Kini kota-kota tengah berdandan. Berias molek, menampilkan keseksiannya. Gincu merah merona di bibir pantainya hasil reklamasi. Bedak produk penggusuran diriaskan pada kota yang dianggap jelek. Dadanya busung oleh gedung-gedung pencakar langit.
Kota tempat menggantungkan hidup, telah berpaling, menggoda sang punya modal. Kota tak lagi mengenal arti cinta mereka yang telah menemaninya berjuang hingga beberapa generasi.
Perkembangan peradaban menjadikan kota besar mengalihkan pandangannya ke wilayah pesisir. Berbagai kepentingan dikantonginya. Daerah pantai yang kualitas lingkungan rendah yang selama ini tak diabaikan mulai dilirik. Daerah pantai didapuk sebagai penyedia hunian penduduk perkotaan. Reklamasi, memanfaatkan habitat yang telah ada dengan dalih meningkatkan nilai ekonomi dan lingkungannya.
Ironisnya, banyak reklamasi hanya mengutamakan kepentingan ekonomi saja sedang meminggirkan hal lainnya. Aspek sosial budaya tak diabaikan. Tengok saja mereka; nelayan, buruh dan petambak yang menggantungkan hidupnya pada laut, dipaksa kedaratan. Tempat di mana rasa kekeluargaan, saling percaya dan keinginan mengembangkan tradisi alam. Padahal di sana, budaya nelayan telah hidup sejak generasi pendahulu mereka mendiami pantai.
Perubahan sebuah lingkungan berdampak pada bergesernya budaya yang ada. Rumah tapak berganti rumah susun atau apartemen sebagai lahan sewa. Hal asing bagi masyarakat lokal Indonesia, bermukim di tempat yang tinggi. Nelayan nusantara membangun rumah-rumah mereka di atas tanah bahkan di atas air.
Mereka tentu akan kebingungan mencari penghidupan baru. Belum lagi, jarak tempat tinggalnya jauh dari pesisir pantai. Membentuk gaya hidup baru bahkan bisa jadi eksklusivitas diantara mereka. Reklamasi memengaruhi interaksi sosial yang terjadi antar masyarakat korban dari reklamasi. Yang miskin akan tersisih dari wilayah tersebut akibat penataan ruang.
Berimplikasi pada meningkatnya nilai lahan dan gaya hidup masyarakatnya. Apalagi menjamurnya kawasan hunian eksklusif di sekitarnya tanpa diimbangi peningkatan taraf hidup masyarakat lama.
Jostein Gaarder dalam bukunya Dunia Maya menggambarkan hal demikian ibarat sebuah bangsa yang sembrono. Ia menyebutnya sebagai kecerdikan yang pongah. Pemerintah mengeksploitasi pantai disebutnya sebagai semangat mencari keuntungan dan kerakusan semata. “Sekarang kita menggunakan eufimisme seperti globalisasi dan perjanjian dagang. Hal ini memberi kesan bahwa makanan bukanlah lagi sesuatu untuk dimakan, melainkan sebuah komoditas”.
Jostein menilai manusia tak lagi dapat dipuaskan oleh hal-hal yang sederhana. Tingkat kepuasan manusia dinilainya semakin komplit dan beragam bahkan tersistem. Jika dulu manusia dapat terpuaskan keinginannya dari apa yang dihasilkan tanah, maka kini tidak lagi. Kepuasannya kian beragam dengan menciptakan standar sendiri. Kepuasan itu bertambah besar dengan tumpukan benda-benda hasil buatan manusia sendiri yang tak berguna namun terus diproduksi. Benda yang hanya mampu dibeli oleh mereka yang kaya.
Kepuasan inilah yang kemudian menciptakan separasi dan segregasi antar masyarakat. Standarisasi kepuasan yang dibuat oleh produk manusia membuat sekat-sekat baru dalam struktur sosial. “Kita tak lagi hidup dari tangan ke mulut. Zaman surgawi telah berlalu” ujar Jostein.
Hutan bakau dibabat. Berganti bangunan elok dengan kemilau cahaya yang menerobos rekahan jendela kristal. Tak ada lagi pewarisan pengetahuan turun-temurun dari generasi mengenai ilmu perbintangan, membaca musim, angin, cuaca atau merapal mantra. Sungguh malang menyaksikan rantai pengetahuan yang dibangun ratusan tahun pengalaman akan binasa oleh satu generasi yang menganggapnya bualan belaka.
Mengutip sebuah prosa Puthut EA berjudul Tanpa Tanda Seru : Tiga Penggal Prosa-lirik yang pernah dibacakan oleh Landung Simatupang, “…Tapi tiba-tiba datang serombongan kekuasaan yang tidak kami kenal, meminta tanah yang sudah tidak bisa dijilat oleh air pasang itu, tanah yang akan menerima tubuh kami dan mengistirahatkannya dari perjalanan menempuh badai. Mereka meminta dengan paksa karena itu bukan tanah kami…”
Mereka berpindah. Mencari pantai lain untuk dijadikan perkampungan. Lalu terusir lagi atas nama pembangunan hotel, restoran, atau perumahan. Hidup mengajarkan mereka satu hal bahwa di dunia ini ada orang yang boleh merampas sesuatu yang bukan miliknya. Kini anak-anak nelayan mendendangkan lirih lagu “nenek moyangku seorang pelaut yang terusir”.