Rabu, April 24, 2024

Ronaldo, Penjual KW, dan Cuan

Michael HB Raditya
Michael HB Raditya
Michael HB Raditya, peneliti, pengamat seni pertunjukan, penulis partikelir yang lulus dari Antropologi Budaya UGM pada strata satu, serta Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM pada strata dua. Sejak tahun 2014 telah berkerja sebagai editor Jurnal Kajian Seni UGM. Sempat mengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta selama dua tahun. Turut aktif di pelbagai komunitas, seperti: REPERTOAR (co-founder), LARAS–Studies of Music in Society, dan SENREPITA. Turut mengeditori beberapa buku, di antaranya: Arts and Beyond Prosiding (2015), Jalan Tari Pak Sal (2016), Sal Murgiyanto: Hidup untuk Tari (2016), Daya Seni (2017), Prof. Dr. Mikcey Mouse dan Human Error: Percikan Kebijaksanaan (2017). Tahun 2017 ini ia tengah memfasilitasi program PASADATARI yang diselenggarakan oleh Pendhapa Art Space dengan hasil akhir karya tari. Aktif meneliti dan menulis untuk ranah seni pertunjukan, kritik, musik, tari, dan budaya yang tersebar di jurnal ilmiah, prosiding, bunga rampai, majalah, koran, zine, serta artikel online di pelbagai portal daring seni budaya. Tertarik dengan musik dangdut, tari kontemporer, dan kritik pertunjukan.

Setelah Manchester United menetapkan jadwal pra-musim 2022, saya segera membeli tiket pertandingan mereka. Saya menyaksikan pertandingan Man Utd besutan pelatih anyar, Ten Hag melawan Crystal Palace besutan Patrick Vieira, gelandang beken yang sempat bersinar di tim gudang peluru, Arsenal. Saya menyaksikannya demi mendapatkan atmosfer dua klub liga Inggris ini saling beradu serang.

Manchester United pada musim 2021-2022 bermain kurang memuaskan, tetapi selama GOAT Cristiano Ronaldo berada di klub, saya tiada soal. Hal itu lah yang membuat saya membeli tiket pertandingan Manchester United dan Crystal Palace tiga bulan lalu. Hanya untuk menyaksikan legenda hidup Cristiano Ronaldo beradu akting ketangkasan kaki sembari meneriakkan “Siuuuuuu” setelah mencetak gol.

Namun naas, semuanya berantakan, satu minggu sebelum pertandingan Ronaldo memutuskan tidak ikut bermain pada pertandingan pra-musim. Beredar kabar Ia tengah berlibur bersama keluarga, sembari isu transfer ke klub yang bermain di UCL semakin memanas. Alhasil, mau tak mau saya harus menyaksikan Manchester United tanpanya.

Lantas, apa yang saya dapat nikmati dari pertandingan itu? Tentu Manchester United keluar sebagai pemenang dengan unggul dua gol. Namun, lucunya, saya justru lebih terkesan dengan saling-sengkarut yang terjadi di luar stadion. Di mana penggemar yang berebut membeli pernak-pernik demi menyaksikan tim kesayangan dan orang yang menjualnya.

Membeli Baju KW

Selain kualitas, hal yang tidak kalah menarik adalah dampak popularitasnya. Mengerikan! Manchester United mendapat pembelian jersey atas nama Ronaldo dengan beberapa rekor, seperti pembelian tercepat di sejarah Premier League dan menghasilkan $45 juta hanya dengan waktu 12 jam. Ia membuat perekonomian Manchester United semakin baik. Hal ini membuat saya percaya jika, tidak hanya nama klub, tetapi nama perseorangan juga bisa menjadi kekuatan besar. Singkat kata, efek Ronaldo di musim lalu menjadi angin segar seluruh lini Manchester United; permainan, merchandise, ataupun perhatian publik.

Hal ini turut berimbas pada hal yang lebih subtil dan dekat, Pada 17 Juli 2022, saya memutuskan untuk membeli pernak pernik Manchester United. Saya perlu membelinya untuk pertandingan yang akan saya saksikan pada 19 Juli 2022 di Melbourne Cricket Ground (MCG) pada pukul 20.10 waktu Victoria, Australia. Tidak afdal rasanya tidak mengenakan sesuatu dengan logo setan merah. Seperti pramuka tanpa seragam, terasing.

Pada website resmi Manchester United, Jersey official dibanderol AUD 140 atau setara dengan Rp. 1.451.261 sekian. Alih-alih membelinya, saya justru lebih memilih jalan tengah untuk memilikinya, yakni pergi ke pasar. Mau di mana pun berada, pasar akan menyediakan sesuatu yang dibutuhkan dengan harga miring. Alhasil Saya menaiki tram untuk pergi ke Queen Victoria Market. Di sana dijual pelbagai hal, mulai dari groceries, hingga jersey sepak bola. Jangan tanyakan apakah barang itu asli atau tidak, tentu barang yang diperjual-belikan di Queen Victoria Market adalah barang-barang yang bersaing dengan produk asli, alias barang KW.

Setibanya di depan Queen Victoria Market, saya segera mencari penjual pernak-pernik sepak bola. Berbadan tegap, lelaki berambut pirang menawari saya barang dagangannya. Memang pernak-pernik Setan Merah mendominasi tokonya. Dari harga, sudah barang tentu berbeda. Untuk satu jersey Manchester United dibanderol AUD 35 atau setara dengan Rp. 362.729 sekian. Harganya 4 kali di bawah harga toko resmi klub setan merah. Namun hal yang lebih menarik adalah jersey dengan nama dan nomor punggung.

Alih-alih tersedia secara lengkap, hanya ada satu nama yang terpajang dan diperjual-belikan, Ronaldo dengan nomor punggung tujuh. Harganya pun lebih tinggi 10 dolar dari harga jersey, AUD 45. Tentu jersey Ronaldo lebih menarik hati untuk dimiliki, hal itu terbukti dengan banyaknya orang yang membelinya. Secara harga pun, tentu AUD 45 bukan menjadi soal ketimbang jersey official bernomor punggung tujuh yang dibanderol AUD 222. Lima kali di bawah harga asli.

Hal yang membuat saya tertarik adalah soal keuntungan dari penjualan yang tidak bermuara ke Manchester United ataupun Cristiano Ronaldo, tetapi ke lelaki penjual baju di Queen Victoria Market dan lingkar bisnisnya. Tentu ihwal hak cipta menjadi cara pandang yang siap memereteli hal ini. Namun saya jadi teringat hal yang lain, karena hal ini persis dengan bagaimana persebaran dangdut koplo dengan produk bajakan yang dikutuk produsen dan industri musik Jakarta. Padahal barang bajakan yang diperjual-belikan justru lebih berdampak langsung pada popularitas Orkes Melayu di sekitar Pantura.

Penjual KW ataupun distributor VCD dan DVD bajakan dangdut koplo tentu dapat dituduh sebagai “pencuri” dari mekanisme terpusat kapitalisme, entah dari industri textile atau industri musik. Namun ia juga dapat dianggap sebagai peretas dominasi tunggal dari alur kapitalisme yang bermuara pada produsen. Karena kehadiran penjual KW bisa diartikan kepada dua hal, pertama, ia sebagai hilir. Di mana ia adalah agen distributor dari produsen yang jauh lebih kecil dari Nike, Adidas, ataupun merek sejenis. Kedua, ia adalah hulu. Di mana ia adalah aktor utama dari terciptanya produksi tersebut.

Entah menjadi hulu dan hilir, saya tetap menganggap mereka adalah peretas dominasi tunggal dari perusahaan besar. Hal ini perlu dilakukan, karena keuntungan perusahaan besar akan berkutat pada orang-orang kelas atas dan selingkarnya saja, mereka yang menjadi buruh tetap diupah sesuai UMR, atau bahkan kurang. Sementara usaha “tandingan” yang jelas lebih kecil, memiliki kemungkinan untuk membuat keuntungannya terbagi dan berputar di sekitarnya.

Hal ini saya saksikan di Pasar Legi, Jombang, di mana agen yang terlibat dari penjual VCD-DVD bajakan dilakukan orang di sekitar pasar. Keuntungan yang mereka dapatkan pun langsung ke tangan mereka, tidak perlu membagi hasil kepada industri yang lebih besar di Jakarta atau Surabaya. Hal itu membuat perekonomian lokal mendapat imbas langsung dari perputarannya, baik secara finansial ataupun relasi sosial di sekeliling. Alhasil mereka saling tergenapi tidak hanya ihwal materi tetapi soal jaringan.

Tentang apakah toko resmi dirugikan? Jawabannya tentu iya jika semua diukur secara materi, tetapi jika melihat bagaimana modal lain seperti sosial dan kultural, saya rasa Manchester United dan Ronaldo justru yang berhutang kepada penjual KW. Tidak hanya itu, kita bisa sama-sama memecah dominasi kapitalisme terpusat menjadi bercabang. Tidak perlu dipikirkan soal apakah membeli barang KW itu keliru atau sebaliknya, karena yang niscaya di dunia adalah hierarki kelas.

Sebentar. Wah, kok terlalu serius! Mari kita kembali ke pertandingan. Lantas, bagaimana nasib Manchester United ke depan? Tentu akan sangat menyenangkan jika Ronaldo menetap hingga musim depan, sambil kita semua berharap agar “Siuuuuu” tidak berubah menjadi “Suuuuwiii” (bahasa Jawa yang artinya lama) dalam mendapatkan posisi teratas dan meraih gelar. Semoga!

Michael HB Raditya
Michael HB Raditya
Michael HB Raditya, peneliti, pengamat seni pertunjukan, penulis partikelir yang lulus dari Antropologi Budaya UGM pada strata satu, serta Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM pada strata dua. Sejak tahun 2014 telah berkerja sebagai editor Jurnal Kajian Seni UGM. Sempat mengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta selama dua tahun. Turut aktif di pelbagai komunitas, seperti: REPERTOAR (co-founder), LARAS–Studies of Music in Society, dan SENREPITA. Turut mengeditori beberapa buku, di antaranya: Arts and Beyond Prosiding (2015), Jalan Tari Pak Sal (2016), Sal Murgiyanto: Hidup untuk Tari (2016), Daya Seni (2017), Prof. Dr. Mikcey Mouse dan Human Error: Percikan Kebijaksanaan (2017). Tahun 2017 ini ia tengah memfasilitasi program PASADATARI yang diselenggarakan oleh Pendhapa Art Space dengan hasil akhir karya tari. Aktif meneliti dan menulis untuk ranah seni pertunjukan, kritik, musik, tari, dan budaya yang tersebar di jurnal ilmiah, prosiding, bunga rampai, majalah, koran, zine, serta artikel online di pelbagai portal daring seni budaya. Tertarik dengan musik dangdut, tari kontemporer, dan kritik pertunjukan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.