Rabu, November 5, 2025

Remaja dan Media Sosial: Krisis Sunyi di Balik Layar Ponsel

Anindita Callista Putri Mulya
Anindita Callista Putri Mulya
Mahasiswa D4 Manajemen Perkantoran Digital Universitas Airlangga
- Advertisement -

Di balik tawa dan emoji di layar ponsel, generasi muda sedang menghadapi krisis yang jarang terlihat: kesehatan mental yang kian rapuh akibat dunia maya yang tak pernah tidur. Media sosial, yang dulu disebut jembatan komunikasi, kini menjelma menjadi medan perbandingan, tempat di mana validasi sering kali lebih penting daripada kesejahteraan batin.

Penelitian global yang diterbitkan di The Lancet Child & Adolescent Health (2023) menunjukkan bahwa remaja yang menggunakan media sosial lebih dari tiga jam per hari memiliki risiko dua kali lipat mengalami gangguan kecemasan dan depresi. Di Indonesia, survei Kementerian Kesehatan (2024) menemukan bahwa 1 dari 5 remaja mengalami gejala depresi ringan hingga sedang, sebagian besar mengaku tertekan oleh ekspektasi sosial di platform digital seperti Instagram dan Tiktok.

Menurut psikolog klinis Dr. Ratih Ibrahim, fenomena ini muncul karena “remaja berada di fase pencarian identitas, sementara media sosial memaksa mereka untuk selalu tampil sempurna. Mereka belajar membandingkan diri, bukan mengenal diri.”

Kehadiran media sosial menciptakan sistem “hadiah instan”. Setiap notifikasi “like” atau komentar positif melepaskan dopamin di otak zat kimia yang membuat seseorang merasa senang. Riset dari Frontiers in Psychology (2024) menyebut mekanisme ini sebagai dopamine feedback loop, yaitu siklus yang membuat remaja kecanduan mencari validasi.

Fenomena ini bukan sekadar perilaku remeh. Menurut laporan Nature Human Behaviour (2022), remaja yang lebih sering memposting foto diri (selfie) dan menghitung jumlah “like” menunjukkan tingkat kecemasan sosial 30% lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak. Mereka mulai mengukur harga diri berdasarkan reaksi orang lain.

“Ketika validasi digital menjadi kebutuhan psikologis, remaja kehilangan kemampuan untuk menilai diri secara objektif,” jelas Psikolog Anak dan Remaja, Andika Putra, M.Psi. “Akibatnya, muncul rasa cemas, rendah diri, bahkan depresi ketika respons publik tidak sesuai harapan.”

Kecanduan media sosial juga berdampak nyata pada kesehatan fisik. Studi Journal of Adolescence (2023) menunjukkan bahwa remaja yang aktif di media sosial setelah pukul 22.00 mengalami gangguan tidur hingga dua jam lebih lama dibandingkan dengan yang membatasi penggunaannya. Kurang tidur membuat hormon stres (kortisol) meningkat, menurunkan daya konsentrasi, dan memengaruhi prestasi akademik.

Fenomena doomscrolling menggulir layar tanpa henti hingga larut malam menjadi penyebab utama. Survei Kominfo 2024 mengungkap bahwa remaja Indonesia menghabiskan rata-rata 5,5 jam per hari di media sosial, dengan puncak aktivitas antara pukul 21.00 – 01.00. Akibatnya, 42% mengaku sulit fokus saat belajar di pagi hari.

Remaja saat ini hidup di dunia ganda: realitas nyata dan realitas digital. Penelitian oleh Nature Human Behaviour (2022) menunjukkan bahwa terlalu sering menampilkan citra diri “ideal” di media sosial menyebabkan konflik identitas remaja sulit membedakan antara diri asli dan persona online. Tekanan untuk “selalu terlihat bahagia” menimbulkan stres kronis dan perasaan tidak autentik.

Psikolog pendidikan Dr. Adi Setiawan menjelaskan, “Remaja membentuk identitas berdasarkan apa yang mereka lihat di layar, bukan dari pengalaman nyata. Ini membuat mereka kehilangan orientasi emosional siapa mereka sebenarnya.”

- Advertisement -

Kasus gangguan dismorfia tubuh (body dysmorphic disorder) juga meningkat. Banyak remaja yang merasa tidak percaya diri karena tubuhnya “tidak seideal” influencer. Hal ini diperparah oleh filter dan teknologi pengubah wajah yang menciptakan standar kecantikan tak realistis.

Tidak semua dampak media sosial bersifat negatif. Studi dari PLOS ONE (2024) menemukan bahwa remaja yang menggunakan media sosial untuk bergabung dalam komunitas kesehatan mental mengalami peningkatan rasa empati dan dukungan sosial. Di Indonesia, beberapa komunitas seperti Into The Light Indonesia dan Youth for Mental Health telah aktif mengedukasi dan memberikan ruang aman bagi remaja untuk berbagi cerita.

Riset tersebut juga menunjukkan bahwa partisipasi dalam komunitas daring yang positif dapat menurunkan gejala depresi hingga 20%. Media sosial, bila dikelola dengan bijak, bisa menjadi alat penyembuhan bukan sumber luka.

Kunci utama mengatasi krisis ini bukanlah melarang media sosial, tetapi mendidik remaja agar melek emosi digital. Laporan Harvard Graduate School of Education (2025) menekankan pentingnya mengajarkan anak mengenali perasaan mereka saat berinteraksi di dunia maya.

Orang tua dapat menerapkan beberapa langkah sederhana:

  1. Dialog terbuka, bukan larangan. Ajak anak berbicara tentang apa yang mereka rasakan saat menggunakan media sosial.
  2. Batas waktu realistis. Gunakan fitur screen time di ponsel untuk mengatur durasi penggunaan.
  3. Pilih konten positif. Dorong anak mengikuti akun edukatif atau inspiratif.
  4. Berikan contoh. Anak belajar dari perilaku orang tua termasuk kebiasaan online mereka.

Guru dan sekolah juga memiliki peran penting. Beberapa sekolah di Jakarta dan Bandung sudah mulai menerapkan program “Digital Mindfulness”, di mana siswa belajar mengenali dampak psikologis dari aktivitas daring.

Indonesia masih menghadapi kesenjangan besar dalam layanan kesehatan mental. Berdasarkan data Riskesdas 2023, hanya 9% remaja dengan gejala gangguan mental yang pernah berkonsultasi ke tenaga profesional. Akses layanan psikolog masih terbatas, terutama di daerah.

Kementerian Kesehatan telah meluncurkan program Sehat Jiwa Remaja (SEJIWA) yang memanfaatkan media sosial sebagai sarana edukasi. Namun, para ahli menilai pendekatannya masih perlu diperkuat dengan kolaborasi lintas sektor, termasuk pendidikan, teknologi, dan keluarga.

Media sosial tidak akan hilang dari kehidupan remaja, dan tidak seharusnya. Ia bisa menjadi sarana belajar, berekspresi, bahkan berempati. Namun tanpa kesadaran dan pengawasan, ia juga bisa menjadi ladang kecemasan yang sunyi.

Yang dibutuhkan saat ini bukan sekadar detoks digital, tapi transformasi budaya digital dari konsumsi pasif menuju penggunaan yang sadar dan penuh empati.

Remaja perlu belajar bahwa tidak semua hal harus dibagikan, tidak semua “like” bermakna, dan tidak semua kebahagiaan harus terlihat.

Ketika dunia maya semakin riuh, mungkin satu hal sederhana yang harus kita ajarkan kembali adalah: “Kebahagiaan sejati tidak diukur dari layar, tapi dari hati.”

Anindita Callista Putri Mulya
Anindita Callista Putri Mulya
Mahasiswa D4 Manajemen Perkantoran Digital Universitas Airlangga
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.