Jumat, Oktober 4, 2024

Romy dan Masa Depan Kepemimpinan Politik

Teddy Firman Supardi
Teddy Firman Supardi
Direktur Eksekutif di Depublica Institute (Center for Local Development Research and Studies) dan Public Policy Consultant Associate di Visi Strategic Consulting

Ditangkapnya Muhammad Romahurmuzy, yang disapa Romy dalam operasi tangkap tangan oleh KPK atas dugaan jual beli jabatan di Kementerian Agama—menambah lagi kesimpulan bahwa hampir praktik tindakan korup dekat dengan Partai Politik—mungkin jika boleh dibilang: memang bagian dari budaya para pimpinan Partai Politik?

Dan lebih tidak bermoralnya lagi, Romy merupakan Ketua Umum PPP—Partai Islam yang memiliki sejarah panjang dalam dinamika kepartaian di Indonesia. Setelah Ketum PPP sebelumnya, Suryadharma Ali yang juga Menteri Agama, harus berurusan dengan KPK juga, karena terlibat dalam Korupsi Al-Qur’an dan Dana Haji.

Kedua kasus ini memang sama, tetapi rasa prihatin kita bukan saja pada personal saja, melainkan masa depan kepemimpinan politik kita, terutama di Partai Politik.

Romy, bukan satu-satunya ketum partai politik yang harus berurusan dengan korupsi, ada 4 orang lain Ketum Partai Politik yang juga terlibat dalam lingkaran setan korupsi itu. Sebut saja Anas Urbaningrum, Mantan Ketua Umum Partai Demokrat ini merupakan politisi muda yang memiliki jejak karir cemerlang dalam sejarah perpolitik di Indonesia.

Begitu juga Suryadharma Ali (PPP) dan Luthfi Hassan Ishaaq (PKS), dan yang paling anyar terakhir Setya Novanto (Golkar), yang terkenal licin dalam dugaan kasus hukum yang menyeretnya.

Anomali dekatnya praktik korupsi dengan Partai Politik bukan hanya sekedar masalah personal pemimpin Partai Politik semata. Terbukanya sistem proporsional dalam demokrasi seperti ini, hilangnya demokratisasi internal politik, dan menguatnya praktik transaksional politik menjadi tantangan baru dalam penguatan demokratisasi di Indonesia.

Partai Politik yang menjadi tumpuan utama dalam regenerasi kepemimpinan politik di Indonesia—disisi lain juga menyimpan tabir yang tidak ada habisnya. Berkembangnya ruang-ruang gelap transaksional yang seringkali melibatkan politisi di Partai Politik, dan menjadikan ancaman bahwa menyerahkan sepenuhnya proses kepemimpinan nasional dengan sistem kepemimpinan politik seperti ini, juga akan membawa kita pada cerita-cerita yang tidak beranjak dari perbaikan kepemimpinan politik kita.

Politik Biaya Mahal

Mahalnya biaya politik sudah menjadi pembahasan dalam kerangka memperbaiki kebijakan pendanaan politik terkhusus Partai Politik. Apa yang diinginkan dari kerangka perbaikan pendanaan Partai Politik bukan hanya bertujuan memperkecil kesempatan Partai Politik untuk mengumpulkan pendanaan dari sumber yang tidak sah, tetapi secara moral dalam jangka panjang akan meningkatkan demokratisasi internal partai politik—yang meliputi proses rektrutmen politik, integritas pendanaan, dan juga perbaikan kelembagaan sebagai kendaraan politik rakyat dalam menuju lokomotif demokrasi yang lebih baik.

Namun dalam proses praktiknya, meskipun pembiayaan politik yang diberikan oleh negara tidak mampu menutupi semua pengeluaran keuangan partai politik. Disisi lain, masalah moralitas kepemipinan politik yang dihasilkan dari proses organisasi Partai Politik juga mengalami masalah yang cukup serius.

Entah memang sudah menjadi hukum dalam tubuh Partai Politik—ukuran-ukuran transaksional dalam Partai Politik memang tidak bisa dipisahkan sebagai bagian dari proses politik. Data dari KPK menunjukkan selama kurun Pemilihan langsung dilaksanakan tahun 2004-2016, tren terlibatnya politisi di Partai Politik, baik sebagai Anggota DPR/DPRD, Gubernur, Bupati, dan Walikota (yang mayoritas berasal dari Partai Politik), menunjukkan angka yang sangat memprihatikan.

Tahun 2011 sebanyak 5 orang Anggota DPR/DPRD terlibat, meningkat sebanyak 23 pada tahun 2016, dan dalam kurun waktu 2004-2006 ada 124 orang yang terlibat. Data ini belum menunjukkan data Gubernur, Bupati, dan Walikota yang terlibat dalam praktik lingkaran korupsi ini.

Permasalahan yang muncul bukan hanya biaya politik mahal yang berlaku di luar lingkaran partai politik seperti momen Pemilu. Pada internal Partai Politik juga proses ini menjadi bagian yang senyap-senyap tetapi menjadi rahasia umum setiap proses-proses pergantian kepemipinan di internal Partai Politik.

Tentu saja, untuk mengurai permasalahan ini, tidak hanya cukup perbaikan dari sisi internal partai politik, tetapi juga harus melalui peningkatan proses perwakilan politik yang baik yang bertujuan agar Partai Politik dijaga dan diawasi oleh para pemilih yang merasa bahwa mereka bukan hanya objek politik, tetapi bagian dari maju dan mundurnya proses politik pada Partai Politik yang mereka pilih.

Cengkeraman Oligarki Politik

Penjelasan lain dalam tantangan mewujudkan kepemimpinan politik Indonesia yang kuat adalah pengaruh orang-orang kuat yang tak terlihat dan yang terlihat yang sampai sekarang masih memiliki kepentingan menjadikan Partai Politik sebagai kendaraan untuk mempertahankan pengaruh dan sumber daya kekayaan.

Jeffry Winters dalam bukunya Oligarchy menjelaskan bahwa kepentingan utama dari elit-elit oligarki adalah membuat jejaring politik pengaman yang baik dalam rangka meningkatkan pertahanan kekayaan sebagai sumber daya utama dari keberlangsungan mereka hidup dalam sistem politik yang ada.

Pada zaman orde baru, korporatisme negara dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik memiliki induk dalam kepemimpinan otoriter Presiden Soeharto. Pasca reformasi, dengan kebebasan demokrasi seperti ini, pengaruh-pengaruh elit oligarki lama juga bukan saja hilang begitu saja, melainkan melakukan penyesuaian bahkan terlibat dalam lokalisasi kekuatan politik dan membentuk banyak pemerintah daerah yang dipimpin oleh dinasti politik.

Oligarki politik dalam pengaruhnya juga menyesuaikan dengan iklim politik yang ada. Tetapi, dalam praktik penguatan kepempinan politik, terutama di Partai Politik. Pengaruh dari elit oligarki politik lama juga akan menghambat proses demokratisasi Partai Politik seperti apa yang kita harapkan.

Hampir semua Partai Politik besar merupakan wujud dari eksistensi kekuatan politik lama yang sampai sekarang masih bisa bertahan dalam sistem politik yang sudah banyak berubah. Namun, disisi lain, kesempatan untuk orang-orang yang baik dan berintegritas tentu saja terhalangi oleh kekuatan politik yang mengakar kuat didalam internal Partai Politik itu sendiri.

Masa depan kepemimpinan politik di Indonesia seharunya sudah masuk dalam generasi kepemimpinan politik baru. Kepemimpinan politik baru mensyaratkan dukungan personalitas kepemimpinan di Partai Politik dan saluran politik lainnya. Dalam hal ini, hadirnya model personalitas seperti Jokowi misalnya, meskipun hadir dalam kompromistis elit-elit politik lama.

Namun, dalam tradisi politik Indonesia pasca reformasi, kepemimpinan sipil harus diperkuat. Maka kepemimpinan politik baru bisa didapat ketika jejaring generasi kepemimpinan politik baru bisa keluar dari praktik-praktik kepemimpinan politik yang lama.

Teddy Firman Supardi
Teddy Firman Supardi
Direktur Eksekutif di Depublica Institute (Center for Local Development Research and Studies) dan Public Policy Consultant Associate di Visi Strategic Consulting
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.