Jumat, Maret 29, 2024

Relasi Kuasa dalam Tindak Kekerasan Seksual

Lina Febriyani
Lina Febriyani
Government Science "Alam menginspirasi, manusia berimajinasi"

Relasi kuasa merupakan kondisi di mana salah satu pihak memiliki atribusi serta power yang lebih tinggi dibandingkan  yang lainnya, serta menggunakan hal tersebut untuk menguasai individu atau kelompok yang dianggap lemah.

Kekerasan seksual yang terjadi karena adanya penyalahgunaan relasi kuasa atau power abuse biasanya terjadi jika pelaku memiliki status hirarkis yang lebih tinggi dibanding korbannya. Misalnya saja: pengajar pada anak didiknya, atasan di tempat kerja pada karyawan, tokoh masyarakat pada masyarakat biasa, orangtua pada anaknya, dan lain sebagainya.

Seperti yang kita ketahui bersama pada kasus kekerasan seksual yang krusial dengan banyaknya kasus kekerasan seksual diberbagai daerah saat ini diantaranya, kasus NRW salahsatu mahasiswa di Jawa Timur, korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh pacarnya yang merupakan anggota kepolisian.

Kemudian juga kekerasan dan struktural yang dialami oleh mahasiswa Universitas Riau, serta kekerasan seksual disebuah pesantren di Bandung Jawa Barat menjadi bukti buruknya jaminan rasa aman sebagai hak dasar warga negara.

Fenomena gunung es kasus kekerasan seksual tidak terlepas juga terkait di dunia Instansi Pendidikan yaitu berdasarkan catatan HopeHelps, sepanjang Januari – Oktober 20221 terdapat 40 laporan kekerasan seksual yang melibatkan civitas akademika, baik sebagai pelaku maupun korban. Beberapa kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi sepanjang 2021 yaitu :

  • Pelecehan Seksual di Univsersitas Negri Semarang
  • 17 Februari 2021, KP2AKS menerima aduan dari penyintas terkait pelecehan seksual yang dilakukan oleh AAS, atas laporan tersebut, KP2AKS melakukan penyelidikan dan tercatat bahwa 8 orang terindikasi menjadi korban pelaku AAS.
  • Pelecehan Seksual di Universitas Sriwijaya, Palembang
  • Seorang dosen memeluk mahasiswinya pada 23 Septembr 2021 ketika korban meminta tanda tangan sebgai syarat adminstratif skripsinya setelah meceritakan  masalah yang dialami. Sehingga dampak yang dialami oleh mahasiwi tersebut saat speakup terkait pelecehan yang dilakukan dosen tersebut, mahasiswi tersebut dicoreng namanya pada saat yudisium karena speakup menjadi korban pelecehan seksual
  • Pelecehan Seksual di Universitas Sultan Agegng Tirtayasa
  • Kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Presma UNTIRTA ini terjadi 4 September 2021 ketika pelaku dan korban sedang melakukan kegiatan organisasi diluar kampus. Kemudian pada kasus tersebut korban mengalami trauma dan didampingi oleh LBH Rakyat Banten.
  • Pelecehan Seksual di Universitas Islam Kediri
  • Kasus ini bermula ketika korban hendak mengajukan beasiswa, kemudian pelaku yang merupakan pegawai administrasi mengataan bahwa korban bisa mendapatkan beasiswa dengan syarat korban harus mau dicium oleh pelaku. Korban kemudian memilih untuk tidak mengukan pengajuan beasswa. Kasus ini sdah ditangani oleh pihak rektoriat dn korban dalam masa pemulihan.

Dan masih banyak kasus pelecehan dan kekerasan seksual di Institusi Pergurunan Tinggi lain seperi Unversitas Udayana dan lain sebagainya, yang berasal dari relasi kuasa tersebut yang mana seseorang mempunyai power lebih.

Sebuah survei yang dilakukan oleh Lintas Feminis Jakarta pada tahun 2020 menyebutkan bahwa 13% dari korban kekerasan seksual berbasis gender yang melapor (survei tersebut dilakukan dalam konteks pandemi covid-19).

Kondisi ini dipengaruhi oleh belum adanya peraturan yang berspektif korban, akibatnya banyak korban yang enggan melapor dan mencari pertolongan dengan berbagai alasan seperti : tidak percaya bahwa kasus akan ditindaklanjuti, merasa tidak akan dipercaya ketika membuat laporan, merasa disalahkan, serta stigma yang akan muncul jika diceritakan kembali kejadian yang dialami.

Dan tidak terlepas pula banyak korban kekerasan seksual tidak melapor karena apa? Yang pertama karena takut, malu dan khawatir akan mendapatkan stigma dari oranglain, terutama jika kasus ini akan diproses secara hukum. Lalu kekhawatiran bahwa kasus ini tidak akan diproses lebih lanjut karena belum ada payung hukum yang secara spesifik berpihak pada korban.

Kemudian alasan lain masih ada penyidik yang memiliki pandangan bias ketika memproses kasus seperti ini, sehingga proses pelaporan yang membuat korban mengalami retraumatisasi. Serta mendapatkan saksi yang menjadi salah satu persyaratan ketika ingin diproses secara hukum dalam kasus kekerasan seksual.

Dan yang terakhir pelaku memanfaatkan kekuasaannya untuk melobby pihak yang dapat mempengaruhi laporan korban tidak diterima, dan juga kekhawatiran pelaku melaporkan balik korban.

Kekerasan seksual dengan relasi kuasa, selain menempatkan koban sebagai pihak yang tidak berdaya, biasanya disertai dengan ancaman : mendapat niai studi yang buruk, diberhentikan dari pekerjaan, mengancam keluarga korban akan dicelakai, hingga ancaman pembunuhan pada korban. Jadi, korban tidak melawan dan pelaku bisa melakukan berulang bukan berarti korban menyukainya, tapi karena faktor-faktor diatas.

Hal ini menajdi fokus kita bersama untuk memutus rantai predator seksual baik dialami di perguruan tinggi maupun di ruang publik. Apalagi mengingat 10 Desember ini sebagai peringatan Hari Hak Asasi Manusia, tetapi sayangnya perlindungan terhadap HAM di Indonesia belum dilakukan dengan baik, termasuk hak atas rasa aman bagi kelompok rentan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kasus keekerasan berbasis gender yang menimpa perempuan dan kelompok rentan ainnya beberapa waktu bekangan.

Terlebih Permendikbud 30 Tahun 2021 yang disahkan dan ruang lingkupnya lebih kecil ditingkatan perguruan tinggi atau kampus yang menjadi ruang aman untuk kelompok rentan (perempuan), kami menanti juga RUU TPKS sebagai payung hukum kasus kekerasaan yang akan melingkupi diantaranya : Mencegah segala bentuk tindak pidana seksual, Menangani, melindungi dan memulihkan korban, Menindak pelaku, Mewujudkan lingkungan yang aman bagi semua ihak.

Untuk itu mari bersama kita mengapresiasi, mendukung RUU TPKS dan Permendikbud 30 Tahun 2021, serta mendorong implementasi peraturan ini sebaik-baiknya untuk menciptakan banyak ruang aman di indonesia.

Lina Febriyani
Lina Febriyani
Government Science "Alam menginspirasi, manusia berimajinasi"
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.