Pluralisme agama menjadi isu strategis di dalam perkembangan demokratisasi di Indonesia. Bagaimana tidak, corak pemikiran pluralitas sudah berkembang di Indonesia pasca respon atas catatan sejarah kolonial.
Bahkan, dengan kemajemukan dan keanekaragaman tersebut menjadi landasan dasar dalam mendirikan bangsa ini. Realita belakangan ini memperlihatkan fakta sebaliknya konflik perpecahan antar sesama bernuansa etno-religius semakin marak bahkan mengerucut ke dalam arena politik praktis yang kemudian juga penulis asumsikan sebagai penghambat demokratisasi di Indonesia.
Faktanya lagi, negeri ini begitu mudahnya isu-isu perbedaan agama, ras, etnis dijadikan sebagai pemicu permusuhan dan konflik kekerasan, akibatnya, pembangunan politik demokrasi berkeadaban seringkali terhambat oleh persoalan-persoalan identitas agama yang menyita banyak energi.
Sikap mengeksklusifkan diri dan fanatisme terhadap satu kepercayaan atau keyakinan yang dianut dapat membawa malapetaka terhadap dirinya serta lingkungan yang lebih luas dan menjadi tersesat dalam kesesatan. Spirit kebangsaan menjadi terganggu akan hadirnya kelompok-kelompok yang mengaku membawa nama kebenaran, berbagai kelompok radikal-intoleran tumbuh subur seiring dengan menguatnya populisme Islam di Indonesia.
Bagaimana tidak, rasa kesadaran sebagai warga negara atas kemajemukan menjadi luntur disebabkan pengaruh fanatisme tanpa esensi oleh sebagian kelompok. Dengan maraknya gerakan “radikal-intoleran” ditebar melalui pertemuan formal maupun informal melalui media mainstream tumbuh dan menjadi konsumsi di masyarakat kita bahkan lebih buruknya melahirkan bibit terorisme. Sedangkan aksi terorisme dan bentuk radikalisme biasanya diawali dari sikap dan dan tindakan intoleran.
Embrio dari sikap intoleran belakangan ini lahir dari berbagai elemen masyarakat, mulai dunia pendidikan, pemerintah hingga pemuka agama saling mengambil peran dalam menyebarkan sikap anti keberagaman. Dunia pendidikan diwarnai dengan kurikulum dan bahan ajar yang cenderung eksklusif dan intoleran.
Selain itu pemerintah yang mestinya paling depan menegakan keberagaman di tengah masyarakat akan tetapi sangat kontraproduktif terhadap kebijakan yang dibuat bahkan cenderung diskriminatif. Kemudian oknum pemuka agama juga tidak luput dari penyebar embrio intoleran melalui dakwah yang dilakukannya, dalam kasus ini konsep dakwah selalu saja menyimpan klaim kebenaran (truth claim) Islam atas agama dan keyakinan lain.
Hemat penulis dakwah bagi pemuka agama harus mencerminkan esensi dalam beragama itu sendiri bukan malah sebaliknya mengedepankan simbolik dan tekstual tanpa memahami dan memaknai kontekstual yang lebih substantif. Dalam aspek ini penulis sepakat dengan pesan filosofis Buya Ahmad Syafii Maarif, bahwa dakwah Islam adalah dakwah yang mengajak kepada kebaikan, tujuan dakwah adalah untuk menegakkan sendi-sendi keimanan, Islam dan taqwa dalam komunitas umat Muslim, dengan tujuan untuk mencapai kebenaran dan kebajikan.
Oleh karenanya dimensi lain dari menguatnya kelompok radikal-intoleran adalah berimplikasi kepada pengaruh buruk terhadap spirit kebhinekaan kita. Mengutip pesan Buya Ahmad Syafii Maarif “Sebuah bangsa dapat mengalami kehancuran bila toleransi sosial, agama, dan budaya tidak mantap”.
Dalam konteks membangun Indonesia yang demokratis-pluralis dengan ciri masyarakat sipil yang berkeadaban, sudah saatnya mensosialisasikan nilai-nilai agama humanistik sekaligus intrinsik yang mengusung pandangan yang humanis, pluralis dan demokratis.
Kemunculan gerakan ini sebenarnya tidak terlepas dari ketidakhadiran negara dalam melakukan penguatan nilai-nilai universal melalui semangat pluralitas atas keanekaragaman di Indonesia, sehingga memberikan ruang kebebasan terhadap kelompok yang dikategorikan anti kemajemukan dan anti pluralitas.
Restrukturisasi kebangsaan menjadi sangat penting dengan melakukan penataan secara ideologis bagi kelompok radikal-intoleran agar struktur atau tatanan sosial masyarakat yang semakin “gaduh” ini dimana banyak terjadi perubahan orientasi anak bangsa ke arah radikal-intoleran dapat “dijinakkan”. Meskipun fenomena ini umum terjadi di negara-negara berkembang akan tetapi harus diwaspadai pergerakannya sehingga nilai luhur yang sudah diwarisi dapat tetap hidup dan tumbuh untuk mempererat rasa berkebangsaan kita.
Lantas muncul pertanyaan, dimana seharusnya peran negara dalam melihat kasus ini? Pertama negara mesti mengintervensi dalam melakukan internalisasi nilai kebangsaan di setiap aspek kehidupan masyarakat.
Mulai dari dunia pendidikan harus melihat nilai pluralitas itu sebagai nilai sentral dalam membangun generasi yang majemuk. kemudian adanya intervensi negara dalam bentuk regulasi yang mengedepankan semangat multikulturalisme dan mengakui akan kelompok minoritas dan kelompok rentan lainnya.
Kedua, negara sebagai sebuah sistem juga harus membangun dan membangkitkan nilai-nilai kearifan lokal agar tumbuh untuk membendung pemahaman yang cenderung intoleran akan tetapi tetap sejalan dengan falsafah bangsa yakni Pancasila. Serta konsep dakwah bagi pemuka agama perlu ditinjau kembali agar senafas dengan tujuan agama itu sendiri yaitu untuk seluruh umat manusia dan alam semesta tidak diperuntukan hanya untuk satu kaum dan golongan saja bahkan ancaman terburuknya adalah adanya dorongan para ekstrimis yang ingin mengeksploitasi agama untuk tujuan politik.
Membangun peradaban ini harusnya dengan cinta, kasih, etika, saling menghargai dengan mengedepankan dialog di atas sunnatullah. Tentu saja dialog yang dimaksud adalah dialog antar umat beragama mengenai isu-isu krusial masyarakat tidak hanya pada tataran elit tetapi dialog di tingkat akar rumput juga sangat penting melalui pemuda, tokoh masyarakat dan forum-forum kemasyarakatan sehingga nafas keberagaman dalam bingkai Kebhinekaan dapat dirasakan oleh semua pihak.
Terakhir, mengutip pesan Ahmad Syafii Maarif bahwa, hubungan Islam, keIndonesiaan dan kemanusiaan dengan hubungan budaya yang tidak bisa dipisahkan. Lebih lanjut ia menyatakan, bahwa hubungan Islam dan Kemanusiaan harus ditempatkan dalam satu garis dan senafas.
Islam lahir dan berkembang di Indonesia sepenuhnya dalam darah dan daging sejarah serta tidak dalam kevakuman budaya. Selain itu esensi beragama seluruh umat manusia harus siap akan dengan lingkungan yang senantiasa berubah.