Setiap bangsa memiliki simbol-simbol suci yang lahir dari perjalanan panjang sejarahnya. Bagi kita, Bendera Merah Putih bukan sekadar kain yang berkibar ditiup angin. Ia adalah saksi bisu dari pekik kemerdekaan, dari nyawa-nyawa yang gugur tanpa tanda jasa, dari luka-luka yang dijahit oleh semangat kebangsaan, dan dari air mata yang mengering di bawah matahari perjuangan. Dibalik dua warna itu, tersimpan makna tentang keberanian, pengorbanan, harapan, dan kehormatan.
Di era yang serba bebas ini, kita hidup berdampingan dengan beragam bentuk ekspresi budaya, termasuk kecintaan pada fiksi, animasi, dan tokoh-tokoh imajinatif yang memberi warna pada kehidupan. Itu hal yang indah, karena imajinasi adalah bagian dari kemanusiaan. Namun demikian, perlu kiranya kita merenung sejenak: apakah setiap bentuk ekspresi patut disandingkan dengan simbol negara dalam ruang dan momen yang sakral?
Mengibarkan bendera fiksi seperti bendera bajak laut One Piece, sejajar dengan bersamaan dengan hari kemerdekaan dan bendera Merah Putih, bisa jadi dimaksudkan sebagai bentuk kegembiraan atau sekadar ikut meramaikan suasana. Namun tanpa disadari, tindakan tersebut menggeser batas antara penghormatan dan hiburan. Antara ruang sejarah dan ruang fantasi.
Secara akademis, simbol negara seperti bendera memiliki kedudukan konstitusional. Ia bukan hanya lambang, melainkan juga pernyataan identitas kolektif yang dilindungi secara hukum dan dijunjung secara moral. Dalam ilmu semiotika, ketika dua simbol dengan konteks yang sangat berbeda disandingkan, makna dari keduanya bisa tercampur, bahkan salah tafsir. Maka, penting bagi kita untuk menjaga agar kesakralan Merah Putih tidak larut dalam dunia simbol yang bersifat fiksi dan profan.
Dari sudut pandang filosofis, setiap lambang mengandung roh (spirit). Merah Putih adalah lambang yang mengandung spirit kebangsaan, semangat gotong royong, dan kesanggupan untuk berkorban demi yang lebih besar dari diri sendiri. Sedangkan bendera fiksi, walau menyenangkan, tetap berada dalam ranah hiburan personal. Ketika keduanya dipertemukan tanpa penyadaran makna, kita berisiko mengaburkan kedalaman sejarah dan keutuhan nilai yang diwariskan para pendiri bangsa.
Nasihat ini bukan untuk menyalahkan, melainkan untuk mengajak. Karena mencintai bangsa, bukan hanya tentang bersorak saat upacara atau memakai baju bernuansa merah putih. Mencintai bangsa berarti pula memahami apa yang harus kita tempatkan tinggi, dan apa yang bisa kitanikmati dalam ruangnya yang wajar.
Kita boleh mencintai dunia fiksi,bahkan mengambil nilai-nilai baik darinya. Tapi Merah Putih adalah milik yang tak tergantikan—bukan karena ia lebih megah, tetapi karena ia nyata. Ia hidup dalam sejarah kita. Ia hadir dalam tiap perjuangan, dan mengakar dalam tanah tempat kita berpijak.
Maka, marilah kita jaga martabat bendera ini dengan hati yang penuh cinta, bukan dengan larangan keras, melainkan dengan kesadaran yang tumbuh dari pengertian. Mari kita wariskan kepada generasi setelah kita: bahwa Merah Putih bukan sekadar lambang di tiang bambu, tapi jiwa yang harus dijunjung setinggi langit. Karena bangsa yang besar bukan hanya yang mampu membangun, tapi juga yang mampu membedakan antara hiburan dan kehormatan.