Tahun lalu, tepatnya pada 10 Desember 2018, diadakan Lokakarya Al-Islam Kemuhammadiyahan dan Launching Buku Kemuhammadiyahan di kampus UHAMKA Jakarta. Kegiatan tersebut masih dalam rangka Milad Ke-106 Muhammadiyah. Tema yang diangkat pada diskusi itu sungguh majelis: ”Ahmad Dahlan Reborn; Teologi Al-Maun untuk Generasi Milenial”.
Setidaknya ada dua alasan kenapa tema yang diperbincangkan menarik. Pertama, memang diperlukan transformasi nilai untuk generasi milenial Muhammadiyah supaya etos Ahmad Dahlan lewat teologi Al-Maun diamalkan betul di tengah arus modernisasi yang kian mendegradasi nilai-nilai humanitas. Kedua, digelarnya diskusi tersebut harus disadari sekaligus menjadi momentum otokritik untuk Muhammadiyah: sudahkah mengimplementasikan teologi Al-Maun secara paripurna?
Untuk alasan pertama, tentu para pemantik berdarah cendekia seperti Dr Haedar Nashir, Prof Lincolin Arsyad, hingga Prof Abdul Munir Mulkhan sudah mengupas tuntas bagaimana teologi Al-Maun mengkristal dalam diri generasi langgas. Pun, sudah terhampar wacana agar generasi ini terselamatkan dari budaya konsumerisme, hedonisme, dan individualisme.
Anasir kedua yang seyogianya tak kalah penting disorot. Berangkat dari situ, apakah teologi Al-Maun juga sudah dijelmakan secara kafah di internal persyarikatan. Di kalangan warga Muhammadiyah, teologi Al-Maun itu masyhur termanifestasikan dalam spirit filantropi. Spirit teologi Al-Maun Kiai Dahlan menyatakan bahwa Islam bukan melulu perihal ibadah, melainkan juga aksi nyata membangun masyarakat terpinggirkan. Beliau mendidik anak-anak kampung di madrasah yang dibangunnya secara gratis. Kata kuncinya, pendidikan gratis.
Muhammadiyah menghadapi dinamika zaman yang terus berkembang. Namun, ada yang ”luput” dari perhatian organisasi ini. Sektor pendidikan selama ini menjadi motor vital organisasi karena mendatangkan cukup banyak pemasukan. Akan tetapi, justru di situlah letak persoalan muncul. Di satu sisi, Muhammadiyah dituntut menghadirkan madrasah berkualitas yang mestinya mampu dijangkau seluruh golongan, atau bahasa lainnya ”ramah biaya”. Di sisi lain, amal usaha itu harus dirawat secara profesional agar manajemennya puguh. Sebuah usaha yang membutuhkan ongkos tidak sedikit.
Desas-desus Sekolah Tak Ramah Biaya
Selama ini jamak beredar desas-desus bahwa biaya beberapa sekolah dan universitas Muhammadiyah, khususnya yang sudah maju, dinilai mahal. Jawa Timur termasuk gudangnya sekolah dan universitas favorit. Ada, misalnya, Universitas Muhammadiyah Malang, SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo, serta SD Muhammadiyah 4 Pucang Surabaya.
Muhammadiyah boleh besar, tapi semangat filantropi, yaitu cinta kasih kedermawanan terhadap sesama, haram untuk luntur. Fakta bahwa sekolah favorit Muhammadiyah yang terkadang tidak terjangkau, bahkan secara ironis oleh warga Muhammadiyah sendiri, pun mesti dievaluasi dan direformulasi.
Ketika menulis ini, saya langsung teringat buku karya Toto Rahardjo, Sekolah Biasa Saja. Di dalam buku itu, sang penulis mengisahkan Sekolah Sanggar Anak Alam (SALAM) dengan tujuan, salah satunya, mengkritik lembaga pendidikan yang mengultuskan profit oriented. Sekolah SALAM merupakan sekolah alternatif yang diperuntukkan bagi murid-murid dari golongan mana pun tanpa pandang identitas.
”Harga uang pangkal untuk masuknya saja senilai biaya semesteran di perguruan tinggi. Kalau pendidikan membuat kastanisasi kehidupan, pemenuhan otak, namun pengeringan hati, patut dipertanyakan bahwa pendidikan telah kehilangan roh,” tulisnya.
Toto Rahardjo mengatakan bahwa tujuannya mendirikan sekolah yang berlokasi di Yogyakarta itu adalah mengembalikan fungsi sekolah sebagaimana mestinya, salah satunya sekolah bukan perusahaan.
”Maka, sejak awal saya ingatkan bahwa mendirikan serta mengelola sekolah bukan merupakan pekerjaan yang mendatangkan keuntungan secara ekonomi. Kalau Anda mendirikan sekolah untuk mencari keuntungan dan kemasyhuran, berarti Anda salah alamat atau tersesat, karena mendirikan sekolah lebih dekat dengan mengabdi pada kemanusiaan yang posisinya terletak di pelosok kesunyian.”
Ide dan gerakan di Sekolah SALAM memang tidak bisa serta-merta ditelan mentah-mentah. Muhammadiyah bisa meniru yang selaras dan memodifikasinya sesuai kebutuhan. Sebuah ironi ketika dulu sang founding father secara sukarela membuka sekolah dengan gratis, dengan biaya dari penjualan batik, tetapi kini beberapa sekolah Muhammadiyah justru berlomba-lomba membangun fisik megah dengan melambungkan biaya pendidikan. Jika sudah begitu, apakah mungkin lembaga pendidikan persyarikatan ini mau menampung siswa dari kalangan kurang mampu?
Muhammadiyah begitu erat dengan jiwa wirausaha, karena itulah bisa berkembang pesat hingga saat ini. Tapi, semestinya bukan wilayah pendidikan, wilayah yang di dalamnya terdapat proses tukar pikiran dan kerja-kerja intelektual, yang ”dikomersialkan”. Bukan murni biaya pendidikan yang digunakan untuk menafkahi pegawai, melainkan sektor ekonomi lain. Katakanlah dari amal usaha toko, pabrik, konfeksi, pertanian, perikanan, dan peternakan. Itu pula, konon, yang diimpikan salah satu sekolah berbasis pondok Muhammadiyah di Yogyakarta.
Spirit Filantropi di Sekolah Muhammadiyah
Konsep teologi Al-Maun, yang salah satu isinya mewujud dalam filantropi (walaa yahuddu alaa ta’aamil miskin…wayamna’uunal maa’uun), adalah ”barang kuno” yang amat perlu dihadirkan kembali di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Terutama yang masih bertarif mahal. Lembaga pendidikan Muhammadiyah harus diselaraskan dengan spirit Ahmad Dahlan itu. Sang kiai mendirikan sekolah gratis yang operasionalnya dipungut dari berjualan batik. Giving more than receiving. Dengan demikian, biaya pendidikan tidak dibebankan sepenuhnya kepada murid. Sumbernya bisa melalui itu tadi: sektor ekonomi dengan segala wirausahanya.
Lembaga pendidikan Muhammadiyah harus memaksimalkan amal usaha yang lain demi menyubsidi biaya pendidikan agar tidak terlampau memberatkan murid. UMM, misalnya, kini telah menjenamakan diri sebagai kampus dengan berjibun usaha. Nah, rabat dari usaha itulah semestinya yang difaedahkan untuk menyubsidi biaya pendidikan bagi mahasiswa. Atau, SD Mudipat Surabaya harus dapat menerima siswa dari golongan mana pun. Sebagai solusi, dimaksimalkanlah amal usaha lain supaya biaya pendidikan menjadi lebih bersahabat.
Memang, ”tuduhan” tersebut tidak bisa digebyah-uyah. Tak sedikit pula sekolah/universitas Muhammadiyah yang masih (sangat) terjangkau bagi kalangan mana pun. Misalnya, yang menuju tahap berkembang. Yang kita harapkan adalah sekolah Muhammadiyah yang sudah maju, tetapi ramah biaya. Sekolahnya boleh unggul, ternama, tapi murid-muridnya heterogen. Sebab, mengulang wejangan Toto Rahardjo tadi, ”mendirikan sekolah lebih dekat dengan mengabdi pada kemanusiaan”. Jika hal itu mampu diterapkan, Muhammadiyah sekaligus akan menyentil lembaga pendidikan lain yang mahal dan feodal. Sekolah-sekolah eksklusif yang hanya bisa dijangkau segelintir golongan.
Menerapkan sikap kedermawanan di segala lini amal usaha tentu pilihan yang sangat arif. Sebab, tangan di atas selalu lebih baik daripada tangan di bawah. Meski berlambang matahari yang direferensikan dengan (me)langit, Muhammadiyah harus tetap membumi.