Kata feminis sudah tidak tabu lagi didengar di telinga masyarakat. Gerakan dan juga ideologi ini, telah berhasil memberikan pengaruh di pelbagai bidang kehidupan seperti ekonomi, politik, dan sosial masyarakat. Khususnya di bidang politik, apakah gerakan ini juga mempengaruhi pilihan politik perempuan?
Feminis merupakan gerakan sosial dan ideologi yang memperjuangakan hak perempuan di segala bidang baik itu politik, ekonomi, sosial dan lainnya. Orang-orang yang mendukung feminis percaya bahwa laki-laki dan perempuan itu setara. Perempuan berhak memperoleh hak yang sama di masyarakat. Kesetaraan yang dimaksud bukan menghendaki adanya kesetaraan yang diartikan secara harfiah, tetapi berupa penyamarataan terhadap hak-hak perempuan yang selama ini terdiskreditkan di masyarakat.
Sejarah Feminis
Gerakan feminis awal mulanya muncul di Eropa pada saat terjadinya Revolusi Perancis di Abad ke-18, kemudian gerakan ini menyebar di Amerika serikat dan negara-negara lainnya di seluruh dunia. Hal ini merupakan momentum munculnya babak baru kehidupan perempuan.
Perempuan yang sebelumnya ditempatkan di ranah domestik tampil di ruang publik. Perlahan tapi pasti, benih-benih feminis ini mulai menyebar ke berbagai negara di dunia dan memasuki abad ke-19 feminis lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian (Ida Rosyida, 2013: 42). Gerakan ini juga dinilai sebagai respons atas pemarjinalisasian hak-hak perempuan.
Tetapi sebelum itu, sudah terjadi revolusi gender di kawasan Arab yaitu pada abad ke 7 M seiring datangnya Islam. Sebelum datangnya Islam, perempuan tidak memiliki hak atas dirinya. Perempuan tidak memiliki daya tawar atau bargaining. Islam kemudian datang mengangkat derajat perempuan. Ia tidak lagi dinilai sebagai pelengkap kehidupan lelaki, tetapi ia eksis layaknya lelaki. Perempuan dan laki-laki dipandang sama di hadapan Tuhan.
Tipologi Feminis
Feminis menurut Rosemary Putnam Tong (2010) dapat diklasifikasi kepada beberapa aliran seperti feminis liberal, feminis radikal, feminis marxis, feminis sosialis, feminis psikoanalisis, feminis multikultural, ekofeminisme, feminis post modernisme dan lain-lain. Klasifikasi ini didasarkan kepada inti pemikiran dan isu-isu perjuangan mereka yang berbeda-beda dalam melihat akar permasalah yang terjadi.
Feminis di Indonesia
Di Indonesia, beberapa adat istiadat yang dirawat dan dilestarikan oleh masyarakat, sedikit banyaknya mengandung nilai-nilai patriarki yang amat ditentang oleh feminis radikal. Selain adat istiadat, agama memberikan sumbangsih terhadap terpeliharanya sistem patriarki di Indonesia. Tafsiran yang dilakukan mufasir terhadap ayat-ayat al-Quran, khususnya yang berkaitan mengenai kedudukan lelaki dan perempuan, banyak melahirkan tafsiran yang bias gender.
Dilain sisi, Prof. Nasaruddin Umar melalui pendekatan hermeneutika berupaya menafsirkan ulang nash al-Qur’an untuk menemukan konsepsi ideal relasi kesetaraan gender. Nasaruddin Umar beranggapan, bahwa sesungguhnya al-Quran mengandung nilai-nilai kesetaraan yang sangat mendalam.
Namun, dalam upaya menangkap makna dalam nash tersebut, membutuhkan sebuah proses penafsiran yang tentunya berkaitan dengan bahasa dan budaya tempat nash tersebut hadir. Fakta bahwa Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia secara tidak langsung mempengaruhi pandangan umum masyarakat dalam menilai kedudukan seorang perempuan.
Gerakan Feminis dan Pengaruhnya terhadap politik Indonesia
Indonesia sebagai negara penganut sistem demokrasi, memberikan ruang seluas-luasnya, untuk para feminis mengekspresikan pemikirannya di bidang pendidikan, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dengan memanfaatkan platform media sosial, forum diskusi, bahkan sekalipun dalam bentuk demonstrasi.
Keterlibatan perempuan dalam politik, penting untuk alasan keadilan, legitimasi politik, dan stabilitas. Selanjutnya, perempuan dalam politik dapat mewakili perspektif, kebutuhan dan kepentingan warganegara perempuan. Beberapa pengamat berkesimpulan bahwa kehadiran perempuan sebenarnya sangat dibutuhkan dalam politik untuk menjamin suara, kepentingan dan prioritas perempuan tersebut agar terwakili dalam pemerintahan dan dalam undang-undang yang diberlakukan oleh pemerintah.
Saat ini, Indonesia telah memasuki tahun-tahun politik. Dua tahun akan datang, tepatnya pada 2024, Indonesia akan melangsungkan Pemilihan Umum, yang akan dilangsungkan secara serentak untuk memilih anggota DPR, DPRD, DPD, Gubernur atau Wali Kota dan Presiden.
Beberapa lembaga survei seperti, Indikator Politik dan Saiful Mujani Research/SMRC, merilis hasil surveinya terhadap tokoh politik yang memperoleh elektabilitas tertinggi seperti Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Anies Baswedan. Selain tiga nama tersebut, nama Puan Maharani kerap disebut sebagai sosok yang akan dicalonkan oleh partai PDI Perjuangan, walaupun ia tidak menempati tiga posisi teratas tokoh yang memiliki elektabilitas tinggi. Selain Puan Maharani, tokoh politik perempuan lainnya yang masuk kedalam daftar nama calon presiden di lembaga survei, yaitu Khofifah Indar Parawansa yang saat ini menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur.
Penulis menilai, Puan Maharani mulai melakukan pendekatan politik berbasis gender, guna untuk menggaet dukungan dari kalangan perempuan. Dalam hal ini terbukti dengan memprioritaskan isu-isu yang dinilai penting bagi perempuan. Sebagai contoh, DPR RI dalam Rancangan Undang Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) yang memberikan cuti selama 40 hari bagi suami yang istrinya melahirkan.
Selanjutnya dalam RUU tersebut terdapat perubahan yang sebelumnya masa cuti melahirkan 1,5 diubah dengan paling sedikit 6 bulan. Selain itu, Puan Maharani juga dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa di bidang Ilmu Politik dari Pukyong National University (PKNU), Korea Selatan. Ia pun mendedikasikan penghargaan tersebut untuk kepemimpinan perempuan Indonesia.
Hal di atas, selaras dengan pernyataan pengamat politik, bahwa pada akhir abad ke ke-20 dan awal abad ke-21 ditandai oleh “feminisasi politik.” Apa yang disebut feminisasi politik mengacu pada prioritas yang telah diberikan para politisi pada isu-isu yang dianggap penting oleh perempuan dan pada gaya kampanye lebih personal yang didisain untuk menarik dukungan pemilih perempuan. Isu-isu seperti jaminan sosial, medicare, dan pendidikan adalah isu-isu yang diberi prioritas lebih tinggi oleh pemilih perempuan daripada oleh laki-laki ( Nurwani Idris 2010: 118).