Siapa yang tidak kenal Rocky Gerung? Mantan dosen Universitas Indonesia (UI) sekaligus pendiri SETARA Institute dan peneliti di Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D), akhir-akhir ini namanya begitu mencuat di seantero Nusantara.
Sosok yang aktif menjadi kritikus sejati rezim pemerintahan Jokowi ini seakan-akan menjadi idola baru kawula muda karena kelincahannya dalam berpikir logis sekaligus lihai memainkan logika.
Tak jarang argumen yang sering dilontarkannya dapat memukul telak argumen lawan bicaranya yang banyak mengandung logical fallacy (sesat/kerancuan logika). Yaitu Indonesia Lawyers Club (ILC), acara yang dipandu oleh host senior TV One, Karni Ilyas, yang menjadi gerbang pembuka ketenaran Rocky Gerung dalam ranah publik.
Argumentasi logis yang sering diramunya dengan analogi-filosofis ditambah dengan beberapa contoh satire jenaka dan sedikit sarkasme, membuat siapapun selalu antusias mendengarkannya.
Decak kagum timbul dari orang yang setuju dengan argumennya, pun rasa jengkel bahkan marah juga tidak jarang muncul dari lawan bicaranya yang merasa dirugikan atas statement yang dilontarkan Rocky. Banyak istilah-istilah yang menjadi ciri khas dalam ceramah-ceramah Rocky seperi “Dungu”, “Akal Sehat”, “IQ 200 sekolam”, “plangak-plongok” dan istilah lain yang biasa digunakannya untuk menyindir rezim Jokowi.
Kejeniusan Rocky menarik beberapa instansi-instansi pendidikan untuk mengundangnya sebagai pembicara. Di lingkup Muhammadiyah, Rocky sudah berceramah di lebih dari 10 PTM (Perguruan Tinggi Muhammadiyah), hal tersebut diungkapkannya ketika menjadi pembicara di Universitas Muhammadiyah Surabaya, Selasa 29 Januari 2019. (PWMU.CO)
Banyak sekali aspek yang dibahas dalam berbagai ceramah Rocky, namun satu aspek yang menarik penulis untuk membahasnya, yaitu ajaran Rocky berupa upaya metodis untuk merawat akal sehat.
“Demi Kesehatan Intelektual (akal sehat) kita harus menggeleng pada kekuasaan” ujar Rocky dalam ceramahnya di Universitas Muhammadiyah Surabaya.
“Persis, menggeleng adalah metode Universitas, kita menggeleng terhadap kuliah dari dosen supaya terjadi dialog. Akal sehat memproduksi dialog.”
“kalau Anda manggut-manggut, misal ada dosen/profesor menerangkan sesuatu, kemudian mahasiswanya manggut-manggut, padahal dosennya lagi berbohong” imbuhnya.
Di ILC, Rocky juga sering mengungkapkan bahwasannya tradisi demokrasi itu menggeleng, jika mengangguk itu termasuk tradisi feodal.
Disini Rocky Gerung berupaya untuk mengajarkan “kesadaran kritis” kepada para audiensnya. Pada taraf kesadaran kritis, individu mampu melakukan analisis terhadap suatu permasalahan secara holistis dan makro, sehingga dapat menguraikan sebab-akibat dari suatu permasalahan. Sebagai contoh, dalam suasana perkuliahan.
Jika terdapat beberapa mahasiswa yang tidak paham terhadap penjelasan dosen, sang mahasiswa yang memiliki kesadaran kritis tidak serta merta menyalahkan dirinya karena lambat dalam memahami mata kuliah. Namun melihat aspek-aspek makro yang saling berkaitan dari proses belajar mengajar tersebut.
Seperti metode pengajaran dosen yang lemah, buruknya sylabus mata kuliah, dan kacau balau-nya kurikulum pembelajaran. Sikap tersebut menghasilkan konklusi sebab-musabab yang komprehensif kenapa sang mahasiswa tersebut susah memahami mata kuliah tertentu.
Namun per hari ini, banyak sekali para mahasiswa yang masih memiliki “kesadaran naif”. Menurut Paulo Freire, kesadaran naif ialah suatu kesadaran dimana individu yang memiliki kesadaran tersebut tidak dapat melihat permasalahan secara makro, sehingga tidak mampu untuk mengurai sebab-akibat dan keterkaitan antara permasalahan yang satu dengan yang lain.
Sebagai contoh yaitu ketika seseorang dihadapkan dengan fenomena globalisasi dan kemiskinan, maka kemiskinan itu terjadi dikarenakan sikap mental, budaya ataupun teologi yang melingkupi diri dan masyarakat. Kesadaran naif menilai bahwasanya kemiskinan tidak memiliki keterkaitan atau korelasi dengan masalah globalisasi.
Menyalahkan dan membodoh-bodohkan diri sendiri secara sepihak karena tertimpa kemiskinan. Tidak dapat melihat aspek korelasi antara sistem neo-liberlisme globalisasi yang dapat menyebabkan kemiskinan dimana-mana. Seperti halnya kasus mahasiswa tadi, jika dia serta merta menyalahkan dirinya secara sepihak karena lambat memahami mata kuliah tertentu dan tidak melihat aspek lain yang mempengaruhi, maka ia masih dalam taraf “kesadaran naif”.
“Menggeleng”, seperti yang dianjurkan Rocky untuk merawat akal sehat, mengarahkan seseorang memiliki kesadaran kritis sebagai kail peraih pembebasan dari penindasan. Sehingga menjadi manusia seutuhnya yang merdeka tanpa penindasan, sebagaimana quo vadis demokrasi.
Mahasiswa di kampus menggelengkan kepala kepada dosen sebagai upaya menciptakan dialektika dan megoreksi kurangnya wawasan sang dosen. Disamping itu, agar sang dosen tidak hanya menindas mahasiswa lewat pemberian materi-materi perkuliahan yang bejibun, namun tidak terdapat dialog dan dialektika di dalamnya. Maka pemahaman prematur akan menjadi implikasinya yang nyata.
Selain itu, “Kesadaran Kritis” ini menjadi bom yang ampuh untuk meledakan bangunan-bangunan “kesadaran magis” seseorang. Kesadaran magis menempati posisi yang lebih buruk daripada kesadaran naif. Kesadaran magis, menurut Mansour Fakih dalam karyanya Islam Sebagai Alternatif, ialah kesadaran untuk menganalisa permasalahan menggunakan pendekatan yang bersifat metafisika dan abstrak (takhayyul), dimana ia buta untuk melihat hubungan antara satu faktor dengan faktor yang lain.
Misalkan seorang mahasiswa mendapat IPK jelek setelah Ujian Akhir Semester, mahasiswa yang memiliki kesadaran magis meyakini bahwa IPK jelek tersebut pada hakekatnya merupakan ketentuan dan rencana Tuhan. Hanya Tuhan yang mengetahui tentang gambaran dan skenario dibalik buruknya nilai IPK tersebut. Dan hanya Tuhan yang tahu apa hikmah dibalik ketentuan tersebut. Mereka beranggapan bahwa musibah buruknya IPK merupakan ujian keimanan seorang hamba.
Kesadaran magis yang tertanam dalam suatu individu, secara dogmatik menerima kebenaran tanpa adanya mekanisme untuk mengungkap maknanya. Tentu bentuk kesadaran seperti ini sangat kontra produktif bagi setiap individu. Segala kegagalan selalu dikaitkan dengan faktor magis sebagai kambing hitamnya. Tindakan korektif-evaluatif akan kesalahan dan keteledoran diri, nihil dilakukan.
Maka metode “menggeleng” yang diajarkan oleh Rocky sangat baik diterapkan untuk merawat akal sehat dan menumbuhkan kesadaran kritis pada setiap individu. Billahi fi sabilil haqq fastabiqul khairaat, wassalam.