulis sejak Cristoper Colombus melakukan pendaratan di Benua Amerika pada tahun 1492, sejak itu sejarah tembakau mulai dikenal hingga ke seluruh dunia termasuk Indonesia.

Di Indonesia sendiri tembakau mulai dikenal sudah sejak lama, berdasarkan pada naskah Jawa yaitu Babad Ing Sangkala disebutkan bahwa tembakau telah masuk ke Pulau Jawa pada tahun 1523 Saka atau tahun 1602 Masehi bersamaan dengan meninggalnya Panembahan Senopati Ing Ngalaga (Mukani dan Sri). Awalnya usaha tembakau dilakukan secara kecil-kecilan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan persembahan kepada penguasa (Subangun dan Tanuwidjojo, 1993).

Spesies tembakau yang ada di dunia ini mencapai 50 (lima puluh) jenis. Diantara spesies yang dikenal, terdapat 3 (tiga) spesies yang paling banyak dibudidayakan yaitu Nicotiana rustika, Nicotiana macrophylla, dan Nicotiana tabacum. Saat ini budidaya tembakau menyebar pada 15 provinsi di Indonesia yang didominasi oleh Perkebunan Rakyat (PR) dengan luas sejak tahun 1980 mengalami peningkatan hingga tahun 2013 menjadi 267, 352 ha dari 127, 103.

Namun terdapat tiga provinsi yang secara kumulatif mendominasi produksi tembakau nasional hingga mencapai 90,76 % yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat (NTB) Jawa Timur memberikan kontribusi terbesar yaitu 49, 03 % dengan total produksi 102.749 ton, kemudian NTB sebesar 50. 506 ton atau 24, 10 % dari total produksi nasional, dan yang ketiga adalah Jawa Tengah sebesar 36. 952 ton (17, 63 %). Berdasarkan data Indonesian Global Adult Tobacco Survey (GATS) 36, 1 % orang dewasa Indonesia dengan rata-rata usia 15 tahun keatas saat ini menggunakan tembakau dengan klasifikasi pria 67,4 % dan wanita 4,5 % sebagian besar melalui merokok.

Dinamika Konflik Dalam RUU Tembakau 

Konflik merupakan hal yang lumrah terjadi di masyarakat, kehadiran konflik tidak bisa dihindari namun hanya dapat diminimalisir, pada dasarnya semua orang menyadari akan dampak negatif dari konflik dengan hanya menghabiskan waktu, resiko dan biaya yang cukup tinggi jika terjadi sebuah konflik.

Persoalan mengenai tembakau ini sangat memakan waktu dalam perjalanannya, konflik mengenai tembakau sudah terjadi sejak lama sebelum munculnya RUU tembakau, terutama konflik yang ditimbulkan soal alasan kesehatan dan dominasi pabrik-pabrik besar daripada masyarakat dalam pengelolaan tembakau.

Kemudian kemunculan RUU tembakau ini seolah menjadi penguat konflik bukan sebuah rekonsiliasi dari konflik yang sudah ada sebelumnya, saat ini RUU tembakau sudah masuk Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS).

Secara normatif RUU tembakau ini dibuat untuk melakukan pengendalian tembakau sesuai amanat konvensi internasional Konvensi Kerangka Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), sebagai hukum internasional yang telah diresmikan tahun 2005.

Namun pada prakteknya konflik baru muncul karena berbagai kekeliruan dalam pengambilan keputusan konflik terjadi karena penyalahgunaan wewenang oleh pihak legislatif yang di refresentasikan oleh DPR sebagai lembaga yang mempunyai otoritas dalam merancang sebuah Undang-undang.

Pertama konflik muncul dari dari proses awal yaitu perencangan kebijakan, secara prosedural langkah yang diambil tidak dilibatkannya pihak yang  kompeten terkait urusan tembakau seperti para ahli pertanian, petani tembakau, dan Non Government Organization (NGO) yang konsen dalam urusan pertembakauan, bahkan dalam beberapa media dikatakan tidak adanya naskah akademik namun hal ini telah dibantah oleh Sunaryadi Ayub wakil Badan Legislasi DPR.

Selanjutnya karena kebijakan ini sifatnya sektoral maka DPR juga perlu melibatkan kementrian-kementrian yang terkait yaitu Kementrian Kesehatan, Kementrian Keuangan, Kementrian Perindustrian, dan beberapa kementrian lainnya.

Kedua rekomendasi penyediaan tempat khusus bagi perokok dalam RUU Pasal 55, seolah DPR mengisyaratkan untuk membuka peluang selebar-lebarnya bagi industri tembakau yang akan didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar dan membebankan anggaran bagi kantor-kantor atau tempat layanan umum karena harus membuat area khusus perokok.

Ketiga dalam RUU Pasal 40 DPR memperbolehkan perusahaan-perusahaan rokok untuk melakukan promosi produk rokok melalui media cetak, media elektronik, media luar ruang, media online dalam jumlah terbatas dan waktu tertentu.

Ini dinilai semakin memudahkan industri untuk mendapatkan konsumen baru sehingga hal ini mengakibatkan daya beli produk hasil tembakau akan semangkin meningkat bukan malah dapat dikendalikan, terutama media internet seperti yang dilansir dalam jurnal yang mengatakan bahwa internet adalah platform ideal bagi perusahaan tembakau untuk mengejar ambisi promosi mereka yang semakin terbatas dan untuk mengeksploitasi peluang belum pernah terjadi sebelumnya yang disediakan oleh ruang cyber interaktif kepada para pemasar.

Kemudian yang keempat RUU ini bertentangan dengan Undang-undang No. 36 Tahun 2009 yang menyatakan rokok merupakan zat adiktif yang berbahaya yang peredarannya harus dilarang, namun berkebalikan dengan RUUT yang justru memberikan celah untuk dipasarkan lebih luas.

Poin-poin diatas merupakan pokok permasalahan dari konflik yang terjadi antara kelompok yang kontra (NGO, Kementrian Kesehatan, masyarakat) dengan lembaga legislatif (DPR). Hingga saat ini konflik RUU tembakau belum menemukan titik temu, pembahasan tentang RUU pengendalian tembakau sangat alot, dipenuhi konflik kepentingan dari kelompok pemberi cukai rokok terbesar di Indonesia, ini merupakan konflik internal yang terjadi dalam lingkaran pemerintah saat ini terkait pengesahan RUU tembakau.

Tidak hanya terjadi di Indonesia kebimbanganpun ternyata pernah melanda Amerika ketika Philip Morris awalnya menentang kebijakan pengendalian tembakau, namun lambat laun Philip Moris justru yang paling getol memperjuangkan kebijakan tembakau di Amerika, kemudian yang paling kentara dalam RUU tembakau adalah sarat dengan kepentingan politik para elit untuk menggalang kekuatan dan gelontoran anggaran melaui kerja sama dengan para perusahaan tembakau yang ingin melebarkan lahan bisnis serta mencari dan melipat gandakan keuntungan.

Ibarat bola, rancangan RUU tembakau masih bergulir belum ada kepastian persetujuan dari pemerintah, sampai saat ini RUU masih digodok antar kementrian, kecuali Kementrian Kesehatan yang menolak dengan tegas adanya Rancangan Undang-undang terkait tembakau.

Fahmi_Muhammad
Fahmi_Muhammad
Mahasiswa Magister Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.