Kamis, April 25, 2024

Rimba Seorang Sarjana

Adib Khairil Musthafa
Adib Khairil Musthafa
Tukang tidur yang banyak mimpi | Pegiat Literasi di Tasawwuf Institute Malang |

Empat tahun lamanya, seorang mahasiswa bergelut bersama kegiatan akademis. Selama itu pula hiruk pikuk perkuliahan dialami, bergelut dengan buku, makalah, jurnal penelitian hingga skripsi, semangat mahasiswa di semester pertama biasanya terlihat, aktif berkunjung ke perpustakaan misalnya, sergep bergelut dengan tugas, bahkan kritis sebagai seorang Mahasiswa,

Bagi tipe aktivis, mereka sangat semangat aktif di berbagai kegiatan organisasi, mengikuti kajian-kajian kekinian, tak luput biasanya membahas kondisi politik masa kini, bahkan ada yang sampai turun kejalan melakukan demonstrasi, beragam tuntutan disampaikan mulai dari permasalahan kampus, isu nasional hingga isu kebutuhan rumah tangga naiknya harga cabai misalnya. Seabrak pengalaman itu ternyata sangat tak cukup untuk dijadikan bekal berkelana di dunia rimba. Rimba kerja namanya dimana banyak binatang buas dan berbagai tantangan menaanti.

Pada umumnya sesuatu yang paling diidamkan oleh Para calon sarjana ini adalah secepatnya lulus, mendapatkan kerja yang enak dengan gaji tinggi lalu menikah dengan sang idaman hati. Mimpi memang lebih mudah rasanya dari membalikkan telapak tangan, namun kadang inspirasi dari Mimpi itulah petualangan pertama seorang sarjana di rajut dalam sebuah rimba kerja.

Dari mimpi yang tak masuk akal hingga mimpi yang cukup realistis sering di imajikan seorang sarjana, hingga tak heran kerja keras tentu menjadi keharusan untuk mewujudkan mimpi itu.

Begitu seorang sarjana masuk dunia kerja pada umumnya akan mengalami suatu “kekagetan kultural” dimana apa yang dialami berbanding terbalik dengan ekspektasi, ini adalah akibat ketidak siapan mental seorang sarjana menghadapi rimba kerja yang sangat kejam, dalam dunia kerja seorang sarjana akan dikembalikan pada suatu rutinitas kecil yang membosankan, setiap harinya akan dituntut disiplin dengan waktu masuk yang sama, waktu keluar yang sama bahkan persoalan kapan bikin kopi pun diatur, bagi mahasiswa yang terbiasa begadang hingga pagi tentu jadwal semacam ini sangat menjemukan.

Menyoal dunia kerja ada sikap pembiasaan dari seorang sarjana yaitu sikap memilah dan memilah suatu jenis pekerjaan, salah suatu penyebab berbagai jenis lowongan tak diisi oleh para sarjana.

Pekerjaan yang ada tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya, Umumnya, pekerjaan halus dikantor yang ber-AC sangat di dambakan oleh lulusan yang masih muda, katakanlah contoh paling kecil “demam” CPNS, dimana para sarjana berlomba-lomba ikut seleksinya. ijazah tinggi, dibarengi angan-angan yang tinggi, dan harapan gaji yang tinggi pula ditambah kerap menonton Televisi yang tak henti menggambarkan figur manusia sukses lengkap dengan rumah mewah, mobil, dan pakaian rapinya.

Tayangan ini yang mempengaruhi alam pikiran sarjana yang pada akhirnya membuat cara berpikir sama sekali tak mengacu pada kenyataan yang ada.

Sempitnya Lowongan kerja memperbanyak jumlah Sarjana yang memilih menganggur, Jumlah Lowongan yang sedikit ini dipengaruhi oleh persaingan dalam dunia bisnis yang semakin ketat sehingga jumlah tenaga kerja diifesienkan dan digunakan sehemat mungkin.

Faktor inilah yang membuat para sarjana semakin terluntang lantung, kualifikasi yang sangat berat misalnya bahasa inggris TOEFL, dan syarat lain yang sukar dipenuhi, jika melamar di birokrasi kantor pegawai negeri, persyaratan tes tulis, kesehatan bahkan pungli menjalar dan mendarah daging seperti tradisi berkepanjangan yang menempel di oknum-oknum yang tak bertanggung jawab.

Tentu Jurusan baru yang disebut pungli tak akan terbayar oleh kalangan bawah. Jadi untuk bisa kerja haruslah kaya dulu!. Bahkan ada cerita menarik ketika Seorang lulusan sarjana tak sanggup berkelana bersama rimba kerja yang sangat kejam mereka kerap memilih S2 sebagai batu loncatan agar tak mengaggur, Orientasinya sudah berubah bukan kesadaran Pendidikan tetapi kesadaran bahwa Rimba itu sangat kejam. Kenyataan bahwa sarjana pun tak mampu bersaing di dunia kerja.

Sikap pesimisme juga salah satu penyebab seorang sarjana mengaggur, Sikap pasrah dengan keadaan dan tak mau berjuang menjadi batu sandungan yang paling nyata, kesadaran akan dirinya yang kurang keterampilan dari para pesaing-pesaingnya dianggap lebih siap dalam segala hal, tentu kampus atau sekolahnya pun ikut andil mencetak dia dan keterampilannya.

Bagaimana tidak dia sekolah di kota kecil, atau pengajar yang tak cukup profesional, atau bahkan melambungnya harga pendidikan sehingga orang miskin dilarang sekolah, padahal fasilitas sekolahnya sama-sama saja.

Potret singkat negeri jenaka ini yang digambarkan bapak Darmaningtiyas dalam bukunya “Pendidikan yang Memiskinkan” tentu kita semua tau diakui atau tidak, salah satu tujuan pendidikan adalah untuk meningkatkan taraf hidup kita sebagai warga negara yang secara de facto mempunyai hak mendapatkan pendidiikan yang mencerdaskan bukan memiskinkan. Namun nyatanya orientasi itu kadang disalah gunakan ketika untuk mendapatkan pendidikan saja harus menjadi orang kaya dulu.

Sebagai Refleksi tentu sudah sepatutnya kita berdamai dengan keadaan, kita sadarkan kembali kerja bagaikan rimba, ada banyak binatang buas yang siap menerkam dengan dalih mengurangi pengagguran namun ada praktik eksploitasi layaknya sebuah rimba.

Kenyataan dehumanisasi kalangan fresh graduated ini haruslah menjadi perhatian pemerintah, jumlah sarjana pengagguran yang menjadi ribuan atau bahkan jutaan sudah cukup menyentak agar segera melakukan evaluasi berkepanjangan, apa yang salah di rimba itu, praktik pungli dan praktik eksploitasi yang tentu menghina akal sehat publik harus segera di tumpas habis.

Pendidikan juga harus lebih memperhatikan masalah ini secara kritis, hukum yang mengatur harus berpihak pada kesejahteraan para sarjana, serta kesadaran individual sarjana itu sendiri tentunya.

Revolusi mental yang dingaungkan sudah saatnya di realisasikan agar tak hanya menjadi narasi tahunan yang keras bersuara pada momen musiman saja, kesadaran merawat integritas dan Karakter sebagai generasi penerus harus membuat seorang sarjana tegar dalam dunia kerja tanpa takut jatuh dan terpuruk. Akhirnya semoga para sarjana tetap merdeka dan keberuntungan selalu menyertai apalagi di seleksi CPNS misalnya.

Adib Khairil Musthafa
Adib Khairil Musthafa
Tukang tidur yang banyak mimpi | Pegiat Literasi di Tasawwuf Institute Malang |
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.