Sabtu, April 20, 2024

Remaja Hijrah Konsumtif?

Fairuz Arta
Fairuz Arta
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Seorang penjual buku yang memiliki sebuah “kegilaan” terhadap kajian politik identitas pernah beberapa kali menarik perhatian saya terhadap fokus studinya mengenai hubungan integral antara islam dan modernitas budaya populer dalam bingkai personifikasi identitas beberapa remaja di Indonesia.

Saya pribadi mencoba untuk sangat berhati-hati mendiskusikan perihal fenomena ini, mengingat bahwasanya agar tidak ada pemahaman yang bias serta hasil dari proses salah tangkap untuk memahami sedikit kajian politik identitas dalam tulisan ini.

Sebelum membahas lebih mendalam mengenai pokok bahasan yang ada ditulisan ini, alangkah lebih berimbangnya jika kita (termasuk penulis) untuk memahami definisi dasar dari fenomena Islamisme.

Merujuk pada tulisan Ariel Heryanto dalam bukunya yang berjudul Identitas dan Kenikmatan; Politik Budaya layar Indonesia, definisi mendasar mengenai konsep islamisme sendiri adalah sekumpulan gerakan sosial yang berupaya untuk menerapkan ajaran Islam dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat dalam lingkup seluas mungkin, termasuk pada aspek hukum yang bersifat syariah sebagai dasar pemerintahan sebuah negara.

Sedikit bernostalgia bagaimana ideologi yang berlawanan terhadap pancasila dihantam habis, termasuk juga dengan fenomena islamisme yang sempat meredup di era pemerintahan otoriter mantan presiden soeharto dibalik ideology hyper-nasionalisme yang selalu di disebar luaskan (bahkan merabah sampai sentimen anti-cina).

Gerakan islamisme mulai marak diusung kembali pasca jatuhnya rezim otoriter dan dimulainya era reformasi pada tahun 2000-an, ditandai dengan gerakan kelompok islam yang hadir dengan mengibarkan simbol identitas, ajakan yang massif dan berbagai munculnya gerakan identitas teologis dalam bingkai kebebasan demokrasi.

Namun sebuah hal yang perlu digaris bawahi adalah menguatnya politik identitas (dalam konteks ini adalah islamisme) bukan serta-merta terjadi karena jatuhnya soeharto dan kebangkitan reformasi saja, berpindahnya haluan soeharto untuk menyikapi kembali kelompok islam dalam roda pemerintahanya menjelang akhir jabatanya pada 1990-an, juga turut menyumbang upaya penguatan politik identitas, meskipun era reformasi adalah pusat dari menguatnya politik identitas dalam sejarah Indonesia.

Ariel Heryanto secara lugas memaparkan perjalanan proses penguatan politik identitas (islamisme – post-islamisme) di Indonesia dari mulai order baru hingga reformasi, tegasnya pada pertengahan 1980-an pelajar prempuan dihukum karena menggunajakan hijab di sekolah sekuler.

Pada tahun 2003 beberapa daerah di Indonesia mulai memperkenalkan konsep syariah yang menghukum pelajar prempuan yang tidak menggunakan hijab dan pada tahun 2003 sebuah kelompok teater terkenal bernama teater koma terpaksa menghapus beberapa naskah yang memiliki kesan guyonan terhadap kelompok islam.

Sampai mahakarya film terbesar dan tersukses yang turut membantu agenda proses post-islamisme yaitu film ayat-ayat cintapada tahun 2008, juga dituding sebagai upaya memperkenalkan islam ke khalayak publik dalam bingkai budaya populer.

Film yang bertemakan islami ini menggunakan latar belakang timur tengah dengan menggambarkan sosok keislaman para aktornya, dan di akhir film ini menggambarkan tentang kesuksesan islam sebagai sebuah identitas yang sedang digandrungi banyak remaja.

Berbagai film bertemakan Islam yang menggambarkan tentang puncak kesuksesan dari seseorang adalah mengenai bertaubat, masuk islam, menjadi muslim yang sesungguhnya, popularitas dan sukses dalam hal kapital sehingga ini menjadi mahakarya pendorong post-islamisme.

Sedikitnya Asep Bayat dalam karyanya yang berjudul The Coming of a Post-Islamist Society, Critique: Critical Middle EastStudies, telah memberikan penjelasan mengapa post-islamisme dimulai dari sebuah gerakan demokratisasi.

Bayat memamparkan bahwa post-islamisme muncul sebagai bahasa guna memunculkan rasa percaya diri sebuah kelompok, tujuanya adalah untuk memobilisasi massa kelas menengah yang merasa kalah dalam dominasi politik, ekonomi serta budaya ditengah kekosongan ideology sebuah bangsa. Dan menurut mereka kekosongan ideologi di tengah kegagalan kapitalisme dan utopia sosialisme yang sedang merebak, mampu di isi dengan kajian agama (moralitas) sebagai pengganti kendaraan berpolitik.

Bayat mensetujui bahwa kehadiran pendakwah baru menjadi faktor pendorong post-islamisme, kehadiran kelompok pendakwah baru turut menggeser keberadaan pendakwah tradisional dimata para remaja, tampilan yang begitu mentereng bak “millenialistik” serta materi kajian yang terkesan ringan dan tidak jauh dari pembahasan pernikahan, pertemanan dan pekerjaan.

Bahkan tak jarang kebanyakan dari kelompok pendakwah baru ini hadir bukan karena latar belakang pendidikan agama mereka, melainkan Karen kemampuan komunikasi, berpidato, busana serta kemampuan dalam memaksimalkan media baru.

Kelompok pendakwah baru berhasil memuaskan dahaga para remaja yang mencoba mencari sebuah jalan pintas untuk belajar hal-hal teologis agama, dengan berbagai kelebihan yang telah disebutkan diatas maka sangat wajar jika kelompok pendakwah baru mampu menjangkau seluruh kalangan remaja, para pemburu popularitas dan pemburu kekayaan.

Sedangkan untuk para kelompok pendakwah tradisional hal ini menjadi sebuah tantangan baru dalam era demokratisasi dan pertarungan ideology, bahkan remaja Indonesia tidak mengenal kyai sepuh dari NU dan Muhammadiyah.

Sebagai contoh seorang remaja prempuan yang memutuskan untuk hijrah dan mengikuti syariat-syariat islam dengan getol, namun tetap saja mereka memiliki kefanatikan terhadap boyband korea.

Contoh selanjutnya adalah bagaimana remaja prempuan hijrah masih memandang kontes kecantikan prempuan muslim berjilbab sebagai puncak kesuksesan seorang muslimah, contoh lain ada juga yang mengikuti make up artist khusus pengguna hijab untuk mempercantik diri sendiri.

Hal ini mengindikasikan bahwa ada sebuah kegundahan massal antara remaja yang ingin mengeksplorasi islam secara besar-besaran, namun di sisi lain mereka tidak ingin kehilangan budaya populer modern yang selama ini mereka kerjakan.

Perpaduan antara islamisme dengan budaya populer yang menghasilkan fenomena post-islamisme, telah merangsang para agent kapitalisme untuk terus menciptakan produk-produk dengan tujuan dikonsumsi oleh para remaja hijrah, termasuk tidak terlepas dari peran media baru.

Hal ini merupakan implikasi khusus bahwa ada sebuah keberhasilan para agent kapitalisme dalam bentuk produk kecantikan untuk menciptakan standar kecantikan bagi para muslimah Indonesia, dan akhirnya ini merupakan sebuah bentuk keberhasilan kapitalisme dalam upaya menjinakan islam itu sendiri.

Menurut Heryanto, Hal-hal tersebut juga didukung oleh menyusulnya para agent of halal yang menawarkan produknya dengan tujuan memuaskan rasa konsuptif remaja post-islamisme di Indonesia. Para actor Agent of Halal tersebut bias dikatakan sebagai para public figure yang secara tiba-tiba hijrah dengan cara mengekspresikanya di ruang publik dan terkadang banyak yang menawarkan produk-pruduknya yang bertemakan ‘halal dan sesuai syariat’.

Fairuz Arta
Fairuz Arta
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.