Ani sedang bermain dengan temannya di warung kopi. Tidak berselang lama, Andi datang dan menanyakan kepada Ani, “An, kenapa kamu merokok dan minum alkohol? Masak cewek sikapnya begitu?” “Lah, suka-suka saya, mau merokok dan minum alkohol. Lagi pula, mulut aku sendiri yang menyedot rokok dan merasakan alkoholnya,” cetus Ani kepada Andi.
Cerita di atas sedikit menggambarkan apa itu postfeminism? Postfeminism lebih menekankan pada penghargaan terhadap “perbedaan” daripada “kesetaraan”. Sebab, kesetaraan menjadi sulit terjadi, mengingat setiap manusia mempunyai nilai kehidupannya masing-masing. Dengan kata lain, postfeminis ingin menyadarkan jika perempuan merupakan makhluk “berkehendak” dengan memiliki jalan hidupnya sendiri.
Karena itulah, saya baru memahami mengapa ada penceramah perempuan yang menggunakan make up secara berlebihan? Sebatas pengetahuan saya, dalam surat Al-Ahzaab, 33: 33 telah menjelaskan jika perempuan tidak boleh merias tubuhnya secara berlebihan.
Kemudian, saya juga baru memahami, bagaimana bisa perempuan di Indonesia melakukan seks dengan pasangannya sebelum menikah? Padahal, secara agama dan kebudayaan, tidak memperbolehkan seks di luar nikah.
Awalnya, saya menilai jika kedua fenomena tersebut menjadi bagian dari kebrutalan perempuan. Tetapi, seketika saja saya mengubah pemikiran saat belajar postfeminis, bahwa penceramah perempuan yang bersolek berlebihan dan perempuan yang seks sebelum nikah merupakan hasil dari kehendaknya sendiri dari pengalaman hidup masing-masing.
Namun, rasa optimis saya terhadap kemapanan postfeminis mengalami keruntuhan saat melakukan perefleksian kembali. Di benak saya muncul pertanyaan, sejauh mana perempuan bisa memutuskan pilihannya secara bebas dan tidak terkontrol?
Keraguan saya akan postfeminis bukan tanpa sebab. Saya kembali mengingat momen ketika melakukan penelitian perihal pernikahan dini di Sumenep. Dari temuan data di lapangan, memperlihatkan jika perempuan berusia belia harus menerima keputusan dari kedua orang tuanya untuk menikah. Bahkan, orang tua juga mengatur pasangan prianya yang akan menjadi calon suami.
Lantas, bagaimana jika perempuannya tidak suka dengan pasangan pria yang akan menjadi suami? Mau tidak mau, perempuan harus menerimanya, karena orang tua mengakui jika lebih tahu perihal yang terbaik untuk anaknya.
Kisah pernikahan dini di Sumenep, membawa ingatan saya pada film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Dalam film itu, ada adegan ketika pemeran utama perempuan bernama Hayati, harus menerima keputusan sesepuh adat perihal pasangan calon suaminya. Hayati dengan tetesan air mata menerima keputusannya dengan berat hati. Hingga akhirnya, Hayati merelakan cintanya kepada Zainuddin saat memutuskan menikah dengan Aziz.
Belum hilang ingatan adegan pernikahan di film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Saya juga teringat dengan kisah dari novel sejarah Pramoedya Ananta Toer berjudul Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer. Di bagian awal novel, saya terkejut dengan kisah Pramoedya yang menceritakan bagaimana perempuan berusia remaja menjadi budak kolonial dari Jepang.
Para kolonial Jepang mempunyai siasat licik agar orang tua rela melepaskan anak perempuan remajanya. Pertama, dengan cara paksa. Kedua, dengan meminta orang tua laki-lakinya yang bekerja di instansi pemerintahan untuk merelakan anak perempuan remajanya diserahkan dengan dalil menerima pendidikan gratis. Sebenarnya, para perempuan remaja menolak ikut tentara kolonial, tetapi mereka harus mau berangkat dengan paksaan dari orang tuanya.
Berangkat dari tiga fenomena di atas, menunjukkan jika postfeminis sudah mengalami kegagalan dalam narasinya. Bisa terlihat, bahwa perempuan, terutama di Indonesia tidak selamanya mampu untuk memutuskan pilihannya sesuai keinginan sendiri. Masih ada belenggu budaya dominan yang terus menghantui kehidupan perempuan Indonesia.
Dengan demikian, apakah postfeminis sudah mengalami kegagalan? Saya rasa tidak seutuhnya mengalami kegagalan. Hanya saja, sejauh pemahaman pribadi, saya melihat bahwa postfeminis masih terjebak dalam narasi kehidupan perempuan di negara Eropa. Gayatri Spivak dalam bukunya berjudul Can the Subaltern Speak, memaparkan jika nilai kehidupan menjadi benar apabila mengikuti pola kebenaran dari pengetahuan Barat.
Padahal, sudah tentu jelas berbeda kehidupan antara perempuan di Indonesia dan Eropa. Keduanya mempunyai nilai tradisi, norma, dan budaya berbeda.
Perbedaan tradisi, norma, dan budaya antara perempuan Eropa dengan perempuan Indonesia, menjadi tantangan tersendiri bagi narasi postfeminis. Lantaran, masih ada politik pengetahuan yang menjadikan perempuan Indonesia tidak selamanya bisa menjadi dirinya sendiri saat memilih kehendak hidupnya.
Kalau begitu, apakah perempuan Indonesia termasuk perempuan kolot dan irasional? Saya kira tidak, karena perempuan Indonesia berkehendak untuk menghargai nilai kebudayaannya. Penghargaan terhadap kebudayaan itu, bagi saya menjadi cara perempuan Indonesia memaknai hidupnya. Dengan kata lain, masih ada korelasi dengan narasi postfeminis. Sebab, perempuan Indonesia memutuskan untuk tidak menjauh dari nilai luhur kebudayaannya.
Maka, pertanyaan reflektifnya, sejauh mana sesama perempuan bisa saling menghargai keputusan masing-masing? Mengingat, masih sering terjadi kontestasi cibiran antar perempuan hanya karena berbeda pandangan. Misalnya saja, perempuan yang memilih tidak memakai qunut saat salat subuh, dinilai tidak afdal ibadahnya.
Jika sesama perempuan tidak bisa saling menghargai perbedaan, apakah postfeminis akan kehilangan taringnya? Tanyakan pada dunia yang tak berhenti berputar ini.