Tahun ini merupakan titik kritis untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat. RUU ini bukanlah hal yang baru, sejak periode 2009 sampai sekarang RUU Masyarakat Adat selalu mengalami kegagalan untuk disahkan. Kesannya negara memang tak memiliki niat untuk melindungi dan menghormati hak Masyarakat Adat.
Secercah harapan mendapatkan perlindungan dari negara kembali muncul pasca Presiden Joko Widodo melalui surat Menteri Sekretaris Negara memerintahkan sejumlah kementrian untuk membahas RUU Masyarakat Adat bersama DPR RI.
Alih-alih mendapatkan perlindungan, baru saja berharap Masyarakat Adat sudah kembali dikecewakan oleh keputusan Menteri Dalam Negeri melalui Surat Penyampaian DIM RUU Masyarakat Adat pada 11 April 2018 lalu. Mendagri dalam poin surat tersebut mengatakan bahwa RUU Masyarakat Hukum Adat akan memberikan beban yang sangat berat bagi APBN.
Tidak hanya itu, Mendagri melalui suratnya menganggap bahwa RUU Masyarakat Adat ini belum merupakan kebutuhan konkrit yang dikhawatirkan akan menghambat sejumlah investasi pembangunan yang dilakukan oleh negara.
Kedangkalan Berfikir
RUU Masyarakat Adat merupakan amanat UUD 1945 pasal 18b ayat (2) yang menegaskan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya yang akan diatur dalam undang-undang.
Jika logika Mendagri mengatakan bahwa RUU Masyarakat Adat belum menjadi kebutuhan konkrit, tersirat kesimpulan kuat bahwa lembaga negara dalam hal ini Menteri Dalam Negeri sedang menciderai mandat konstitusi yang selama ini dipegang teguh sebagai dasar negara.
Dalam ketiadaan hukum, RUU Masyarakat Adat merupakan instrumen untuk menyelesaikan konflik-konflik yang melibatkan masyarakat. Mahkamah Agung pernah mengungkap berkas-berkas dokumen kasus yang tidak terselesaikan di lembaganya, bahkan ada berkas yang sudah ada sejak tahun 1945. Tercatat ada sekitar 16.000 kasus, separuhnya adalah konflik lahan dan Masyarakat Adat.
Temuan-temuan inquiri nasional Komnas HAM pun tegas menyebutkan, ada pelanggaran hak-hak asasi Masyarakat Adat di dalam dan sekitar kawasan hutan. Tanpa Undang-Undang Masyarakat Adat konflik-konflik yang begitu banyak ini sulit dibayangkan akan berhenti begitu saja.
Peraturan sektoral atau peraturan daerah yang mengatur perlindungan hak Masyarakat Adat tentu tidak cukup legitimed dalam menjamin pengakuan dan penghormatan dari Negara selain adanya Undang-Undang khusus. Sebagai bukti masih banyak konflik perampasan hak Masyarakat Adat yang terjadi.
Tampaknya Mendagri terjebak dalam kekeliruan logika berfikir yang fatal dengan menganggap bahwa RUU ini belum menjadi kebutuhan negara. Dengan ragam konflik yang terjadi dan tak kunjung selesai, akankah RUU ini belum menjadi kebutuhan? Hal ini memberikan jawaban bahwa Mendagri gagal memahami realitas empiris situasi Masyarakat Adat.
Menghambat Investasi?
Asumsi Mendagri yang mengatakan bahwa RUU Masyarakat Adat menghambat investasi pembangunan merupakan argumen tanpa dasar ilmiah yang jelas. Justru RUU ini mempercepat investasi pembangunan, dengan memperkuat asas partisipasi pembangunan yang tersirat di dalam substansi RUU Masyarakat Adat yang berusaha membuat investasi lebih beradab.
Sebagai bukti, salah satu yang memperlambat pembangunan infrastruktur adalah ketidakpastian hak atas wilayah, sehingga menimbulkan ketidakpastian proses investasi. Jika pengakuan wilayah-wilayah adat dan Masyarakat Adat mampu dengan cepat diselesaikan melalui Undang-Undang Masyarakat Adat, maka akan mempercepat program pembangunan, karena selama ini banyak program pembangunan yang terhenti dan tidak bisa dilaksanakan karena lahannya berkonflik dan tidak jelas siapa pemegang haknya.
Dengan cara pandang demikian, maka perlu ada payung hukum berbentuk undang-undang khusus yang memberikan kepastian wilayah dan mengatur hubungan kerjasama partisipatif antara pemerintah dan Masyarakat Adat dalam pemanfaatan kelola sumber daya alam yang berada di wilayah adat.
Sebab jika Masyarakat Adat melulu mengambil pilihan konfrontasi dengan pemerintah, justru pada titik itu pula terjadi konflik perebutan wilayah yang berkepanjangan dan tentunya menghambat produktivitas pembangunan yang berujung pada kerugian-kerugian pada pendapatan negara.
Logika dangkal itu harus diubah dalam memandang polemik pengakuan Masyarakat Adat. Jangan sampai kemudian keputusan Mendagri yang menganggap Masyarakat Adat menghambat investasi pembangunan justru akan semakin mempersempit ruang gerak negara dalam meningkatkan APBN dikemudian hari.
Menagih Komitmen Presiden
Komitmen moral Presiden Joko Widodo dituntut dalam percepatan pengesahan RUU Masyarakat Adat. Tegas dikatakan dalam Nawa Cita bahwa Presiden berjanji akan mendukung hak-hak Masyarakat Adat. RUU ini merupakan pintu gerbang manifestasi komitmen Presiden tersebut.
Keseriusan pemerintah perlu ditagih dalam hal ini. Jika pemerintah cerdik, pengesahan RUU Masyarakat Adat ini akan menjadi saksi sejarah bahwa “di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, telah berhasil melahirkan produk hukum Undang-Undang Masyarakat Adat yang selama ini dinantikan oleh lebih dari 17 juta komunitas Masyarakat Adat. Selain itu, rezim ini juga akan dicatat sebagai rezim yang berhasil melunasi hutang konstitusi UUD 1945 yang selama ini dijanjikan”.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dalam argumennya pada Rakernas Aliansi Masyarakat Adat Nusantara ke IV di Papua Barat juga tegas mengatakan akan mempercepat pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat. Namun, dengan surat yang dilayangkan oleh Mendagri kepada Menteri Sekretaris Negara tersebut memberikan jawaban bahwa Mendagri lah yang selama ini menghambat pengakuan dan perlindungan hak Masyarakat Adat.
RUU Masyarakat Adat ini ternyata masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya, gagal menjadi Undang-Undang akibat pemerintah terjebak pada langgam pragmatisme. Politik kolonialisme pengelolaan sumber daya alam masih hendak dilanggengkan oleh pemerintah yang berkuasa.
Tak dapat dipungkiri, pengakuan dan perlindungan hak-hak Masyarakat Adat dengan segala keberagaman seharusnya dipandang sebagai langkah memperkuat integrasi dan keberlanjutan Indonesia sebagai bangsa yang besar dan homogen.
Pengakuan itu sendiri, akan meningkatkan kesejahteraan Masyarakat Adat sebagai suatu entitas warga negara sebagaimana dimandatkan konstitusi dan cita-cita pendiri bangsa.
Harapan akan sebuah perlindungan dan pengakuan dari negara kembali pupus. Negara memang tak memiliki niat untuk hadir ditengah-tengah Masyarakat Adat. Bahkan, Masyarakat Adat hanya dianggap sebagai entitas yang menjadi beban negara. Sejarah Masyarakat Adat akan mencatat, bahwa di masa lalu mereka pernah dipimpin oleh rezim yang melanggar konstitusi dan enggan meningkatkan kesejahteraan mereka sebagai warga negara.