Dadaku terasa sesak ketika membaca halaman depan Harian Kompas hari itu, 13 Januari 2018. Gambar seorang anak terpampang lebar di halaman depan, kurus dan lemas. Lekuk-lekuk tulangnya nampak jelas. Selang infus tersambung di tangannya yang kurus. Di hidungnya juga ada selang oksigen yang membantunya bernafas. Umurnya masih tiga tahun. Terlihat sangat lemas. Seperti telah kehabisan energi.
Dia adalah salah satu dari sekian banyak anak-anak Asmat yang menderita polio dan gizi buruk yang dirawat RSUD Agats di Kabupaten Asmat. Puluhan anak lainnya tak dapat diselamatkan.
Ada rasa pilu, sedih sekaligus khawatir setelah membaca berita itu. Ini mengingatkanku pada sebulan lalu. Ketika kami melakukan riset di salah satu masyarakat adat di Sulawesi Selatan, yaitu Ammatoa Kajang. Sasarannya adalah para ibu dan balita yang tinggal di dalam kawasan adat.
Kami memasuki kawasan adat dengan berpakaian serba hitam. Sama seperti penduduk asli daerah ini. Menapaki jalan kecil tanpa alas kaki. Matahari sudah cukup tinggi dan memanaskan bebatuan yang kami injak. Jangan berharap ada angkot atau ojek. Karena kami sedang berada di tengah-tengah hutan adat yang tak boleh dilalui kendaraan. Alas kaki pun harus dicopot.
Para ibu datang satu per satu dengan menggendong anak-anak mereka. Memakai kain sarung hitam yang ditenun sendiri. Warna hitam adalah identitas mereka.
Kami mengundang para ibu dan anak balitanya datang untuk ditimbang dan wawancara, Di luar harapan, hanya beberapa yang datang. Sebagian tak datang karena lokasi yang jauh. Sebagian lagi karena harus ke sawah atau kebun. Anak-anak dibawa serta. Bahkan ada yang tak datang karena rumah yang jauh di dalam hutan. Bisa dibayangkan bagaimana jika seandainya penimbangan dilakukan di Pustu di luar kawasan. Tentu semakin jauh dan menambah alasan mereka untuk tak berpartisipasi.
Anak balita ditimbang berat badannya satu per satu. Lalu diukur tinggi badannya untuk menghitung status gizinya. Tak ketinggalan ibunya pun diberikan perlakuan sama. Sebagian besar anak-anak ini menangis saat ditimbang. Meski ada juga yang tenang-tenang dan menikmatinya.
Tak sedikit ibu yang mengaku bahwa ini kali pertama anak mereka ditimbang. Bahkan banyak yang tak pernah mendapatkan imunisasi. Ada sebagian juga yang sudah pernah ditimbang dan imunisasi, namun tak lengkap. Tidak menutup kemungkinan, hal yang sama terjadi di Asmat.
Ini tentu mengagetkan. Bagaimana bisa penimbangan ini adalah kali pertama bagi mereka? Bukankah Pustu cukup dekat dari desa? Bukankah mereka seharusnya ke Posyandu untuk memantau status gizi dan pertumbuhan anak setiap bulan?
Seharusnya anak-anak ini pernah ditimbang, setidaknya sekali, ketika mereka baru lahir untuk mengetahui berat lahir anak-anak mereka.
Penimbangan dan pengukuran tinggi badan anak balita penting untuk memantau pertumbuhan dan perkembangannya. Dua tahun pertama adalah masa penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Dengan pengukuran status gizi secara rutin, dapat dipantau dan dicegah terjadinya gizi buruk.
Gizi buruk membuat daya tahan tubuh anak menurun. Membuatnya rentan terhadap berbagai penyakit infeksi, seperti campak, Pneumonia, dan diare. Beragam penyakit yang memang paling sering menyerang balita. Ibarat sebuah rantai yang terus berputar, gizi buruk dan penyakit infeksi yang saling berkaitan satu sama lain. Jika tidak diputus mata rantainya, maka kejadian ini akan terus berulang.
Hanya saja, masalah gizi dan kesehatan, khususnya di masyarakat adat tak sesederhana yang dipikirkan. Tak semudah berkata “bukankah ada Pustu/Puskesmas di sekitar sana”. Masalah gizi sangatlah kompleks.
Banyak faktor saling terkait yang menjadi pencetus gizi buruk. Ketersediaan fasilitas kesehatan hanya satu dari sekian banyak faktor itu. Sulitnya akses dan jauhnya jarak menuju fasilitas kesehatan selalu menjadi masalah pada masyarakat adat.
Belum lagi sikap mereka terhadap makanan serta pola asuh anak yang banyak dipengaruhi oleh adat istiadat dan kepercayaan setempat. Misalnya saja kepercayaan tentang pemberian makanan selain ASI yang kurang tepat.
Sehingga membutuhkan pendekatan yang lebih khusus dengan pendekatan budaya setempat. Ini pulalah yang terjadi pada masyarakat Asmat yang sebagian masih hidup secara tradisional, yaitu berburu dan meramu. Dan juga nomaden.
Akses dan ketersediaan makanan yang bergizi juga tidak kalah pentingnya. Pada masyarakat adat, alih fungsi hutan untuk kepentingan industri dan tambang menjadi ancaman besar yang berdampak pada semakin sulitnya mengakses makanan di hutan. Ini terekam dengan jelas dalam laporan Inkuiri Nasional Komnas HAM tahun 2016 tentang pelanggaran hak perempuan dalam pengelolaan kehutanan yang banyak berdampak pada ketahanan pangan.
Anak-anak Asmat kini terserang polio dan gizi buruk. Ini merupakan indikasi gagalnya pemantauan status gizi pada anak di daerah tersebut. Apa yang terjadi pada anak-anak Asmat semacam fenomena gunung es. Hanya terlihat permukaannya. Masih banyak anak-anak Asmat atau masyarakat adat lainnya di luar sana, yang tinggal di daerah terpencil rawan akan gizi buruk.
Kini perhatian tertuju pada anak-anak di masyarakat adat Asmat. Bantuan telah dikirim ke daerah tersebut. Makanan pendamping ASI, vaksin campak dan tenaga medis dikirim untuk mencegah meluasnya masalah ini.
Anak-anak yang mengalami gizi buruk ini, masih dapat dipulihkan dengan perawatan dan pemberian asupan gizi yang optimal. Meski demikian, upaya ini hanya dapat mengembalikan status gizi mereka kembali normal. Sementara kerusakan jaringan di otak sudah sulit untuk dipulihkan kembali.
Berita pilu dari Asmat menjadi peringatan bagi bangsa ini yang memperingati Hari Gizi Nasional tanggal 25 Januari 2018 kemarin. Upaya pencegahan sangat penting. Kepedulian harus selalu ditingkatkan terutama terhadap masyarakat adat dan mereka yang tinggal di daerah terpencil. Jangan menunggu adanya kasus gizi buruk dan masalah kesehatan lainnya menjadi KLB (Kejadian Luar Biasa) untuk menyadarinya. Bukankah mencegah selalu lebih baik daripada mengobati.