Pada tahun 1959, dilansir dari Trompet Masjarakat, program acara lagu-lagu barat dihapuskan penyiarannya dari RRI. Hal tersebut bertujuan untuk menghindarkan kerusuhan, karena banyak anak muda pada masa itu keranjingan menari dalam irama lagu barat hingga membuat rusuh. Selain itu, penghapusan tersebut bertujuan agar terpeliharanya kebudayaan Indonesia.
Sementara belum lama ini, Bruno Mars membicarakan Indonesia. Bukan untuk mempromosikan konser. Namun, melalui cuitannya di twitter, ia memberikan sikap terhadap beberapa lagunya yang dibatasi pemutarannya oleh Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat. Salah satu cuitannya adalah untuk menegaskan bahwa ia bukan orang cabul. Ia pun sampai mencolek Ed Sheeran, dan menyalahkan Ed atas penciptaan lagu “Shape of You” yang juga mendapatkan pembatasan pemutaran.
Lagu “Versace On The Floor” dan “That’s What I Like” milik Bruno Mars, menjadi dua dari sekian lagu barat lainnya yang mendapatkan ruang terbatas. Hanya boleh disiarkan ataupun ditayangkan pada pukul 22.00-03.00 WIB. Penyebabnya adalah kekhawatiran KPID Jawa Barat, akan menurunnya moralitas anak-anak jika lagu tersebut beredar secara masif. Karena lirik lagunya bermakna ‘dewasa’, berunsur cabul dan mengesankan aktivitas seks
Dalam persoalan membatasi pemutaran lagu, pemerintah terkesan setengah hati dalam menerapkannya. Pasalnya, pembatasan pemutaran lagu tidak lantas membuat masyarakat terbatas pula mengakses lagu-lagu tersebut. Melalui internet, akses terhadap lagu “Versace On The Floor” dan “That’s What I Like’ maupun lagu lain yang dibatasi oleh KPID Jawa Barat, masih bisa dengan mudah dinikmati.
Pencegahan memang sejatinya dilakukan sejak dini. Bahkan terhadap lagu barat bernuansa ‘dewasa’. Namun, apakah tepat membatasi sebuah karya milik orang lain, ketika beberapa karya di negara sendiri pun, tidak ada bedanya dengan lagu-lagu barat yang dibatasi itu?
Seperti misalnya adalah lagu “Cinta Satu Malam” yang masih sering didendangkan, begitu pula “1 Jam Saja” yang biasanya dibawakan dalam acara kontes dangdut. Mereka lebih terasa dekat bagi masyarakat Indonesia. Bahkan secara langsung, liriknya lebih mudah dipahami daripada lagu barat dengan bahasa inggrisnya.
Selain lagu, beberapa tayangan televisi di Indonesia yang memiliki isi yang tidak mendidik, masih melenggang bebas. Secara eksplisit, tayangan-tayangan tersebut bisa menjadi salah satu faktor menurunnya moralitas bangsa.
Di beberapa stasiun televisi misalnya, mereka lebih sering menayangkan sebuah reality show yang sebelumnya telah diatur, ditambah bumbu dramatis yang ditekankan untuk menarik emosi penonton. Begitupula dengan program acara bertajuk talkshow, tetapi mengumbar permasalahan pribadi di depan layar kaca. Ribut-ribut terkait problematika cinta. Ditayangkan di sore hari, disaat sebagian besar orang terutama anak-anak sedang bersantai sembari menonton televisi.
Minimnya Konten Lagu dan Tayangan Anak-Anak
Hasil kajian dari Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) menyatakan bahwa pada tahun 2009, jumlah program acara anak adalah 68. Sementara di tahun 2014, menurun menjadi 48 program. Terbaru, pada Mei 2018, jumlah acara anak hanya mencapai 40 program. Hal tersebut menunjukkan penurunan program acara anak di televisi yang sangat signifikan.
Sementara pada lagu anak-anak, di era tahun 1990-an, anak-anak masih bisa memiliki idola seumuran mereka. Seperti Chiquita Meidi, Trio Kwek-Kwek, Tasya Kamila hingga Joshua Suherman. Para pencipta lagu pun produktif menciptakan lagu anak-anak, diantaranya adala Pak Kasur dan Bu Sur, Ibu Soed, A.T Mahmud hingga Papa T. Bob. Lagu-lagu anak pada saat itu beragam, digemari oleh banyak orang dan disebarkan baik di televisi maupun radio.
Namun, seiring berjalannya waktu, lagu-lagu anak malah semakin tenggelam. Nilai komersialnya tidak cukup menguntungkan. Hingga pada akhirnya, lagu bertema percintaan yang berhasil menguasai pasar. Begitupula dengan tayangan televisi, yang lebih banyak melanggengkan tema cinta untuk setiap tayangan FTV ataupun sinetron yang disiarkannya.
Padahal, kita tahu bahwa banyak stasiun televisi yang hampir setiap tahun menggelar konser pencarian bakat penyanyi cilik. Antara lain adalah Indonesia Idol Junior, Idola Cilik dan The Voice Kids Indonesia. Secara teknis, kemampuan mereka pun tidak jauh berbeda dengan penyanyi-penyanyi cilik abadi Indonesia—seperti Joshua dan Tasya Kamila. Namun, output dalam kontes tersebut kemudian hanya sebatas apresiasi penyerahan hadiah kemenangan. Lalu setelahnya, beberapa dari mereka menghilang. Kembali muncul setelah cukup usia untuk membawakan lagu-lagu popular yang menyasar pada pasar orang dewasa.
Pada akhirnya, anak-anak tidak memiliki pilihan. Mereka terbawa arus, diterpa oleh lagu dan tayangan yang tidak sesuai usianya. Hasilnya? Banyak dari anak-anak jaman sekarang, kehilangan tumpuan. Mengadaptasi apa yang mereka lihat, seperti pacaran. Melakukannya sejak duduk di bangku sekolah dasar. Hingga tak jarang, mengumbar kemesraan di media sosial. Hingga membuat kita yang dewasa, menggelengkan kepala.
Penciptaan Ruang Anak di Media
Membatasi lagu berkonten ‘dewasa’ tidak cukup ampuh untuk menekan turunnya moralitas seseorang. Apalagi jika lagu tersebut menggunakan bahasa inggris. Tidak memiliki dampak yang cukup signifikan, selain membuat sensasi besar terhadap sebuah kebijakan.
Membatasi apa yang ada hanya akan memunculkan rasa penasaran baru. Bukannya terhindar, anak-anak yang berusaha dilindungi malah mencari rasa penasarannya sendiri terhadap mengapa ada lagu-lagu yang dibatasi. Melalui informasi yang saat ini sangat mudah diakses, dalam sekali tekan, anak-anak bisa mendapatkan informasi yang ingin mereka ketahui.
Anak-anak tidak hanya butuh untuk dilindungi dari konten ‘dewasa’ sebelum waktunya, tetapi juga diberikan ruang untuk menikmati konten sesuai dengan usianya. Ruang tersebut, perlu dukungan pemerintah dalam membuat regulasinya. Agar bisa diterapkan secara tepat guna. Sesuai sasaran dan bisa dinikmati bersama.
Salah satunya adalah menggenjot penayangan ataupun penyiaran yang ramah bagi anak-anak. Seperti misalnya, serial kartun Upin & Ipin asal Malaysia ditayangkan setiap hari. Mulai dari pagi, siang, hingga sore hari. Sedangkan dari dalam negeri, tayangan Laptop Si Unyil menjadi tayangan ramah anak yang eksistensinya masih bertahan hingga saat ini.
Sementara lagu anak-anak, masih susah sekali untuk mendapatkan ruang di media. Bahkan, dalam ajang pencarian bakat anak pun, eksplorasi terhadap lagu-lagu anak tidak dimanfaatkan secara optimal. Sebaliknya, mereka lebih cenderung memilih lagu-lagu berbahasa Inggris ataupun lagu-lagu Indonesia populer untuk ditampilkan.
Hingga pada akhirnya, anak-anak memilih mengkonsumsi lagu-lagu yang biasa mereka dengarkan. Seperti lagu-lagu populer barat maupun Indonesia yang biasanya dibawakan oleh orang dewasa. Sekali lagi saya katakan, bahwa anak-anak tidak memiliki pilihan.
Penciptaan ruang harus bebarengan dengan apresiasi. Tanpa adanya apresiasi, ruang tersebut kemudian hanya akan kembali tenggelam dan terlupakan. Meski tidak memiliki keuntungan secara komersial yang besar, para pegiat lagu anak saat ini perlu di dukung dengan segala upaya agar terus bisa berkreasi.