Sabtu, April 20, 2024

Riuh Macron: Solidaritas Keagamaan Buta dan Rasisme Sayap Kanan

Rachmad Ganta
Rachmad Ganta
Wartawan Lembaga Pers Mahasiswa Philosofis UNY dan Anggota Koperasi Pekerja Buku Jelata

Sikap Presiden Prancis yang dianggap sebagai “penghinaan agama islam”, tidak sesimpel orang resek yang lagi menebar islamofobia, seperti diberitakan oleh media arus utama. Ada satu kesalahpahaman yang demikian menyesatkan tentang persoalan ini. Bahwa masalah ini terlalu disimplifikasikan oleh solidaritas keagamaan yang nuansanya bukan hanya banal & membabi buta, namun juga menegasikan sisi kemanusiaan.

Figur-figur publik dunia termasuk Indonesia, juga gagap & jatuh dalam kesesatan yang lalai ini. Kesesatan tersebut pun diperkeruh oleh pernyataan politikus populis semacam Erdogan, plus dibumbui isu-isu bahwa masyarakat muslim di Prancis sedang mengalami hari-hari penuh diskriminasi.

Faktanya, bumbu isu tadi berbanding terbalik dengan berbagai kesaksian orang Indonesia di Prancis. Dari seorang mahasiswa Prancis yang baru saya hubungi beberapa hari ini, ia bersaksi sejatinya keadaan mereka baik-baik saja. Tak ada intimidasi seperti yang ramai disiarkan di sosmed yang tidak jelas. Masjid di Prancis cukup banyak, & tak ada yang menghalangi umat Islam melawatkan ibadah. Jadi apakah lagi-lagi ini sejenis Pallywood atau Hezbollywood?

Sebelumnya, perlu diketahui bahwa akhir-akhir ini sedang berkembang gerakan sayap kanan di Eropa, dari yang kanan tengah hingga kanan ekstrem. Apa isu yang mereka kampanyekan? Islamofobia, yang diberi suiran-suiran semangat anti imigran. Semakin rasis sang pemimpin, semakin anti imigran/pendatang si politisi tersebut, maka kian banyak pula pendukungnya, lebih populer pula dia.

Contoh yang paling ideal dari kelompok politisi ini adalah Donald Trump. Dengan cuapan-cuapan rasis, kini Trump diprediksi bakal kembali memenangkan Pemilu AS. Pandangan politik kanan ini seringkali disandingkan dengan gerakan neo-nazi & supremasi kulit putih.

Dalam letupan rasisme yang kian berkecamuk di Barat, hadirlah pemimpin sayap kiri yang lebih mudah menerima para imigran dari Afrika hingga Timur Tengah. Tak jarang, pendatang & imigran yang diterima berasal dari negara-negara dengan eskalasi konflik bersenjata yang memuncak & dikuasai fundamentalis seperti ISIS.

Bagi kelompok kanan, tentu ini dianggap sebagai ancaman tumbuhnya terorisme di Eropa. Namun, pemimpin kelompok kiri ini tidak menghiraukannya, justru malah meluruskan stigma bahwa Islam bukanlah agama teroris. Apa yang sering diidentifikasi sebagai fundamentalis dalam Islam, bagi kelompok kiri, itu hanyalah oknum. Kita mungkin kenal beberapa nama seperti Justin Tredue & Bernie Sanders, politisi-politisi yang dianggap cukup menghormati umat Islam.

Lantas di mana posisi Emmanuel Macron? Apakah ia merupakan bagian dari kelompok kanan-rasis seperti Trump & Rasmus Paludan (politisi Denmark pembakar Quran)? Nyatanya Emanuel Macron merupakan politisi sayap politik tengah yang lebih pro imigran.

Di pemilu sebelumnya Macron berhasil mengalahkan Le Pen, politisi sayap kanan yang memiliki agenda pelarangan hijab & nuansa sikap anti imigran. Terpilihnya Macron di Prancis justru karena pandangannya yang pro imigran & lebih ramah terhadap komunitas muslim di Prancis ketimbang Le Pen.

Awal dari semua keriuhan ini, bermula dari karikatur Nabi Muhammad yang dipertontonkan oleh seorang guru di Prancis, Sammuel Paty, di ruang kelasnya. Akhir dari kisah ini telah berujung pemenggalan kepala Paty oleh Abdoullakh Anzorov (seorang imigran). Babak selanjutnya dari konflik tersebut adalah penyerangan terhadap gereja di Prancis yang setidaknya menewaskan tiga orang, oleh Ibrahim Issaoui.

Oke, kita boleh tidak sepakat dengan tindakan Sammuel Paty. Namun, apakah berarti tindakan dari Anzorov tersebut bisa dibenarkan? Apakah kita bagian dari orang yang sepakat bahwa pembunuhan bisa dibenarkan lewat panji-panji perbedaan? Celakanya Anzorov dicitrakan heroik bak pahlawan oleh sejumlah kalangan. Apakah pembunuh pantas dianggap pahlawan? Dan bagaimana pembunuhan atas tiga orang yang tidak bersalah di gereja Prancis? Sejak kapan agama menjauhkan kita dari kemanusiaan?

Mungkin begitulah yang dipikirkan Macron, dibalik alasan dia bereaksi keras atas aksi Anzorov & menilainya sebagai upaya teroristik. Penting untuk mengetahui bahwa Prancis memiliki konsep masyarakat sendiri, yang disebut “Laicite”.

Di mana Laicite merupakan konsep masyarakat sekuler terdapat pemisahan tegas antara agama & negara serta kesetaraan semua umat beragama. Konsep ini pula berangkat dari trauma masa lalu tatkala agama mendominasi segalanya. Trauma ini dimanifestasikan dalam slogan Prancis: Kebebasan, Keadilan, & Persaudaraan, serta dikonkretkan dalam Undang-Undang Laicite.

Berangkat dari situ, penting untuk memahami bahwa Prancis merupakan negara yang memiliki obsesi terhadap kebebasan. Bahkan sampai di titik melegalkan produk kesenian yang menghina berbagai agama tanpa pandang bulu. Apabila ada yang merasa terluka, mereka dapat menyelesaikan perkara tersebut lewat mekanisme hukum, & bukan dengan penyelesaian gorok leher orang! Inilah yang menjadi alasan Macron untuk membela Paty, dengan segala konsekuensinya. Bagi Macron, membela Paty sama saja dengan berdiri bersama hak konstitusional warga & melindungi Laicite yang mereka anut.

Demikianlah, setidaknya penting untuk memahami secara utuh bahwa Prancis memiliki imajinasi sendiri akan konsep berbangsa. Dengan segala obsesi mereka terhadap kebebasan & kesetaraan. Maka jangan heran, tak ada larangan beragama di Prancis karena slogan kebebasannya.

Kita juga mesti mengerti bahwa problem terorisme bukan hanya terjadi di Timur Tengah saja, namun juga di Eropa termasuk di Prancis itu sendiri. Pun siapa yang tidak sepakat bahwa terorisme dalam kedok agama apa pun harus dilawan?

Bila kita lebih cermat, isi pidato Macron bukanlah menyerang Islam sebagai agama. Akan tetapi, dia menyebutkan dengan istilah “radikalisme islam” & “separatisme Islamis”. Ia pun menegaskan bahwa dia tak akan mengusir Islam, meskipun banyak kelompok yang menginginkannya. Silakan membaca teks pidatonya secara utuh.

Demikianlah melihat berbagai serangan terhadap Macron ini, bisa jadi angin segar bagi kelompok kanan-rasis seperti Trump, Rasmus, & Le Pen. Tentu ini malah menjadi ancaman terhadap kehidupan bertoleransi. Masih ingat Anders Breivik? Fundamentalis Kristen, yang bercita-cita mengusir seluruh umat muslim di seluruh Eropa & pandangannya yang anti imigran.

Dia bercita-cita mengobarkan perang salib, dengan kampanye “Knight of Templar 2083”. Setelah serangkaian pengeboman & penembakan di Norwegia oleh Breivik, berikut hari pandangan ekstrim kanan dengan nuansa supremasi kulit putih pun kian massif di Eropa. Penembakan masjid di New Zealand oleh Brenton Tarrant, juga merupakan ilham & warisan dari rasisme yang digaungkan Anders Brevik.

Dengan serangan teror yang terjadi di Prancis, bukan tidak mungkin ini akan memberikan alasan pembenaran dari para ekstrimis kanan untuk mengusir muslim di seluruh Eropa. Di mana berikut hari logika rasis-islamophobic ala Anders Brevik malah semakin laku di Eropa. Pada akhirnya jika kekerasan dibalas kekerasan, tak akan membuktikan siapa yang lebih benar.

Pada akhirnya tak ada yang bisa melegalkan pembunuhan atas dasar perbedaan. Saya adalah orang yang percaya bahwa agama akan selalu bersanding dengan kemanusiaan. Sekian, Ciao!

Rachmad Ganta
Rachmad Ganta
Wartawan Lembaga Pers Mahasiswa Philosofis UNY dan Anggota Koperasi Pekerja Buku Jelata
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.