Beberapa waktu lalu, Ria Ricis, seorang Youtuber dengan pengikut lebih dari 30 juta di Youtube mengklarifikasi video yang diunggah bersama suaminya, ketika menaiki jet ski. Klarifikasi ini terjadi bukan tanpa alasan. Hal ini dikarenakan pasangan muda tersebut sempat mengundang hujatan warganet setelah membawa ikut serta anak mereka yang masih berusia 5 bulan untuk berjetski bersama-sama di laut tanpa pengaman.
Fenomena unggahan konten di Youtube yang melibatkan anak-anak di bawah umur ini jamak dilakukan banyak orang tak terkecuali Ria Ricis. Ria Ricis yang mengawali popularitasnya dengan konten-konten keseharian sampai review mainan yang ia unggah di Youtube pada beberapa tahun silam semakin menunjukkan pertambahan signifikan pada jumlah subscriber atau pengikutnya.
Berbeda dengan para artis yang terlebih dahulu populer di layar kaca, Ria Ricis mengawali “keartisannya” bukan dari indutri hiburan besar di media massa. Bisa dikatakan Ria Ricis adalah wujud dari micro-celebrity, yakni selebritas yang otentik, tidak lahir dari indutri hiburan besar, dan sangat tergantung dengan follower mereka (Senft, 2008).
Berkat subscriber Youtubenya yang semakin bertambah, Ria Ricis tak jarang mendapat tawaran di dunia hiburan, termasuk membawakan acara reality show di beberapa stasiun televisi seperti Trans TV dan Trans 7. Ia juga sempat bermain dalam 7 film yang rilis dari tahun 2017 sampai 2022 silam.
Fenomena micro-celebrity Ricis kemudian pada akhirnya ‘diturunkan’ kepada anaknya. Pada dasarnya, tidak hanya Ria Ricis, menjadi micro-celebrity yang melibatkan anak-anak telah banyak dilakukan para influencer baik di Indonesia maupun di luar negeri. Crystal Abidin, Professor di School of Media and Communication, Curtin University, dalam tulisannya yang berjudul “Micro-celebrity: Branding Babies on The Internet” tahun 2015, mengamini fenomena ini.
Abidin melakukan penelitian terhadap para ibu influencers di Asia Timur, bagaimana mereka membuat konten, menampilkan para anaknya yang rata-rata berusia di bawah 4 tahun di akun media sosial mereka.
Abidin tiba pada kesimpulan bahwa para influencer melakukan teknik self-branding, menyoroti kehidupan anak-anak mereka sebagaimana mereka hidup, serta mengumpamakan “youtuber belia” ini sebagai canvas dimana produk-produk maupun jasa, baik yang berhubungan dengan bayi maupun tidak, dipasarkan kepada audiens melaluinya dan menjadi advertorial.
Lebih lanjut, Abidin (2015) menyebut Youtuber belia ini sebagai micro-influencer. Karena tidak seperti influencer pada umumnya, anak-anak ini belum mampu mengatur presentasi dirinya untuk menarik perhatian pengikut, melainkan digunakan, dibingkai, dan diapropiasi oleh ibu mereka untuk advetorial. Dengan kata lain, ibu-ibu influencer ini membuat identitas (micro-micro celebrity) menjadi ada.
Youtuber dan Babak Baru dalam Drama Sosial di Sekitar Kita
Beberapa waktu silam, viral video yang diunggah sosok guru di Tiktok mengenai salah satu murid perempuan yang kabarnya dijauhi teman-temannya di sekolah karena banyaknya kutu di kepalanya.
Pada Tiktok tersebut, sang guru memanggil murid dan bahu membahu menyisir dan membersihkan kutu dari murid tersebut tanpa menunjukkan wajah dan identitas si murid.
Tak berselang lama, publik dikejutkan dengan konten video dari Baim Wong yang justru membuat identitas dan wajah murid yang bersangkutan terbuka jelas.
Keputusan Baim dalam membuka identitas murid untuk kepentingan konten ini lalu mendapat hujatan warganet.
Seperti Ria Ricis, Baim Wong dianggap tidak beretika dan memperhatikan dampak psikologis anak yang dijadikan konten Youtubenya.
Konten demi konten yang ditampilkan dengan kesan mengesampingkan hak anak untuk merasa aman ini layaknya sebuah drama sosial (social drama) menurut antropolog, Victor Turner.
Dalam drama sosial, ada proses sosial yang harmonis dan disharmonis yang muncul dalam situasi konflik. Setidaknya ada 4 fase yang diungkap Turner (1985) dalam peristiwa dramatis. Pertama, yakni breach, yakni pelanggaran terhadap norma dalam hubungan sosial oleh seseorang dalam suatu kelompok masyarakat. Youtuber yang membuat konten dengan mengekspos anak tanpa memperhatikan hak mereka menjadi sebuah bentuk pelanggaran norma dalam kepengasuhan.
Yang kedua adalah krisis. Adanya perluasan masalah dari pelanggaran norma tersebut mengundang ekskalasi krisis menurut Turner. Jauh sebelum konten jet ski dengan anak tersebut, Ria Ricis beberapa kali mengunggah konten yang kontroversial seperti vlog saat kematian sang ayah, membuang squishy di laut dan toilet, sampai vlog di makam Olga Syahputra. Ria Ricis dan suaminya yang sedang berjetski dengan anak di bawah umur tanpa pengaman menjadi momentum ekskalasi krisis yang memicu kemarahan warganet dan menunjuknya sebagai pribadi yang mengutamakan ad sense yang didapat dari Youtube daripada keselamatan anak.
Yang Ketiga adalah fase redressive atau pemulihan. Adanya usaha untuk mengatasi penyebaran krisis didapat melalui fase ini. Sementara ini, Ria Ricis telah mengklarifikasi video jetski bersama bayinya tersebut dan meminta maaf kepada publik atas perbuatannya.
Yang keempat adalah fase reintegration, yaitu penyatuan kembali kelompok sosial yang berkontestasi. Dalam konteks fenomena Ria Ricis yang dihujat oleh warganet, tampak beberapa video yang diunggah setelahnya masih menampilkan petualangan sang anak yang masih bersama orang tuanya. Salah satunya jutru berkendara dengan ATV. Meskipun begitu, Ricis kembali dalam videonya mengklarifikasi bahwa keadaan anaknya baik dan sehat.
Drama sosial dalam pertunjukan konten demi konten Ria Ricis menunjukkan bagaimana masyarakat dalam hal ini warganet menjadi audiens aktif yang menurut pakar Sosiologi, Stuart Hall, aktif terlibat dalam mengintrepretasikan suatu tontonan. Dalam kasus Ria Ricis audiens secara mayoritas justru melakukan pembacaan dengan cara berlawanan (contrary) dengan menganggap bahwa apa yang dilakukan Ricis terhadap anaknya adalah hal yang membahayakan.
Babak baru dalam dunia Youtuber kelak akan selalu mengundang ekalasi krisis, meminjam istilah Turner, apabila konten yang diunggah akan mengulas atau berisi hal-hal yang tidak disepakati dalam tatanan norma masyarakat.
Indonesia dengan pengguna Youtube terbesar ketiga di dunia tahun 2022, setelah India dan Amerika Serikat, setidaknya dapat menggunakan Youtube tidak hanya sebagai sarana hiburan, tetapi juga pergerakan (digital activism).
Aktivisme digital melalui Youtube ini juga dapat menjadi sarana advokasi bagi mereka yang terpinggirkan, membutuhkan uluran tangan. Hal ini dapat dicontohkan beberapa waktu lalu oleh para Youtuber yang bahu membahu membantu sosok Tiko yang merawat ibunya yang menderita gangguan jiwa dan “terpenjara” dalam rumah yang tak teralirkan listrik maupun air selama hampir 12 tahun.
Lebih dari itu, para konten kreator selayaknya dapat membuat platform satu ini sebagai alat aktivisme digital (digital activism) yang hadir sebagai harapan di tengah arus derasnya informasi. Konten yang diunggah boleh saja ringan, namun ia komprehensif, progresif dengan laku yang representatif.