Selasa, April 23, 2024

RUU Masyarakat Adat, Jalan Rekonsiliasi Negara

Yayan Hidayat
Yayan Hidayat
Yayan Hidayat Peneliti di Central Information, Journal and Forum Development Universitas Brawijaya

Saat ini tidak sedikit komunitas masyarakat adat terlibat konflik perebutan wilayah kehidupan dan berhadap-hadapan dengan negara. Bayangkan, kondisi terkini, perampasan tanah adat dengan dalih hak menguasai negara terjadi seluas 99,6 juta hektar atau 52,3% luas wilayah Indonesia.

Banyak kasus juga memperlihatkan bagaimana penghancuran sistem sosial masyarakat adat yang selama ini memiliki relasi erat dengan tanah. Sebab tanah dipandang tak sekedar sebagai komoditas kapital, melainkan peninggalan leluhur yang menjadi simbol adat-istiadat, menjaga tanah sama dengan menjaga martabat adat. Itu kenapa sampai hari ini, segala hal mereka lakukan demi menjaga hak asal-usul salah satunya tanah.

Dengan konflik yang berlarut, pembangunan kerap dipandang sebagai agresi karena menjadi pembenaran atas perampasan wilayah, tanah dan sumber daya milik masyarakat adat tanpa persetujuan mereka.

Secara nasional sebenarnya, masyarakat adat telah diakui dan dilindungi konstitusi melalui Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945. Eksistensi masyarakat adat kembali ditegaskan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU X/2012 tentang posisi hutan adat yang dipisahkan dari kawasan hutan negara dan masuk pada kategori hutan hak dalam kawasan hutan.

Kemudian konstitusi tersebut, mendelegasikan aturan secara spesifik keberadaan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat dapat dilakukan dalam bentuk peraturan daerah, terutama peraturan di bidang sumber daya alam.

Namun dalam praktiknya pengakuan hukum yang terjadi di berbagai daerah tidak selalu dalam bentuk peraturan daerah, melainkan hanya berbentuk Surat Keputusan Bupati maupun surat perjanjian kerjasama dalam pengelolaan sumber daya alam, yang secara hukum tidak memiliki legitimasi yang kuat untuk mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat.

Sudah banyak memang undang-undang yang menafsirkan nomenklatur 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 tentang pengakuan masyarakat adat, namun karakteristik perundang-undangan yang mengatur spesifik hak-hak masyarakat adat saat ini masih bersifat sektoral dan menimbulkan berbagai tafsir yang menghambat upaya pemulihan hak masyarakat adat, terutama atas tanah dan sumber daya alam.

Alih-alih mengakui dan melindungi hak masyarakat adat, kebanyakan peraturan tersebut malah merampas hak masyarakat adat atas sumber-sumber kehidupan serta membatasi hak mereka. Sehingga memang sangat memerlukan kodifikasi undang-undang khusus yang menjadi rujukan dan dapat mengkonsolidasikan berbagai peraturan sektoral untuk dapat dilihat secara utuh guna mengurangi tafsir-tafsir dalam pelaksanaannya yang akan menghambat pemenuhan hak konstitusional masyarakat adat.

Meraba Hambatan Pengakuan Masarakat Adat

Problem lain yang melanda saat ini adalah pemerintah merasa takut untuk mengeluarkan undang-undang khusus soal pengakuan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat sebagai peraturan turunan amanat konstitusi. Kehadiran undang-undang masyarakat adat tersebut dikhawatirkan menjadi ancaman penghambat proses pembangunan dan dapat mengurangi pendapatan negara.

Sebab jika undang-undang pengakuan pengakuan masyarakat adat dikeluarkan, maka pemerintah akan membagi otoritas pemanfaatan seperti tanah, hutan dan sumber daya alam lainnya dengan masyarakat adat. Undang-undang pengakian hak-hak masyarakat adat itu pula dikhawatirkan mengancam keberadaan investasi-investasi yang mengakar menikmati sumber daya alam negeri.

Kondisi itu kemudian yang mendasari alasan kenapa sampai hari ini pemerintah hanya berani mengeluarkan peraturan pengajuan hak-hak masyarakat adat sebatas peraturan sektoral atau bahkan hanya surat perjanjian kerja sama dengan masyarakat adat dalam pemanfaatan sumber daya alam. Pemerintah terjebak pada asumsi untung dan rugi, hal itu kemudian yang memunculkan ke khawatiran yang berlebihan untuk mengakui hak-hak masyarakat adat melalui kodifikasi undang-undang khusus.

Sementara, konflik lahan dan sumber daya alam dari tahun ke tahun terus meningkat. Sepanjang tahun 2016 lalu, Ombudsman RI mencatat terjadi 450 konflik agraria dengan luas 1.265.027 hektar. Konflik perkebunan menduduki peringkat tertinggi dengan 163 konflik atau 601.680 hektar. Urutan kedua sektir kehutanan seluas 450.215 hektar, di ikuti dengan konflik sektor properti 104.379 hektar, migas 43.882 hektar, infrastruktur 35.824 hektar, pertambangan 27,393 hektar, pesisir 1.706 hektar dan terakhir pertanian seluas lima hektar.

Konflik tersebar di 34 provinsi, dengan enam penyumbang konflik tertinggi yakni Riau 44 konflik (9,78%), Jawa Timur 43 (9,56%), Jawa Barat 38 konflik (8,44%), Sumatera Utara 36 konflik (8,00%), Aceh 24 konflik (5,33%), dan Sumatera Selatan 22 konflik (4,89%).

Konflik yang kian meningkat hendaknya menjadi perhatian serius oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Padahal, pemerintah punya otoritas lebih luas dalam mengurangi konflik. Undang-undang pengakuan masyarakat adat seharusnya menjadi alternatif penyelesaian konflik yang terus terjadi.

Namun jika kebijakan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat selama ini hanya berbentuk Surat Keputusan atau surat perjanjian kerjasama, maka hal itu akan membuat situasi semakin rumit, karena kebijakan pengakuan yang hanya berbentuk surat keputusan tidak menjamin pengakuan terhadap masyarakat adat secara hukum jika konstitusi diatasnya belum sepenuhnya mengakui dan mengatur secara spesifik keberadaan hak-hak masyarakat adat.

Kenapa Perlu Mengesahkan RUU Masyarakat Adat?

Problem pengakuan masyarakat adat harus segera ditindak-lanjuti, sebab jika pemerintah melulu mengabaikan konflik yang terjadi akibat terjebak pada logika pragmatis dalam mengeluarkan undang-undang pengakuan masyarakat adat, situasi konflik yang tak kunjung selesai ini pun dapat menghambat pembangunan dan bahkan berujung pada kerugian pendapatan negara akibat kegiatan produksi dan investasi yang terhambat dengan konflik.

Sebagai contoh, salah satu yang mendorong terjadinya moratorium izin sawit dan tambang karena konflik, ditemukan salah satu yang memperlambat pembangunan infrastruktur adalah ketidakpastian hak wilayah, sehingga menimbulkan ketidakpastian proses.

Undang-undang itu pula yang akan mengatur pendekatan nomenklatur dengan perspektif sosio-antropologis masyarakat adat guna memahami struktur pranata adat yang tentunya berbeda-beda. Sebagai contoh struktur hak asal-usul di Minangkabau, yang kita pahami memiliki tingkatan yang dimulai dari kaum, suku dan paling tinggi adalah nagari. Tiap susunan memiliki tanah ulayat masing-masing yang disebut dengan sako dan pusako. Hal ini yang tak ada pada peraturan sekarang, kebanyakan pemerintah menyeragamkan nomenklatur yang mengatur pengakuan hak masyarakat adat, sehingga mengenyampingkan hukum adat yang berlaku.

Hal ini penting disegerakan untuk melaksanakan mandat perlindungan negara terhadap masyarakat adat, sisi lain sudah saatnya pemerintah berjalan beriringan dengan masyarakat adat. Itu kenapa RUU Masyarakat adat yang hari ini sedang di dorong oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) perlu segera disahkan, karena dalam hal lain dapat menjadi alternatif guna membuka gerbang perdamaian antara negara dan masyarakat adat.

Yayan Hidayat
Yayan Hidayat
Yayan Hidayat Peneliti di Central Information, Journal and Forum Development Universitas Brawijaya
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.