Tulisan ini akan lebih banyak berbicara tentang Sistem Ganjil-Genap di Jakarta. Sistem ini menjadi refleksi untuk penerapan ERP (Electronic Road Pricing) di Jakarta nanti. Kabarnya akan diterapkan pada tahun 2019.
Jakarta sebelumnya pernah memberlakukan sebuah sistem untuk mengurai terkait permasalahan kemacetan ibukota, yaitu sistem “3 in 1”. Namun sistem ini dirasa masih belum sepenuhnya dapat menyelesaikan permasalahan kemacetan, yang setiap hari semakin pelik adanya. Bukan sebagai sebuah solusi namun mendatangkan permasalahan baru, seperti maraknya Joki yang berkeliaran menambah permasalahan.
Kemudian, kebijakan pemprov DKI Jakarta mengganti sistem “3 in 1” dengan “Ganjil-Genap”. Sistem ini memunculkan beragam tanggapan dari berbagai pihak. Mulai dari kepolisian hingga pengamat perkotaan, pun demikian masyarakat di perkotaan, Jakarta.
Sedikitnya dari berbagai tanggapan tersebut dapat disarikan sebagai berikut: Pertama, kebijakan ini tidak efektif penerapannya, alih-alih menjadi solusi dari permasalahan kemacetan di perkotaan, malah menambah pelanggaran. Seperti pemalsuan pelat nomor kendaraan. Kebijakan ini pun hanya akan sukses diterapkan secara tidak permanen.
Misalnya, hanya diterapkan ketika ada event tertentu, seperti Olimpiade, Sea Games atau PON. Selain itu permasalahan lain yang muncul, bertambahnya ketimpangan kelas di masyarakat.
Artinya, pembatasan kendaraan dengan sistem Ganjil-Genap untuk membatasi membludaknya kendaraan, malahan bagi sebagian orang di kalangan kelas sosial atas lebih memilih membeli kendaraan baru yang berbeda pelat nomor kendaraan dengan kendaraan lamanya (legal tapi timpang). Sehingga ia akan tetap berkendara setiap harinya, tanpa terpengaruh dengan sistem Ganjil-Genap.
Kedua, Pembatasan kendaraan melalui sistem Ganjil-Genap tidak sepenuhnya sebuah kebijakan yang gagal. Jakarta harusnya mampu meniru Bogota, Sao Paolo, Beijing dan Guangzhou, yang menerapkan kebijakan serupa dan dipandang sukses. Namun di negara-negara tersebut kebijakan baru diterapkan setelah transportasi massal nyaman dan mencukupi. Disediakannya pedestrian dan jalur bersepeda yang begitu tertata. Pertanyaannya bagaimana dengan Jakarta?
Walau bagaimanapun, kebijakan ini tetap diterapkan untuk mengurai kemacetan di perkotaan Jakarta. Pembatasan Kendaraan dengan sistem Ganjil-Genap diberlakukan sebagai pengganti sistem ‘3 in 1’. Kebijakan tersebut sudah mulai disosialisasikan sejak 28 Juni hingga 26 Juli 2016. Kemudian diujicobakan mulai 27 Juli hingga 26 Agustus, dan diterapkan pada 30 Agustus 2016.
Berlaku hari Senin hingga Jumat, pada pukul 07.00 – 10.00 dan 16.00 – 20.00, tidak berlaku pada akhir pekan, Sabtu dan Minggu, juga hari libur nasional. Setidaknya ada sembilan titik bagi pemberlakuan sistem ganjil-genap, yaitu Bundaran Patung kuda, Bundaran Bank Indonesia, Sarinah Jalan Thamrin, Jalan Imam Bonjol, Bundaran Senayan, CSW Blok M, Simpang Kuningan ujung Jalan Gatot Subroto dan Simpang Kuningan kawasan Mampang (Pos Kota 2016; Antaranews 2016).
Ruas jalan tersebut termasuk ruas jalan yang dulu diberlakukan sistem ‘3 in 1’. Sebagai informasi, beberapa alasan pencabutan sistem ‘3 in 1’ ini di antaranya menghapuskan Joki dan eksploitasi anak.
Mengingatkan kembali sistem penerapan Ganjil-Genap disesuaikan dengen kalender berjalan, seperti tanggal 1 hanya untuk kendaraan berpelat nomor ganjil yang boleh melintas di kawasan yang sudah ditentukan.
Tanggal 2 hanya untuk kendaraan pelat nomor genap, dan begitu seterusnya. Contohnya: Pelat nomor B 1868 LK dan B 1633 BW. Pelat nomor B 1868 LK termasuknya pelat nomor genap karena digit terakhirnya 8, sedangkan pelat nomor B 1633 BW termasuk pelat nomor ganjil karena digit terakhirnya 3. Kemudian bagaimana dengan ERP?
Menanti ERP (Electronic Road Pricing)
Sebagai informasi ERP ini memiliki konsekuensi bagai para pengendara yang melanggarnya, yaitu dengan sebuah Denda Pelanggar maksimal Rp 500.000,- misalnya, Kendaraan Roda Dua tidak boleh masuk dalam kawasan ERP. Jika ada yang masuk berarti melanggar rambu-rambu Pasal 287 jo Pasal 106 (1).
Sementara Kendaraan Roda Empat yang melanggar, akan diberlakukan sanksi yang sama, tergantung pelanggaran yang dilakukan. Pemprov DKI Jakarta berencana menerapkan denda 10 kali lipat dari tarif, pada pelanggaran sistem jalan berbayar. Termasuk sanksi pemblokiran BPKB atau STNK. Pemprov DKI Jakarta tidak mengejar pendapatan, namun sanksi tersebut lebih kepada untuk pembatasan kendaraan. Bahkan jika masih banyak para pelanggar, tarif jalan berbayar pun akan dinaikan maksimal (warta kota 2016).
Setali dari itu penulis melihat kebijakan ERP yang direncanakan akan diterapkan tahun 2019 nanti, perlu diapresiasi, sebagai sebuah tawaran solusi untuk mengatasi permasalahan kemacetan di ibukota (sebab Sistem Ganjil-Genap dipandang belum menjadi solusi ampuh mengatasi kemacetaan ibukota).
Namun, lebih lanjut, penulis menyarankan untuk menerapkan kebijakan lainnya -di waktu yang sama- untuk mengurai kemacetan yang bisa diterapkan pemprov DKI Jakarta -yang sebenarnya sedang dan sudah, namun perlu diperkuat kembali- yaitu ‘penyamanan’ moda transportasi massal. Seperti KRL dan TransJakarta.
Itu akan berimplikasi pada ‘beralihnya pemakaian kendaraan pribadi menuju moda transportasi massal’. Bukannya penggunaan kendaraan pribadi menjadi dilarang (total), namun lebih pada dibatasi. Perbaikan infrastruktur jalan, semisal pedestrian bagi para pejalan kaki, pun harus terus digalakan.
Ketika seluruh elemen mulai diperbaiki dan dibenahi. Penulis berharap dan optimistis, ‘masyarakat akan tergiring dengan sendirinya’ untuk beralih kepada moda transportasi massal, asal dengan syarat ‘cukup dan nyaman’. Selain itu, cara lain untuk ‘menggiring masyarakat beralih ke moda transportasi massal’ yaitu melalui konstruksi berpikir masyarakatnya.
Jika melihat dalam kajian sosial setidaknya ada tiga pendekatan untuk mengurai permasalahan sosial, begitu pula termasuk permasalahan kemacetan di perkotaan, yaitu secara Behavioral (konstruk melalui ‘media’), Interaksi Sosial (Hubungan sosial dengan masyarakat yang majemuk) dan Struktural (peran pemerintah). Jika merujuk pendekatan tersebut ‘konstruksi sosial’ bisa menjadi salah satu pendekatan untuk mengurai permasalahan kemacetan di perkotaan.
Artinya, masyarakat akan terkonstruk atau secara disadari maupun tidak akan beralih pada apa yang dikonstrukan. Kongkretnya sebagai contoh, misalnya melalu ‘kampanye’ stiker (atau yang lainnya) yang dipasang di badan moda transportasi massal dibalut dalam jargon-jargon yang funny seperti: “Macet? Beralihkan ke Bus Way, lancar, cepat, nyaman, nan murah berkualitas”, pun dengan Jargon-jargon yang lainnya.
Di samping Pemprov DKI saat ini sedang mempersiapkan pembangunan moda transportasi seperti MRT dan LRT. Kemacetan setidaknya dapat diminimalisir, dan pada titik akhir kenyamanan di perkotaan ‘tanpa macet’ akan tercipta. Semoga!