Karma tidak pandang bulu. Karma bisa menyerang siapa saja. Karma menyerang setiap orang yang terkesan menyengaja berbuat salah terhadap orang lain. Termasuk menyerang Walikota Bandung Kang Emil (Ridwan Kamil) dalam perhelatan politik menjelang pilgub Jabar tahun 2018 mendatang.
Dosa politik terbesar Kang Emil, tentu saat menjegal Kang Dedi Mulyadi yang dia anggap sebagai rival, padahal Dedi selalu menganggap Emil sebagi kawannya. Setelah berhasil merebut Partai Golkar untuk mengusungnya dengan cara menggunakan kedekatannya dengan Setya Novanto (Setnov) yang saat itu menjabat sebagai ketum Partai Golkar, Emil menjadi Cagub yang tidak melalui mekanisme Partai.
Mengingat saat itu sudah diusung oleh NasDem, PKB dan PPP menjadikan Emil dengan Cagub dengan Komposisi yang kuat karena didukung oleh banyak Partai. Mendengar Dedi Mulyadi akan diusung oleh PDIP setelah sebelumnya mengikuti Curah Gagasan, kehawatiran Emil terhadap Dedi Mulyadi kembali tumbuh, ia mengirim orang-orangnya agar PDIP mau berkoalisi untuk mengusungnya.
Padahal sejak jauh-jauh hari, PDIP telah menutup rapat pintu untuk Ridwan Kamil. Berbagai cara dilakukan agar Dedi Mulyadi tidak bisa mengikuti pesta Demokrasi tersebut. Ketakutan Emil terhadap Dedi Mulyadi dipicu oleh masalah sederhana, walaupun hasil Survei menempatkannya sebagai Calon paling cantik, tetapi tidak memiliki basis massa besar seperti Dedi.
Kesombongan Emil “meledek” Dedi makin menjadi ketika mengatakan ‘Tidak Perlu mengerahkan massa untuk mendapatkan rekomendasi dari golkar’. Padahal massa yang bergerak ke DPP Golkar adalah untuk mempertanyakan legalitas Emil yang sebagai Cagub, karena dalam keputusan Rapimda di Karawang semua Kader Golkar di Jawa Barat sepakat mengusung Dedi Mulyadi.
Kesombongan Emil yang telah ditanam sebelumnya sekarang membuahkan hasil pasca di tetapkannya Setnov sebagai tersangka. Pergantian di pucuk pimpinan berbuah pencabutan dukungan Golkar untuknya. Dicabutnya dukungan itu sepertinya akan dilakukan juga oleh partai pengusung lainnya, PPP dan PKB.
PKB menagih janji untuk menyertakan kadernya Kang Maman Imanulhaq atau Kang Syaiful Huda, untuk menjadi pendamping. Hal itu juga dilakukan oleh PPP yang menginginkan Uu Ruzhanul Ulum menjadi wakil pendamping Emil.
Emil dihadapkan pada ‘simalakama’, siapapun kader partai yang di usung, maka partai lain akan angkat kaki. Situasi menjadi semakin berbelit, karena kalau satu saja partai pengusungnya keluar, maka jumlah kuota untuk persyaratan berkurang. Mengingat, waktu yang semakin mepet dan kepercayaan partai terhadapnya mengecil, kesempatan Emil untuk menjadi penguasa Jawa Barat sepertinya semakin mengecil.
Dari permasalahan Ridwan Kamil kita bisa belajar, kesombongan dan penjegalan merupakan awal dari sebuah kehancuran. Kata pepatah, “Siapa yang menanam, dia yang akan menuai.” Kita lihat saja.