Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tanaman obat yang sangat melimpah, menjadikannya salah satu negara dengan potensi besar dalam penyediaan bahan baku obat tradisional dan modern. Berbagai jenis tanaman obat seperti jahe, kunyit, kencur, temulawak, secang, sambiloto, dan kayu putih telah lama dimanfaatkan sebagai bahan utama bumbu masakan, aneka minuman termasuk jamu, dan obat herbal.
Keberadaan tanaman-tanaman ini tidak hanya memberikan manfaat bagi kesehatan masyarakat, tetapi juga berpotensi mendukung industri farmasi melalui pengolahan lebih lanjut menjadi bahan baku obat modern. Data dari Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa lebih dari 60% kebutuhan bahan tanaman obat dalam produksi jamu dan obat herbal di Indonesia dapat dipenuhi melalui Tanaman Obat Keluarga (TOGA). Potensi domestik yang tersedia ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kapasitas besar untuk mendukung ketahanan bahan baku industri jamu dan obat herbal nasional.
Pengakuan jamu sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO pada Desember 2023 memperkuat posisi Indonesia sebagai pusat pengembangan obat berbasis tanaman herbal dunia. Pengakuan ini membuka peluang besar bagi ekspor produk herbal ke pasar global sekaligus mengukuhkan identitas budaya nasional di mata internasional.
Dalam pengembangan obat herbal, dikenal dua kategori utama, yaitu jamu dan fitofarmaka. Jamu merupakan ramuan tradisional yang khasiatnya diyakini secara turun-temurun, meski belum sepenuhnya teruji secara ilmiah. Sementara itu, fitofarmaka adalah obat herbal yang telah melalui serangkaian uji klinis dan mendapatkan izin resmi untuk digunakan dalam layanan kesehatan formal.
Pemanfaatan dan pengembangan tanaman obat di Indonesia memerlukan dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, akademisi, pelaku industri, dan masyarakat. Pengembangan lahan pekarangan untuk komoditas berbasis tanaman obat dapat menjadi solusi efektif dalam memenuhi kebutuhan bahan baku jamu dan obat herbal.
Edukasi masyarakat mengenai manfaat tanaman obat dan cara budidayanya juga menjadi langkah penting untuk memperkuat sektor ini. Selain itu, kebijakan pemerintah terkait pengembangan industri tanaman obat perlu diarahkan pada peningkatan kapasitas produksi, penelitian, serta standarisasi produk agar dapat bersaing di pasar internasional.
Pengembangan TOGA di Karangkitri
Pengembangan tanaman obat di Indonesia diharapkan menjadi motor penggerak ekonomi hijau (green economy) sekaligus mendukung keberlanjutan ekosistem lingkungan.
Pemanfaatan tanaman obat secara bijaksana melalui konsep agroforestri dapat memberikan manfaat ekonomi yang signifikan tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan. Dengan kekayaan hayati yang melimpah, Indonesia memiliki potensi besar untuk mewujudkan kemandirian farmasi nasional dan memperkuat perannya dalam pemanfaatan obat herbal di tingkat global. Upaya ini perlu diiringi dengan kebijakan yang mendukung penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan tanaman obat secara optimal dan berkelanjutan.
Seiring dengan meningkatnya urbanisasi dan keterbatasan lahan, pemanfaatan Tanaman Obat Keluarga (TOGA) perlu direvitalisasi dengan pendekatan inovatif. Budidaya vertikal dengan rak bertingkat dan pot gantung menjadi solusi efektif bagi keluarga di perkotaan yang memiliki lahan terbatas.
Program Pekarangan Pangan Lestari (P2L) yang digagas Kementerian Pertanian turut mendorong optimalisasi lahan pekarangan rumah untuk produksi pangan dan obat-obatan mandiri. Selain menghemat anggaran negara, program ini juga memberdayakan ibu rumah tangga melalui pelatihan dan pendampingan dalam budidaya tanaman obat, yang pada gilirannya membuka peluang ekonomi baru melalui penjualan hasil panen.
Sebagai bagian dari Program RPL, Karangkitri menjadi percontohan pengembangan pekarangan berbasis kearifan lokal. Masyarakat setempat memanfaatkan lahan pekarangan untuk menanam tanaman hortikultura, tanaman perkebunan seperti kopi dan kelapa, serta tanaman obat seperti jahe, kunyit, dan sambiloto. Pemanfaatan lahan secara optimal ini tidak hanya memenuhi kebutuhan pangan dan obat-obatan secara mandiri, tetapi juga mengurangi pengeluaran rumah tangga dan menciptakan sumber pendapatan tambahan. Keberhasilan Karangkitri diharapkan menjadi inspirasi bagi masyarakat di daerah lain untuk mengembangkan TOGA dengan memanfaatkan potensi lokal yang dimiliki.
Pengelolaan TOGA di Karangkitri berfokus pada prinsip budidaya organik yang ramah lingkungan. Pupuk alami seperti pupuk kandang dan kompos menjadi pilihan utama, sementara pengendalian hama dilakukan secara manual atau menggunakan pestisida nabati dari daun mimba dan tembakau.
Proses produksi simplisia, mulai dari panen hingga pasca panen, dilakukan dengan cermat untuk menjaga kualitas tanaman obat. Daun dipanen pada saat fotosintesis mencapai puncaknya, sedangkan rimpang dipanen ketika tanaman mulai menguning. Setelah panen, simplisia dikeringkan hingga kadar air mencapai 12% untuk mencegah reaksi enzimatik dan pertumbuhan mikroorganisme, kemudian disimpan dalam wadah kedap udara agar kualitasnya tetap terjaga hingga siap diolah menjadi produk obat tradisional atau fitofarmaka.
Peluang Revitalisasi dan Pengembangan
Revitalisasi Tanaman Obat Keluarga (TOGA) di Karangkitri memiliki potensi besar dalam meningkatkan kualitas kesehatan dan perekonomian masyarakat. Pemanfaatan lahan pekarangan untuk budidaya tanaman obat dapat menjadi solusi alternatif dalam memenuhi kebutuhan obat-obatan herbal secara mandiri.
Namun, upaya ini masih menghadapi berbagai tantangan, salah satunya adalah rendahnya kesadaran masyarakat mengenai pentingnya TOGA. Banyak warga belum memahami bahwa pekarangan rumah, meski terbatas, dapat dioptimalkan untuk menanam berbagai tanaman obat yang bermanfaat bagi kesehatan keluarga.
Penyebab utama rendahnya implementasi TOGA di masyarakat adalah minimnya informasi dan edukasi terkait manfaat dan cara budidayanya. Masyarakat masih memandang tanaman obat sebagai sesuatu yang rumit dan memerlukan lahan luas, padahal kenyataannya budidaya TOGA bisa dimulai dari pot atau wadah bekas di area terbatas. Oleh karena itu, diperlukan upaya sosialisasi yang intensif dan edukasi berkelanjutan untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan lahan pekarangan sebagai sumber tanaman obat keluarga.
Salah satu langkah strategis dalam pengembangan TOGA adalah melalui pelatihan dan bimbingan teknis. Pemerintah dan lembaga terkait perlu mengadakan penyuluhan mengenai manfaat tanaman obat, teknik budidaya, serta pengolahan hasil panen menjadi produk bernilai ekonomi.
Contoh keberhasilan dapat dilihat di Kebun TOGA Gadingkasri, Kota Malang, di mana masyarakat memanfaatkan pot dan galon bekas untuk menanam tanaman obat di lahan sempit. Inovasi ini membuktikan bahwa keterbatasan lahan bukan menjadi penghalang dalam membudidayakan tanaman obat keluarga. Praktik baik lainnya ditemukan di Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul, di mana masyarakat bersama akademisi bersinergi dalam pengelolaan TOGA berbasis ekowisata. Kolaborasi ini berhasil meningkatkan produktivitas tanaman obat, memperkuat ketahanan ekonomi desa, dan menarik wisatawan melalui konsep wisata edukasi tanaman obat.