Kamis, April 18, 2024

Ritus Ekonomi Ramadhan

rendypw
rendypw
Pengajar pada FISIP Universitas Airlangga

Sejak awal hingga pertengahan Ramadhan kali ini beredar materi kritik, peringatan sekaligus sindiran atas konsumtifisme di pesan instan maupun media sosial. Sebagian besarnya menitikberatkan untuk menjaga agar umat mawas diri dan tak tergiur pada hasrat konsumtif yang biasanya memuncak menjelang akhir Ramadhan.

Di sana juga dikritisi bahwa masyarakat Indonesia tak cukup kokoh dari bujukan diskon, lemah imannya untuk tetap hidup bersahaja, dan cenderung berfoya-foya selama Ramadhan.

Berkaca pada 2018, terjadi eskalasi transaksi hingga tiga kali lipat melalui fasilitas e-commerce (Shopback, 2019). Rerata belanja masyarakat pada Ramadan tahun lalu pun menanjak di angka Rp1,2 juta—meningkat 74% dibanding tahun sebelumnya. Angka ini membayangi proyeksi tahun 2019 yang diperkirakan konsisten dan bahkan akan melampaui capaian tahun sebelumnya.

Dengan latar data semacam itu, anjuran dan pesan berantai yang sinis atas konsumtifisme Ramadhan menarik disimak karena dua hal. Pertama, apakah telah demikian jelasnya bukti hidup masyarakat konsumtif sehingga ia layak dituding sebagai “lemah imannya” dan berfoya-foya? Kedua, dengan cara apa dan kacamata mana dapat dinilai sebuah kelompok disimpulkan demikian?

Petunjuk awal dari semua tanya itu adalah bahwa sebuah ritus dan peristiwa agama rupanya berkelindan dengan peristiwa ekonomi.

Artikulasi Harga Diri

Puasa dan Ramadhan selama bertahun-tahun bukan lagi dianggap penting sebagai ritus agama, melainkan ritus ekonomi. Mirip seperti perayaan natal di Amerika—sebagaimana dibuktikan oleh laporan media-media Amerika Serikat yang mengeluarkan rilis tahunan kuantitas paket belanja umat Kristiani yang berlipat ganda menjelang Natal tahun lalu—pusaran gerak ekonomi semasa Ramadhan berpusat pada belanja konsumtif. Di sini titik tekan kritik sering dibidikkan.

Persoalannya, dengan demikian makin padatnya ritme hidup, masalah sekaligus derita sosial sekaligus kemepetan ekonomi, dari mana kekuatan konsumsi sebesar itu dibentuk? Sedangkah di sana terjadi anomali antara kapasitas daya beli dengan hasrat? Apakah masyarakat kita kehilangan rasionalitasnya? Bukankah negara juga melengkapi rasio itu dengan memberlakukan rasionalisasi konsumsi lewat mekanisme THR (Tunjangan Hari Raya)?

Adalah ganjil jika seluruh peluru kritik dipakai untuk mencaci kelompok masyarakat yang dituding irasional karena membeli baju atau sepatu baru. Kita tidak saja meremehkan mereka, tapi juga gagal dalam membaca keadaan.

Sebab, jangan-jangan dalam ritme hidup yang berat sepanjang tahun—dikepung dengan ketegangan politik dan remukknya kohesi sosial karena pilihan menjadi “cebong” atau “kampret”—hanya di bulan inilah masyarakat kecil Indonesia punya kesempatan untuk mengartikulasikan harga dirinya di hadapan putra-putri, orang tua, dan tetangga-tetangganya.

Ramadhan dalam pengertian konteks sosio-psikologis di sini, tidaklah dibaca secara nyinyir sebagai sebuah ritus ekonomi, melainkan kesempatan masyarakat dalam memberi makna hidup yang selama ini lepas dan koyak oleh kerja, tekanan sosial, juga kemacetan politik.

Kemelut politik yang tiap hari menghias halaman media adalah sebuah ukuran paling relevan bagi siapapun yang bermaksud melancarkan kritik atas konsumtifisme dengan mengganti mode kritik menjadi otokritik: memangnya hal indah apalagi yang bisa kita nikmati sebagai orang kecil, kecuali sedikit rejeki yang dinanti sepanjang tahun bukan karena jumlahnya, melainkan karena makna yang akan dihasilkannya bagi orang-orang terkasih.

Sebab, anjuran untuk hidup sederhana tak pernah berlaku bagi kelompok marjinal karena toh dalam keseharian secara harafiah mereka juga hidup sebagaimana adanya. Anjuran hidup sederhana hanya berlaku bagi kelompok kelas menengah dan kelas atas perkotaan.

Ritus artikulatif dari harga diri kolektif masyarakat inilah yang sering disalahpahami secara simplistis sebagai ritus ekonomi belaka.

Posisi Negara?

Keganjilan berikutnya adalah sering tumpulnya kritik bahwa negara sebagai pihak yang diam dan mengambil keuntungan dari gerak konsumtif ini. THR adalah teknologi politik bukan untuk meredakan risiko perlawanan khaotik dari kelas pekerja yang menuntut tunjangan ekstra, melainkan teknologi untuk menyuburkan dan menambah akselerasi ekonomi konsumtif.

THR adalah sekrup penting dari gerak ekonomi konsumtif yang disumpah-serapahi itu. Ambivalensi negara yang demikian ini memberi kesan bahwa negara merestui seluruh ritme konsumtifisme.

Dimensi belanja konsumtif, dengan demikian, tak dapat dikerdilkan sekedar menjadi masalah masyarakat belaka. Jauh lebih besar dari itu adalah posisi negara dan simbiosa hubungan yang ia bentuk dengan pasar.

Mengapa pula tak dipermasalahkan ongkos jumbo yang dibelanjakan elite politik dalam ritual basa-basi politik melalui buka bersama atau open house? Para elite representasi negara itu menyaru peran menjadi sejenis sinterklas di bulan Ramadhan. Keterlibatan negara membuktikan jika konsumtifisme pada akhirnya adalah ide sekaligus praktik yang menjalar ke seluruh segi.

Ia dilecehkan karena rotasi uang yang berlebihan masuk dan keluar. Tetapi ia dipuja karena dengannyalah politisi dapat melancarkan pencitraannya dengan efektif dan hanya lewat konsumtifisme-lah kepentingan industri diakomodasi.

Yang paling tidak diuntungkan dari seluruh rantai konsumtifisme itu adalah orang-orang “irasional” dan “foya-foya”. Mereka disindir dalam dua cara yang sama-sama menyakitkan. Pertama, kelompok semacam ini dianggap tak bisa berpikir jernih dalam menghayati ibadah dan tak mampu berlogika dalam manajemen keuangan. Kedua, oleh sebab itu, selamanya mereka dianggap tak dewasa dalam beragama.

Di kemudian hari kita akan tahu bahwa dua tuduhan itu adalah bahan bakar utama yang mengantarkan industri kaya raya, dan memberi manfaat besar bagi politik citra.

rendypw
rendypw
Pengajar pada FISIP Universitas Airlangga
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.