Akhir-akhir ini masyarakat cukup dihebohkan dengan pemberitaan media bahwa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta melarang cadar bagi para mahasiswinya. Hal ini disambut dengan pro-kontra, bahkan kelompok-kelompok Islam fundamental di media sosial banyak yang bukan hanya mengkritik, tapi juga menghujat habis-habisan sosok Yudian Wahyudi, selaku pimpinan tertinggi UIN Sunan Kalijaga yang membuat kebijakan.
Sebenarnya, pemberitaan di media tersebut cukup berlebihan. Yudian tidak serta merta melarang secara langsung penggunaan cadar bagi mahasiswi UIN Sunan Kalijaga. Seperti yang dilansir detik.com apa yang dilakukan oleh Yudian adalah pendataan dan pembinaan. Hal tersebut dilakukan setelah diterbitkannya surat bernomor B-1031/Un.02/R/AK.00.3/02/2018 yang ditandatangani oleh Prof. Yudian Wahyudi selaku rektor.
Di tempat lain, wakil rektor bidang kemahasiswaan UIN Sunan Kalijaga Dr. Waryono menyampaikan bahwa pendataan yang dilakukan merupakan upaya untuk mengantisipasi adanya aliran-aliran radikal yang masuk ke UIN Sunan Kalijaga. Waryono menceritakan bahwa pendataan ini tak lepas dari viralnya sebuah foto tahun lalu yang bertempat di UIN Sunan Kalijaga.
Di foto tersebut tampak beberapa perempuan bercadar yang membentangkan bendera organisasi yang sudah dilarang pemerintah sekarang (baca; HTI). Tentunya, lanjut Waryono pihaknya tidak menstigma negatif perempuan yang bercadar. Cadar Dalam Hukum Islam Mengapa saya membahas ini?
Karena saya melihat di media sosial orang-orang kontra terhadap kebijakan ini menganggap bahwa rektor UIN Sunan Kalijaga telah melarang syari’at Islam, bahkan ada yang berpendapat semua mazhab dalam Islam mewajibkan cadar.
Orang-orang fundamental seperti ini sebenarnya yang memperkeruh suasana, yang tidak mengetahui sesuatu tapi menjudge seolah-olah ia yang paling tahu dan paling benar atau istilah populernya disebut “sumbu pendek”. Implikasinya, orang yang tidak sependapat dengannya akan langsung mendapatkan vonis sesat, liberal, dan sumpah serapah lainnya. Padahal masalah cadar adalah masalah ikhtilaf yang tidak perlu dibesar-besarkan. Empat mazhab klasik telah menguraikan pendapatnya perihal cadar. Terdapat perbedaan pendapat di dalamnya.
Muara dari perbedaan pendapat terkait cadar ini adalah perdebatan masalah wajah perempuan apakah termasuk atau bukan. Imam Abu Hanifah dari mazhab Hanafi tegas mengatakan bahwa wajah tidak termasuk aurat, begitupun Imam Malik bin Anas pendiri mazhab Maliki yang juga secara tegas menyatakan bahwa wajah perempuan bukanlah aurat (lihat; Mukhtaşar al-Khudȗrī fi al-Fiqhi al-Hanafī, lihat juga; al-Fiqh al-Islãm wa adillatuhu).
Berbeda dengan kedua mazhab di atas, di dalam mazhab Syafi’i terdapat perbedaan pendapat apakah bercadar itu wajib, sunnah, atau hanya mubah, namun mayoritas mazhab Syafi’i berpendapat bahwa bercadar wajib bagi perempuan karena menurut Imam Syafi’i wajah termasuk aurat. Mazhab Hanbali pun demikian, jika kita membaca kitab-kitab perbandingan mazhab, maka kebanyakan dari buku tersebut menyatakan bahwa mazhab Hanbali mewajibkan cadar.
Tapi di internal mazhab Hanbali sendiri menyatakan bahwa Imam Ahmad meriwayatkan dua pendapat, yakni pendapat wajibnya cadar dan pendapat mubahnya cadar. Hal ini terjadi karena menurut menurut mazhab ini ada dua riwayat mengenai batasan aurat perempuan, satu riwayat mengatakan seluruh tubuh perempuan adalah aurat sedangkan riwayat lain menyatakan wajah dan telapak tangan tidak termasuk aurat. Mazhab ini juga berpendapat bahwa perempuan bercadar boleh membuka cadarnya ketika ada keperluan untuk dibuka atau pun dengan alasan menolak kesulitan (lihat; Ibnu Qudamah, Mu’jãm al-Mughnī fi al-Fiqhi al-Hanbali).
Perbedaan pendapat tersebut disebabkan adanya perbedaan pemahaman terhadap nash, khususnya surat an-Nur ayat 31 dan surat al-Ahzab ayat 59. Dalam diksi ayat tentang jilbab tersebut ada diksi yang berbunyi “dan hendaknya mereka (perempuan) tidak menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak”.
Bagi yang berpendapat wajah tidak termasuk aurat, yang biasa nampak bagi perempuan adalah wajah dan telapak tangan. Ini sesuai pemahaman sahabat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa yang dimaksud sesuatu yang biasa nampak adalah wajah dan telapak tangan (lihat; Yusuf al-Qaraḑawi, Fatãwã muʻaşirah).
Sementara itu yang berpendapat wajah adalah aurat memahami diksi yang biasa nampak adalah apa yang ditampakkan perempuan secara tidak sengaja. Diperkuat lagi adanya fakta yang menyatakan bahwa seluruh istri nabi mengenakan cadar. Itulah argumen para ulama melihat bagaimana permasalahan aurat perempuan ini masih terjadi ikhtilaf di dalamnya. Lalu jika ada orang yang menyatakan rektor UIN Sunan Kalijaga melawan syari’at Islam hanya gara-gara ikhtilaf, apa sebutan yang pantas untuk orang tersebut? sedemikian sempitkah syari’at Islam menurut pemahaman mereka? Kemaslahatan
Maslahat secara harfiah berarti sesuatu yang baik. Jadi apa yang dianggap baik di situlah ada maslahat. Melihat salah satu alasan adanya kebijakan rektor UIN Suka terkait pembinaan mahasiswi bercadar adalah untuk menertibkan administrasi dan memberi kepastian hukum bagi institusi negeri ini, rasanya tidaklah salah jika sang rektor membuat kebijakan demikian.
Pihak rektorat UIN lantas mengilustrasikan dengan adanya kegiatan akademik di kelas, siapa yang bisa memastikan jika peserta yang mengikuti ujian itu adalah dia itu sendiri ketika ia mengenakan cadar? Bagaimana juga seorang yang bercadar mendapat kepastian hukum jika wajah yang menjadi bagian tubuh utama dalam menganalisa seseorang itu tertutup dan tidak nampak? Bukankah nabi juga melarang cadar bagi perempuan yang sedang berihram? Dengan alasan kemaslahatan, alasan ini mungkin bisa diterima oleh semua pihak.
Hal ini pun sempat terjadi ketika syaikh Tanthawi pada tahun 2009 mengharamkan penggunaan cadar bagi mahasiswi al-Azhar dengan alasan administrasi. Cukup logis bukan? namun yang perlu dikoreksi dari kebijakan ini adalah dengan alasan membendung paham radikal yang masuk ke kampus. Teori radikal yang bagaimana yang sesuai standar kampus?
Jika melihat pernyataan Waryono di atas, ada satu orientasi kelompok yang dituju, yakni Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang saat ini sudah dilarang di Indonesia, melihat kebijakan ini muncul salah satunya disebabkan viralnya sebuah foto di UIN Sunan Kalijaga yang membentangkan bendera HTI yang dilakukan oleh perempuan-perempuan bercadar. Memang sepengetahuan saya kelompok ini mewajibkan anggota perempuannya bercadar.
Ada sebuah cerita dari teman bahwa anggota HTI perempuan kerap kali tidak bercadar ketika di luar namun bercadar ketika di kampus atau ketika berkumpul dengan kawan-kawannya. Ketika ditanya mengapa, jawabannya karena kelompok ini (HTI) mewajibkannya bercadar. Namun hal ini dibantah oleh Makmun Rasyid (penulis buku HTI Gagal Paham Khilafah) ketika saya berinteraksi dengannya.
Ia menyatakan bahwa HTI tidak mewajibkan perempuannya bercadar. Tapi anehnya, seluruh (mayoritas) anggota perempuan di kelompok ini nyatanya memang bercadar. Yang jelas, kembali kepada kebijakan rektor tadi bahwasannya alasan membendung paham radikal cukup sensitif sehingga tidak perlu lagi ada alasan tersebut karena memungkinkan adanya konflik antar kelompok, karena kenyatannya memang tidak semua perempuan bercadar berpaham radikal.
Teman-teman perempuan saya di UIN ini ada yang bercadar dan saya lihat tidak ada geliat bahwa ia berpaham radikal, mereka tetap biasa berinteraksi dengan saya, meskipun seringkali mereka duluan yang menyapa saya karena memang mereka tidak mudah dikenali (tertutup). Sebuah kaidah fikih mengatakan taşarruf al-imãm ʻala al-raʻiyyah manȗthun bi al-maşlahah, kebijakan seorang pemimpin harus disesuaikan dengan kebutuhan maslahat.
Jika memang kebijakan rektor UIN adalah kemaslahatan seperti tertib administrasi dan kepastian hukum, tentu itu tak usah diperdebatkan lagi. Namun jika dengan alasan membendung paham radikal yang nantinya akan membuat konflik baru, niscaya kebijakan tersebut harus ditolak. Dan untuk teman-teman yang bercadar, ingatlah kewajiban ketaatan kepada pemimpin.
Bagaimanapun UIN merupakan sebuah institusi yang mempunyai aturan-aturan tersendiri di dalamnya, termasuk tata cara berpakaian. Jika kalian berlindung di bawah hak asasi, manusia juga mempunyai hak asasi untuk tidur, namun bagaimana kalian tidur ketika pelajaran di dalam kelas sedang berlangsung? Contohlah para santri, yang setiap hari bersarung namun ketika dia terikat oleh aturan kampus yang tidak boleh bersarung, para santri pun menerimanya dengan lapang dada.