Selasa, Oktober 8, 2024

Respon Otak terhadap Komunikasi Publik Pemerintah

Rizki Edmi Edison
Rizki Edmi Edison
Director of Neuroscience Center of UHAMKA Ph.D in Neurosurgery Medical Doctor

Beberapa hari belakangan ramai diberitakan pemblokiran Telegram oleh Pemerintah Indonesia. Selain Whatsapp, Telegram memang merupakan salah satu pilihan utama oleh kebanyakan masyarakat Indonesia untuk saling berkomunikasi secara digital baik antar individu ataupun dalam kelompok.

Menariknya, dibandingkan Whatsapp, Telegram ditenggarai dijadikan alat komunikasi antar teroris guna melancarkan aksi-aksinya. Meski pemerintah menyatakan telah menyampaikan surat protes kepada Telegram sejak akhir tahun lalu, ketiadaan respon dari pihak Telegram memaksa pemerintah untuk memblokir aplikasi ini demi menjaga keamanan negara.

Sebelumnya, Perpu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas yang dikeluarkan oleh pemerintah juga menimbulkan kehebohan di masyarakat hingga saat ini. Tidak ada yang salah dari apa yang diupayakan pemerintah, jika melihat tujuannya. Hanya saja, sepertinya lagi-lagi pemerintah kurang pandai melakukan komunikasi publik kepada khayalak ramai. Sehingga, respon negatif lebih banyak bermunculan ketimbang positif. Bahkan, sampai muncul tagar #BlokirJokiwi di media sosial. Dan kekurangpandaian ini, bukan kali pertama dilakukan oleh pemerintah.

Meski vlog Presiden Jokowi menuai banyak like di media sosial, ada perbedaan mendasar respon seseorang kala menerima informasi dari bahasa verbal atau non-verbal. Untuk memahaminya, mari kita simak penjelasan singkat berikut: Otak manusia, secara sederhana dapat kita bagi menjadi otak belahan kiri dan otak belahan kanan. Di mana dominasi salah satu belahan otak hanya menunjukkan pusat bahasa seseorang, bukan kreativitas ataupun analitikal.

Mereka yang non-kidal hampir semuanya memiliki pusat bahasa di belahan otak sebelah kiri. Sedangkan mereka yang kidal, sebagian besarnya memiliki pusat bahasa di otak sebelah kanan. Adapun mereka yang memiliki pusat bahasa baik di otak kiri ataupun kanan jumlahnya sangat sedikit di dunia ini.

Tentu muncul pertanyaan; jika otak sebelah kiri berfungsi sebagai pusat bahasa, lantas apa gunanya otak kanan dalam berkomunikasi? Di sini perlu kita ketahui bahwa bahasa itu memiliki dua jenis, verbal dan non-verbal. Pada saat kita berkomunikasi tatap muka dengan seseorang, setiap kalimat yang terlontar dari lawan biacara dan kita dengar merupakan bahasa verbal yang diproses di otak kiri kita (bagi non-kidal). Sedangkan pada saat bersamaan, intonasi suara lawan bicara yang ditangkap telinga ataupun perubahan mimik wajah dan eksperesi tubuh yang ditangkap mata merupakan bahasa non-verbal yang diproses di otak kanan.

Kenyataannya, bahasa non-verbal memegang peran krusial ketimbang bahasa verbal pada saat berkomunikasi langsung atau tatap muka. Itu sebabnya, meski kalimat yang diucapkan lawan bicara tidak lah runut, kita bisa memahami maksud dan tujuan ucapannya berdasarkan bahasa non-verbal yang dihasilkannya. Kita pun tahu kapan sebuah ungkapan yang terlontar hanyalah kiasan, kalimat konotasi, ataukah canda semata.

Akan tetapi, hal ini berbeda jika penyampaian informasi yang hanya didasarkan pada tulisan seperti di media massa. Pada saat seseorang membaca berita di surat kabar, bahasa yang ditangkap oleh mata merupakan bahasa verbal, yang diproses di otak belahan kiri pembaca. Hal ini menyebabkan pembaca hanya menganalisis maksud berita berdasarkan apa yang ditulis belaka. Meski kalimat yang jika didengar bisa bermakna kiasaan atau candaan, karena otak kita juga bisa memahami maksud kalimat tersebut berdasarkan intonasi suara, hal tersebut bisa jadi tidak berlaku jika hanya dihadirkan dalam bentuk tulisan belaka.

Pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Jokowi pun perlu menyadari bahwa lebih dari empat puluh persen masyarakat yang mengikuti Pilpres 2014 tidak memilih beliau pada saat itu. Polarisasi dua kubu akibat pilpres tersebut yang masih dirasakan hingga sekarang saat itu sejatinya menyebabkan satu efek yang dinamakan ingroup bias. Sebuah fenomena di mana seseorang lebih cenderung untuk selalu bersama kelompoknya dibandingkan kelompok lain. Akibat dari polarisasi dan ingroup bias, terjadilah apa yang dinamakan sebagai confirmation bias. Di mana jika sebuah informasi yang datang dari kelompoknya akan ditelan mentah-mentah sekiranya dinilai menguntungkan, terlepas apakah hoax atau tidak.

Sekiranya dianggap merugikan, meski benar, dicari-carilah alasan untuk menyatakan bahwa berita tersebut tidak lah benar. Akan halnya berita dari kelompok lawan, sekalipun hoax, jika dianggap bisa menjatuhkan, tentu dipercaya begitu saja tanpa keraguan. Pemerintah pun perlu mengetahui, bahwa ada beberapa tagar yang dikampanyekan oleh pemimpin tertinggi negeri justru bisa menimbulkan potensi perpecahan, seperti #SayaIndonesia.

Mengapa perlu dipertimbangkan potensi perpecahannya? Karena ada pembentukan identitas dengan menggunakan kata “saya”. Manusia, berdasarkan rekam jejak sejarahnya, bisa bertahan karena adanya ikatan yang kuat dalam kelompok. Saat mencari orang-orang yang dianggap sejenis dan membentuk kelompok, di saat yang bersamaan tanpa disadarinya, ia akan mengidentifikasi “mereka” yang dianggap bukan bagian dari kelompoknya.

Dikotomisasi tak pelak akan terjadi. Untuk menghadapi musuh yang bukan merupakan warga Indonesia, dikotomisasi ini memang bisa dipertimbangkan guna meningkatkan kebanggaan sebagai Bangsa Indonesia. Hanya saja, menjadi sebuah bumerang jika yang dihadapi adalah warga Indonesia itu sendiri, meski berbeda paham. Berdasarkan hasil penelitian Tahun 2014 oleh peneliti dari Harvard University pun, diketahui bahwa dikotomisasi ini bisa menimbulkan fenomena “senang melihat orang lain susah, susah melihat orang lain senang”. Guna mencegah dikotomisasi, rasa-rasanya #KitaIndonesia jauh lebih aman dan efektif ketimbang #SayaIndonesia.

Politik kerja ala Presiden Jokowi jelas mendorong pembangunan di begitu banyak daerah , yang selama ini tidak tersentuh, di Indonesia. Apresiasi pun berdatangan dari berbagai penjuru. Hanya saja, komunikasi publik memegang peranan tidak kalah penting ketimbang kerja semata untuk membentuk perspektif positif dan meningkatkan kepercayaan masyarakat.

Komunikasi publik yang buruk, bukan tidak mungkin menghilangkan persepsi positif dari kerja keras yang telah dilakukan pemerintah. Otak manusia, sangat perlu dipahami.

Rizki Edmi Edison
Rizki Edmi Edison
Director of Neuroscience Center of UHAMKA Ph.D in Neurosurgery Medical Doctor
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.