Sabtu, April 27, 2024

Reformasi Sebagai Emansipasi

Arif Susanto
Arif Susanto
Analis pada Exposit Strategic

Jauh dari keriangan suatu perayaan kemenangan, Mei ini sekali lagi kita harus merefleksikan perjalanan demokrasi Indonesia kontemporer dalam keprihatinan. Setelah reformasi berusia dua puluh tahun, mentalitas untuk menempatkan kekuasaan sebagai instrumen dominasi masih mewujud dalam perilaku-perilaku anti-demokrasi.

Mulai dari korupsi hingga ancaman terhadap keberagaman. Suatu penampikan radikal terhadap mentalitas Orde Baru kiranya akan menjadikan reformasi sebagai suatu jalan emansipasi.

Penampikan Radikal

Hakikat reformasi adalah emansipasi: suatu tindakan pembebasan dari keterkungkungan. Situasi bebas menjadi syarat pokok bagi suatu politik demokratis. Tanpa kebebasan, tidak akan mungkin ada partisipasi; dengan kebebasan, rakyat tidak lagi terhalang untuk dapat mengupayakan pemenuhan kehendak mereka. Rezim-rezim penindas menolak gagasan kebebasan dan partisipasi publik tersebut karena keduanya menutup peluang dominasi.

Kebebasan inilah yang memungkinkan lahirnya subjek-subjek politik yang berdaulat. Dengan kedaulatan mereka, rakyat menghendaki keterlibatan aktif dalam pengelolaan urusan-urusan bersama.

Selain kebebasan politik, keterlibatan semacam itu dimungkinkan oleh adanya kapabilitas yang relatif setara di antara warganegara. Hal terakhir menjadi penting karena substansi kebebasan dapat terdegradasi manakala terdapat ketimpangan sumberdaya akibat ketidakadilan.

Lantas, bagaimana emansipasi sebagai suatu tindakan pembebasan itu mungkin untuk diwujudkan? Emansipasi, demikian menurut Ernesto Laclau (2007:6), membutuhkan landasan radikal sekaligus eksklusi radikal. Landasan radikal adalah suatu basis eksistensial, yang berakar secara internal dan tidak memiliki keterkaitan secara tegas dengan tatanan lampau. Hal ini berkelindan dengan eksklusi radikal yang menampik dan memutus habis pertalian dengan ‘yang ditolak.’

Dalam kerangka emansipasi, Orde Reformasi sebagai suatu tatanan sosial baru memerlukan landasan operasi yang sama sekali berbeda dengan alasan bekerjanya Orde Baru. Jika keberadaan rezim penindas tersebut dipelihara untuk memenuhi hasrat dominasi dalam lingkaran kekuasaan Soeharto, sebaliknya tatanan reformasi mesti dilandaskan pada kebutuhan yang lebih asasi bagi perwujudan keadaban publik. Perubahan sosial ini pada pokoknya dimaksudkan sebagai suatu jalan demokratis bagi upaya perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Gagasan perubahan tidaklah lahir dari rezim Orde Baru, melainkan pengakhiran rezim Orde Baru justru menjadi salah satu momentum perubahan. Hal ini menunjukkan bahwa Orde Baru bukanlah suatu pra-eksistensi yang mendorong terjadinya reformasi.

Dengan landasan eksistensi yang sama sekali berlainan, reformasi seharusnya tidak membutuhkan suatu periode transisional pasca-Orde Baru. Begitu reformasi lahir, ia adalah suatu penolakan sama sekali terhadap tatanan lampau. Patahan semacam itu akan menegaskan eksklusi sebagai suatu keterputusan radikal dengan ‘yang ditolak’, yaitu Orde Baru.

Dua puluh tahun berlalu, kini gagasan reformasi tergerogoti oleh perilaku anti-demokrasi. Korupsi masih lekat dengan penyelenggaraan kekuasaan, tiada perlindungan kebebasan terutama bagi kalangan rentan dan minoritas, sementara para demagog bersiap memangsa massa pemilih yang tidak berdaya.

Pergantian rezim ternyata tidak tuntas diikuti pergantian mentalitas penyelenggaraan kekuasaan. Kesempatan untuk berkuasa cenderung dipahami para demagog sebagai kesempatan untuk mendominasi.

Kesadaran emansipasi sepatutnya memampukan kita kini untuk melakukan suatu pemutusan radikal mentalitas Orde Baru. Rakyat mesti berdaulat dan berdaya, kekuasaan mesti diorientasikan pada kesejahteraan umum, dan kebebasan menjadi bagian hakiki dari permusyawaratan rakyat. Tanpa pemutusan radikal semacam itu, tatanan pasca-Orde Baru hanya akan mereproduksi hasrat dominasi yang kita tolak dua puluh tahun silam.

Sebagai suatu moment of truth, reformasi adalah titik persimpangan untuk menegaskan sikap menampik tatanan lampau dan menyongsong lahirnya tatanan baru demokratis.

Dominasi Orde Baru

Dalam kurun 32 tahun kekuasaan rezim Orde Baru Soeharto, politik Indonesia berhadapan dengan hasrat dominasi yang berniat menggerus kedaulatan rakyat. Rakyat dalam struktur Orde Baru bukanlah warganegara dengan segenap hak mereka.

Perampasan hak-hak sipil –terutama memanfaatkan instrumen ABRI, birokrasi, dan Golkar– telah mengerdilkan substansi kewarganegaraan. Kritisisme dihancurkan, partisipasi dilumpuhkan. Tanpa kedaulatan yang telah dilucuti, rakyat dipaksa menjadi kerumunan yang tunduk.

Ketundukan yang dikehendaki oleh rezim Orde Baru sesungguhnya berarti takluk; suatu situasi kalah. Dibandingkan kepatuhan, otoritarianisme lebih membutuhkan ketundukan. Sementara kepatuhan menegaskan ketaatan pada kekuasaan berikut aturan yang sah, ketundukan mencerminkan ketidakberdayaan di hadapan dominasi. Kepatuhan mengharuskan legitimasi, sedangkan ketundukan lebih dimungkinkan oleh koersi. Dengan demikian, keabsahan bukanlah suatu persoalan pokok bagi dominasi yang menindas.

Otoritarianisme sebagai dominasi menyerupai suatu monolog tanpa argumentasi logis. Di sini penguasaan mewujud dalam pendakuan-pendakuan sepihak untuk membenarkan penundukan. Menampik dialog, dominasi tidak memerlukan permufakatan di antara warganegara.

Berlawanan dengan itu, suatu penalaran publik mengembangkan dialog kritis. Di dalamnya pandangan tertentu dituntut memiliki alasan penjelas agar dapat diterima umum. Inilah suatu musyawarah untuk mufakat.

Ketika menyampaikan pentingnya stabilitas bagi pembangunan, misalnya, rezim Orde Baru tidak hendak melontarkan suatu wacana. Ini bukanlah sesuatu yang membutuhkan persetujuan publik, melainkan penegasan sepihak yang menuntut ketundukan massa.

Alih-alih mendiskusikan bagaimana terwujudnya tatanan yang baik, tekanan dan kekerasan hanya menjamin stabilitas dominasi. Akhirnya, pemberangusan sendi permusyawaratan rakyat bukanlah jalan perwujudan kesejahteraan sebagaimana dijanjikan pembangunan Orde Baru.

Penyalahgunaan kekuasaan, pada dasarnya, merupakan bagian dari hasrat dominasi yang terus-menerus menuntut penguatan kendali dan penumpukan sumberdaya. Bersamaan dengan pelemahan kritisisme publik, rezim Orde Baru mengembangkan perilaku korup. Korupsi meluas di kalangan pejabat publik, berpusat di lingkaran terdalam kekuasaan. Harta negara dijarah, dan penjarahan berkelanjutan tersebut membutuhkan penindasan meluas demi memastikan minimnya kontrol terhadap kekuasaan.

Demikianlah kesemena-menaan menjadikan kekuasaan rezim Orde Baru tidak sah. Berhadapan dengan dominasi yang tidak memiliki pembenar tersebut, tuntutan pemulihan kedaulatan rakyat tiada terbendung. Suatu protes massa, hak untuk mengingkari kekuasaan yang tidak adil, diharapkan menjadi suatu katarsis dari keterkungkungan politik. Inilah titik tolak reformasi, yang terutama ditandai tumbangnya kekuasaan Soeharto pada 21 Mei 1998, menuju tatanan demokratis.

Arif Susanto
Arif Susanto
Analis pada Exposit Strategic
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.