Jumat, Mei 23, 2025

Representasi Perempuan Independen dalam Novel Belenggu

Mila Tunnajiah
Mila Tunnajiah
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah
- Advertisement -

Pernikahan dalam banyak kebudayaan kerap dibayangkan sebagai gerbang kebahagiaan. Namun dalam kenyataannya, tidak sedikit perempuan justru merasa bahwa pernikahan adalah awal dari terenggutnya kebebasan.

Banyak yang harus meninggalkan pekerjaan, hobi, bahkan jati diri mereka demi memenuhi ekspektasi sebagai “istri ideal.” Realitas ini menjadi semakin kompleks ketika berhadapan dengan perempuan berpendidikan tinggi dan aktif dalam kehidupan publik perempuan yang tidak ingin seluruh hidupnya dipusatkan pada pelayanan terhadap suami. Fenomena ini bukan sekadar masalah rumah tangga, tetapi bagian dari pergulatan antara konstruksi sosial yang patriarkal dan kesadaran perempuan akan hak-haknya sebagai individu merdeka.

Persoalan inilah yang tampak begitu kuat dalam novel Belenggu karya Armijn Pane. Ditulis pada 1940, novel ini sudah jauh melampaui zamannya dalam menggambarkan konflik antara perempuan modern dan lembaga pernikahan tradisional. Tokoh Sumartini (Tini) adalah perempuan cerdas, aktif secara sosial, dan memiliki jiwa emansipatif yang tinggi.

Ia menikah dengan Sukartono (Tono), seorang dokter dari kelas atas yang juga berpendidikan. Sekilas, pasangan ini tampak ideal. Namun pernikahan mereka retak karena ketidakmampuan keduanya untuk memahami cara masing-masing mencintai. Tono ingin istri yang hadir secara fisik dan emosional di rumah, sedangkan Tini justru merasa hidupnya bermakna ketika ia berkontribusi di ruang publik. Konflik mereka mencerminkan pertentangan antara dua pandangan tentang peran perempuan dalam pernikahan: tunduk dan domestik atau bebas dan berdaya.

Untuk memahami dilema yang dialami oleh Tini, pendekatan feminisme liberal menjadi kerangka teoritis yang relevan, khususnya gagasan dari Simone de Beauvoir dalam The Second Sex.

De Beauvoir menegaskan bahwa perempuan tidak dilahirkan sebagai perempuan dalam makna sosial, melainkan “dijadikan” melalui konstruksi budaya dan peran yang dibentuk oleh masyarakat patriarkal. Ia menyebut perempuan sebagai “yang lain” (the Other), yaitu makhluk yang keberadaannya hanya diakui sejauh mereka mengabdi dan melengkapi laki-laki.

Pernikahan, menurut de Beauvoir, sering kali menjadi instrumen penaklukan di mana perempuan kehilangan subjektivitas dan kebebasannya. Dalam perspektif feminisme liberal, setiap perempuan memiliki hak dan kebebasan untuk menentukan hidupnya sendiri, termasuk setelah menikah. Perempuan seharusnya tidak dipaksa untuk meninggalkan ambisi, kegiatan, atau kesenangan pribadinya hanya demi menjadi istri yang patuh. Pernikahan ideal bukanlah penjara, melainkan ruang kerja sama antara dua individu yang setara.

Hal ini tergambar jelas dalam karakter Tini. Ia bukan perempuan yang pasif dan unduk. Sebaliknya, ia aktif di berbagai kegiatan sosial, memimpin bazar amal, dan memiliki pergaulan luas. Dalam satu adegan, ketika Tini dikritik karena lebih sering keluar rumah dan selalu pulang malam, ia membalas dengan tajam:“Bukankah lakiku juga pergi sendirian? Mengapa aku tiada boleh? Apakah bedanya?” (Belenggu, hlm. 57)

Pernyataan ini memperlihatkan kesadaran gender yang tinggi. Tini menyadari adanya standar ganda dalam pernikahan: laki-laki bebas, perempuan terikat. Ia tidak menerima logika itu. Bahkan, ketika hubungan dengan Tono memburuk, ia tetap berdiri sebagai perempuan merdeka, bukan korban yang meratap. Ia berkata kepada Rohayah, perempuan yang menjadi selingkuhan suaminya:“Aku jangan dirusuhkan, aku mudah mendapat pekerjaan, banyak pekerjaan sosial, barangkali aku akan menjadi tenang, akan lupa zaman dulu.” (Belenggu, hlm. 147)

Kutipan ini menunjukkan bahwa Tini tidak melihat pernikahan sebagai satu-satunya jalan hidup. Ia tidak takut untuk pergi, memulai kembali, dan tetap menjadi dirinya sendiri. Tini tidak meratapi rumah tangganya yang hancur, melainkan memilih jalan lain untuk tetap berdaya. Sikap ini mencerminkan semangat feminisme liberal yang menolak anggapan bahwa perempuan harus bergantung secara emosional dan ekonomi kepada suami.

- Advertisement -

Apa yang dialami Tini sangat relevan dengan kondisi perempuan masa kini. Di Indonesia, data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan penurunan angka pernikahan dalam lima tahun terakhir. Banyak perempuan muda memilih untuk fokus pada pendidikan, karier, atau pengembangan diri sebelum (atau bahkan tanpa) menikah.

Sebagian dari mereka mengaku takut kehilangan kebebasan setelah menikah. Fenomena ini bukan karena perempuan membenci institusi pernikahan, melainkan karena mereka menolak untuk dijadikan objek yang harus tunduk. Mereka, seperti Tini, ingin mencintai dan dicintai tanpa kehilangan hak atas tubuh, waktu, dan pikirannya sendiri. Kehidupan setelah menikah seharusnya bukan berarti mengakhiri hal-hal yang disukai, melainkan memperkaya hidup yang sudah dimiliki.

Maka, Belenggu bukan hanya cerita tentang cinta segitiga atau keretakan rumah tangga. Lebih dari itu, ia adalah cermin dari perjuangan perempuan dalam mencari ruang aman di tengah struktur sosial yang memaksa mereka untuk berkompromi. Tokoh Tini menolak menjadi perempuan yang kehilangan dirinya demi pernikahan. Ia ingin tetap menjadi perempuan yang berpikir, bersuara, dan menentukan arah hidupnya sendiri. Lewat kisah Tini, kita belajar bahwa pernikahan tidak seharusnya menjadi belenggu, melainkan tempat di mana dua orang saling mendukung untuk tumbuh dan bahagia tanpa mengorbankan kebebasan yang hakiki.

Mila Tunnajiah
Mila Tunnajiah
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.