Senin, Oktober 7, 2024

Rocky Gerung dan Krisis Pemikiran Kritis

Fially Fallderama
Fially Fallderama
Alumnus Lab-School of Democracy (LSoD) dan Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Jakarta

Belakangan ini blantika politik nasional Indonesia diramaikan dengan hadirnya Rokcy Gerung, seorang mantan pengajar filsafat di Universitas Indonesia dalam panggung politik popular. Sebelumnya Gerung lebih banyak menyampaikan pemikiran kritis terhadap politik nasional dalam ruang akademik non-populis.

Oleh sebab itu, sedikit orang yang mengetahuinya sebagai seorang pengajar filsafat, pengamat politik dan aktivis demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Gerung menjadi popular di kalangan masyarakat luas karena ungkapan-ungkapan pemikirannya yang kontroversial.

Menjadi kontroversial karena diksi-diksi yang disodorkan kepada meja publik adalah diksi-diksi filosofis yang tidak lazim dalam masyarakat. Salah satu diksi yang identik dengan dirinya adalah “fiksi” yang setahun lalu ia lontarkan dalam sebuah acara di stasiun televisi swasta yang berkaitan dengan pidato Prabowo tentang “2030 Indonesia Bubar.”

Walaupun lontaran itu sudah setahun yang lalu, tetapi diksi itu tetap memiliki daya yang kuat sampai dipermasalahkan kembali di ranah hukum tahun ini. Alhasil, Gerung menjadi topik percakapan di mana-mana dari mulai orang yang mengugatnya sampai kepada orang yang membelanya dengan dalil-dalil pemikiran.

Akhirnya, Gerung membantu mengembangkan budaya baca dan tanya dalam masyarakat Indonesia yang memiliki peringkat membaca yang rendah. Itu terlihat ketika publik bersemangat membicarakan definisi fiksi dari ragam sudut pandang. Untuk memberikan argumen yang kuat diperlukan rujukan bacaan yang sahih sebagai dasar argumen yang dilontarkan.

Paling tidak gara-gara Gerung orang terdorong untuk mengulik pengetahuan tentang fiksi dan kitab suci. Sekarang ia telah hijrah dari ruang kelas kepada ruang publik guna ikut menggerayangi demokrasi secara konkret.

Kita dapat melihat kegiatannya pasca-berhenti mengajar di UI, ia mulai mengajar di tempat umum seperti aula kampus, kantor partai, komunitas kritis, media massa bahkan sebuah desa. Ini menjadi sebuah tanda dan tanya bagi dinamika demokrasi Indonesia, karena percakapan kritis yang dilontarkan Gerung tidak sepenuhnya ditolak melainkan diterima juga. Kenyataan ini menimbulkan kecurigaan terhadap masyarakat, jangan-jangan masyarakat membutuhkan asupan diskursus politik yang kritis-analitis ketimbang teknis-kultis?

Kompas Masyarakat dalam Ruang Publik 

Dewasa ini kritik mengalami pendangkalan arti dan makna. Seringkali, kritik dituduh sebagai aktivitas penghinaan ataupun mencela kekuasaan yang sedang berlangsung. Dalam Catatan Seorang Demonstran, Soe Hok Djien mencatat pertanyaan di dalam hatinya sebagai sebuah renungan kala Soe Hok Gie meninggal muda di Gunung Semeru, apakah hidupnya sia-sia saja?

Pertanyaan itu terjawab ketika seorang teman Djien memesan peti mati di Malang. Tukang peti mati itu terkejut dan menangis ketika mengetahui bahwa yang meninggal adalah Soe Hok Gie yang suka menulis di Koran. Bagi dia, Gie adalah orang yang berani. Selain tukang peti mati, seorang pilot Angkatan Udara yang mengangkut jenazah Gie dengan Hercules juga menyangkan kepulangan Gie yang begitu belia. Dia senang membaca karangan-karangan Gie dalam Koran.

Alhasil, setelah kita melihat keresahan Djien atas kematian Gie yang terlalu muda kita paham bahwa apa yang dilakukan oleh Gie tidak sia-sia malah menjawab kebutuhan publik tentang pemikiran kritis terhadap negara.

Kita dapat melihat bahwa publik memiliki kesadaran sebagai warga negara namun tidak memiliki akses terhadap ruang-ruang percakapan kritis terhadap dinamika politik nasional. Mungkin publik sudah lelah dengan manipulasi yang dilakukan oleh para politisi sehingga membutuhkan asupan pemikiran kritis untuk menerobos narasi-narasi propaganda tanpa konsep politik yang jelas.

Oleh karena itu, mantan menteri pendidikan era Orde Baru yaitu Daoed Joesoef pernah mengatakan bahwa mahasiswa boleh berpolitik, tetapi berpolitik secara konseptual bukan hanya sekedar ikut arus massa. Dari Joesoef kita dapat memahami bahwa dinamika politik mesti dibarengi dengan semangat intelektual bukan hanya kecakapan bicara dan keyakinan ideologis semata.

Hari-hari ini kehidupan politik kita sedang diterkam oleh pendangkalan nalar sehingga membuat masyarakat cenderung gelisah dan bimbang. Alhasil, situasi ini membuat masyarakat pasif terhadap politik karena tak memiliki kompas penuntun di tengah belantara demokrasi. Kritisisme adalah kompas di tengah belantara demokrasi ini. Nyaris, tak mungkin di tengah arus informasi yang membludak dalam ruang publik kita menolak pemikiran kritis-analitis.

Karena, dibutuhkan intelektualitas yang baik dalam memilih dan menyerap setiap wacana yang mengalir deras dalam keseharian. Namun, realitas hari ini malah hendak mengikis kebiasaan kritik dalam masyarakat, karena kritik dianggap sebagai sebuah hinaan bahkan lecehan. Apalagi, jika kritik tanpa solusi adalah sebuah kebodohan bagi sebagian elit dalam media massa.

Beberapa minggu yang lalu, seorang pengajar sosiologi di sebuah universitas negeri bernama Robertus Robet ditangkap oleh aparat karena dituding melakukan penghinaan terhadap sebuah instansi negara. Padahal, Robet sedang menjalankan fungsi dan hak nya sebagai wargai negara yang berpartisipasi aktif dalam ruang publik. Robet hanya salah satu dari beberapa kasus tentang kebebasan berserikat yang dibatasi, tetapi ini menjadi tanda bagi realitas bahwa akhir-akhir ini pemikiran kritis telah menjadi krisis.

Kritis Menjadi Krisis dalam Masyarakat

Secara historis, Republik ini dari rahim kritisisme Bapak-Ibu bangsa Pra-indonesia sehingga perbedaan pemikiran kritis dan sudut pandang adalah sebuah kebiasaan bahkan keharusan agar negara ini tetap hidup kearah yang lebih baik lagi. Dari situ dapat dilihat bahwa berpikir kritis dalam politik adalah sebuah keniscayaan.

Kritisisme menjadi penting dalam kehidupan politik, karena ia menjumpakan yang rasional dengan yang sehari-hari agar tercipta sebuah tatanan masyarakat yang intelektual. Dengan demikian, perbedaan tidak menutup kemungkinan ruang-ruang sinergis guna menuju sebuah kehidupan demokrasi yang intelektual, karena adanya perjumpaan dari ragam lini untuk memajukan kehidupan masyarkat.

Oleh karena itu, pemikiran kritis tidak sedangkal yang sedang digaungkan hari-hari ini, tetapi ia adalah momen evaluatif-konstruktif agar negara tidak terjebak pada kekacauan dan kebodohan baru maupun lampau melainkan terus-menerus menciptakan sebuah tatanan masyarakat yang sesuai dengan Pancasila.***

Fially Fallderama
Fially Fallderama
Alumnus Lab-School of Democracy (LSoD) dan Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.